Pengaturan Hukum Pencucian Uang (Money Laundring) di Indonesia


A.  Pengertian Pencucian Uang

Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, pemutihan uang, pendulangan uang atau bisa juga pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Kata money dalam money laundering dapat diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money atau illict money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam, berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.[1]  Kejahatan pencucian uang atau money laundering bertujuan untuk melindungi atau menutupi suatu aktifitas kriminal yang menjadi sumber dari dana atau uang yang akan dibersihkan. Aktifitas kriminal yang dimaksud misalnya perdagangan narkotika, perdagangan gelap senjata, pemalsuan uang dan lain sebagainya. Dengan demikian pemicu dari kejahatan pencucian uang sebenarnya adalah suatu tindak pidana atau aktifitas kriminal.[2]

Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa tidak atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang. Pihak penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negara-negara dari dunia ketiga, dan lembaga-lembaga internasional masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda mengenai hal ini.[3]

The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) sendiri juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan money laundering, tetapi memberikan uraian mengenai money laundering sebagai berikut:

The goal of a large number of criminal acts is to generate a profit for the individual or group that carries out the act. Money laundering is at the processing of these criminal proceeds to disguise their illegal origin. This process is of critical importance, as it enables the criminal to enjoy these profit without jeopardizing their course.

Illegal arms sales, smuggling, and the activities of organized crime, including for example drug trafficking and prostitution rings, can generate huge sums. Embezzlement, insider trading, bribery, and computer fraud schemes can also produce large profits and create the incentive to “legitimize” the ill-gotten gains through money laundering. When criminal activity generates substantial profit, the individual or group involved must find a way to control the funds without attracting attention to the underlying activity or the persons involved. Criminals do this by disguising the source, changing the form, or moving the funds to a place where they are less likely to attract attention.[4]

(Target terbesar dari salah satu kriminal adalah berbuat untuk menghasilkan sebuah keuntungan bagi kepentingan pribadi atau pun golongan tertentu. Meminjamkan uang (dengan cara seperti lintah darat) adalah sebuah proses dari berbagai macam proses tindak kriminal, mereka menyembunyikan pernyataan tanpa bukti. Ini salah satu proses yang sangat mendasar atau penting, tindak kejahatan yang seolah-olah mendapatkan izin agar dapat menikmati labanya, tanpa harus membahayakan mereka.

Tanpa persetujuan hukum (jual beli yang melanggar hukum), penyelundupan dan kejahatan yang terorganisir. Termasuk diantaranya menjual obat terlarang, prostitusi. Dan mungkin akan berubah dalam skala yang lebih besar. Korupsi, stempel palsu, penyuapan, dan lain-lain. Juga dapat menghasilkan keuntungan yang besar, secara intensif menciptakan “pengesahan” yang tidak halal, memperoleh melalui peminjaman uang (dengan cara seperti lintah darat). Dimana kegiatan kriminal mampu menghasilkan keuntungan, baik perseorangan baik itu kelompok tertentu. Baik yang melibatkan apakah hal itu mudah untuk mengontrol uang tanpa menarik perhatian yang mendasar dari aktivitas tersebut secara umum, maupun pendapatan pribadi. Prilaku kejahatan ini menyembunyikan sumbernya, merubah bentuk, mengolah uang ke sebuah keadaan yang dimana lebih sedikit menarik perhatian).

Menurut Peter Lilley pencucian adalah sebuah metode yang dengannya semua hasil kejahatan disatukan ke dalam lingkungan sistem perbankan dan bisnis dunia: uang gelap dicuci sehingga pada akhirnya lebih putih daripada yang memang sudah putih. Ini adalah proses dimana identitas uang kotor yang dihasilkan dari kejahatan dan kepemilikan sebenarnya dari aset-aset tersebut diubah sehingga hasil yang tampak adalah berasal dari sumber-sumber yang halal. Uang adalah darah kehidupan dari semua aktivitas kejahatan: proses pencucian bisa dipandang sebagai jantung dari proses yang memungkinkan uang itu menjadi bersih dan memompakan ke seluruh tubuh untuk menjamin kesehatan dan kelangsungan hidup.[5]

Menurut Tb. Irman definisi pencucian uang adalah penggunaan uang yang diperoleh dari aktifitas ilegal dengan menutupi identitas individu yang memperoleh uang tersebut dan mengubahnya menjadi aset yang terlihat seperti diperoleh dari sumber yang sah. Secara sederhana dapat dikatakan adalah suatu proses untuk membuat uang kotor menjadi bersih.[6]

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 memberikan definisi mengenai pencucian uang yang tertera dalam Pasal 1 ayat 1 yaitu:

Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Bunyi undang-undang tersebut dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat luas mengenai apa yang dimaksud dengan kegiatan pencucian uang. Sehingga dari beberapa uraian di atas, mengenai pengertian pencucian uang secara garis besar dapat dipahami bahwa kegiatan pencucian uang atau money laundering adalah suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan atau penyitaan. Hasil akhir dari proses tersebut adalah hasil tindak pidana yang menjelma menjadi uang sah.[7] Aktivitas pencucian uang akan meliputi kegiatan pertukaran barang dan jasa, metode pertukaran dinamakan sistem transaksi, dalam transaksi ini melibatkan unsur-unsur institusi, finansial, cek, catatan, akuntansi dan banyak pekerjaan tulis menulis, apabila suatu kegiatan dengan membelanjakan uang tunai baik institusi finansial atau tidak, maka hal tersebut merupakan suatu transaksi usaha, maka dalam pencucian uang terdapat suatu pergerakan dari suatu sistem transaksi uang tunai ke sistem transaksi usaha.[8]

Hal tersebut dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat luas mengenai apa yang dimaksud dengan kegiatan pencucian uang, akan tetapi dilain pihak pengertian tersebut akan membatasi ruang gerak penegak hukum dalam menentukan kejahatan pencucian uang yang notabene akan selalu mencari pola dan mekanisme kerja yang selalu berubah-ubah dalam rangka menghindarkan diri dari pendeteksian baik dari otoritas keuangan maupun aparat penegak hukum.[9]

Selanjutnya dalam perkembangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut menyatakan: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.

B.  Pembentukan Pengaturan Hukum Pencucian Uang  Di Indonesia

Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering. Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.

Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No.3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN (sekarang dikenal DJKN/PUPN), untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan

Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.

Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerjasama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering.

Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. Undang-Undang ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa “upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni “harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia”.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka pada perubahan undang-undang ini yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang,  mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah(Pasal 1 angka 1).

Selanjutnya dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dinyatakan, antara lain: penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.

Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain:

1.   redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;

2.   penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;

3.   pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;

4.   pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;

5.   perluasan Pihak Pelapor;

6.   penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;

7.   penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;

8.   pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;

9.   perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;

10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;

11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;

12. penataan kembali kelembagaan PPATK;

13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;

14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan

15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

Dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak  pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010).

Kedua, tindak pidana pencucian uang pasig yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010).

Ketiga, dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Adapun unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah sebagai berikut:

1.   Pelaku

Dalam UU No. 25 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2010, pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering) digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi”. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 10 yang menyatakan bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Dengan demikian pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah setiap orang dengan pengertian setiap orang adalah perseorangan atau korporasi yang terorganisir baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

2.   Transaksi keuangan atau alat keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah

Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 8 Tahun 2010 mendefinisikan: “Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih” (Pasal 1 angka 3).

Selanjutnya Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2010 mendefinisikan: “Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang”.

Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.

 Definisi transaksi keuangan mencurigakan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 8 Tahun 2010, bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a.   Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

b.   Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini (UU No. 8 Tahun 2010);

c.   Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d.   Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

3.   Merupakan hasil tindak pidana

Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam 2, 3, 4 dan 5 UU No. 8 Tahun 2010, yaitu:

Pasal 2

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a.   korupsi;

b.   penyuapan;

c.   narkotika;

d.   psikotropika;

e.   penyelundupan tenaga kerja;

f.    penyelundupan migran;

g.   di bidang perbankan;

h.   di bidang pasar modal;

i.    di bidang perasuransian;

j.    kepabeanan;

k.   cukai;

l.    perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap;

n.   terorisme;

o.   penculikan;

p.   pencurian;

q.   penggelapan;

r.    penipuan;

s.    pemalsuan uang;

t.    perjudian;

u.   prostitusi;

v.   di bidang perpajakan;

w. di bidang kehutanan;

x.   di bidang lingkungan hidup;

y.   di bidang kelautan dan perikanan; atau

z.   tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2)  Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

(1)  Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.

Perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 8 Tahun 2010 tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.

D.  Penutup

Pengaturan hukum tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan yang selain diatur dalam KUHP juga diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah setiap orang dengan pengertian setiap orang adalah perseorangan atau korporasi yang terorganisir baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan transaksi keuangan atau alat keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Daftar Pustaka

Irman, Tb., Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing, Jakarta, 2006.

Lilley, Peter, Transaksi Kotor: Kebenaran yang Tidak Terungkap Tentang Pencucian Uang Dunia, Kejahatan Internasional, dan Terorisme, CV. Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2005.

“Menjerat Pelaku Monye Laundering”, Jurnal Pusdiklat MA RI,  Vol 1/2002.

Siahaan, N.H.T. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002

Sjahdeini, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.

Soewarsono dan Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, CV. Malibu, Jakarta, 2004.


[1] N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal. 5.

[2] “Menjerat Pelaku Monye Laundering”, Jurnal Pusdiklat MA RI Vol 1/2002, hal. 13

[3] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004, hal. 1

[4] Ibid., hal. 3.

[5] Peter Lilley, Transaksi Kotor: Kebenaran yang Tidak Terungkap Tentang Pencucian Uang Dunia, Kejahatan Internasional, dan Terorisme, CV. Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2005, hal. hal. 19

[6] Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing, Jakarta, 2006, hal. 40.

[7] Soewarsono dan Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, CV. Malibu, Jakarta, 2004, hal. 3.

[8] Tb Irman, Op. Cit., hal. 41

[9] Soewarsono dan Reda Mantovani, Op. Cit., hal. 3.