A. Latar Belakang
Gejala menarik yang patut disoroti akhir-akhir ini adalah terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di dunia yang pengaruh-pengaruhnya menjalar dengan cepat (moving quickly) ke bagian-bagian lain masyarakat di belahan bumi ini. Seperti yang dikemukakan oleh William Irwin Thompson[1], dengan dukungan teknologi dan informasi kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi “setiap hari, “now, with the appearance of microelectro nics and genetic engineering, a change that spells a movement from evolution by natural selection to evolution by cultural instruction, the rate of change shifts to decades, even years”.
Perubahan-perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola tingkah laku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial kekuasaan, interaksi sosial, dan sebagainya.
Oleh karena luasnya bidang-bidang kehidupan di mana memungkinkan terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut, maka proses yang demikian itu hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang meneliti kehidupan suatu masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu, dan kemudian dibandingkan dengan lingkungan masyarakat yang lain pada waktu dan tempat yang berlainan. Salah satu indikator dari kompleksitas permasalahan ini adalah bahwa realitas perkembangan suatu masyarakat di suatu sudut dunia tertentu, tidak lagi menjadi bagian tersendiri, melainkan secara struktural berkaitan dengan realitas perkembangan suatu masyarakat dari sudut dunia lainnya. Oleh karena itu menurut John Naibitt[2], dunia yang dihuni manusia sudah berubah menjadi “global village”.
Masalah perubahan yang terjadi dalam masyarakat adalah merupakan bagian dari kehidupan manusia, tetapi menurut Satjipto Rahardjo[3] perubahan fundamental yang membawa masyarakat kepada suatu masa transisi, adalah merupakan perubahan yang istimewa. Karena terjadi kepincangan antara institusi sosial yang ada dan kehidupan masyarakat yang dilayaninya sebagai akibat dari perubahan-perubahan itu. Laju perubahan tidak berjalan proporsional dengan kemampuan institusi sosial yang harus dilayani.
Sudah sejak lama para ahli sosiologi mencurahkan perhatian terhadap keterkaitan antara hukum dan perubahan sosial. Menjelang pertengahan abad ke XX, permasalahan tentang hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial yang lebih luas menjadi permasalahan pokok dalam perbincangan-perbincangan ilmu hukum. Perhatian semakin lama semakin membesar terhadap akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh hukum terhadap sikap-sikap dan prilaku warga masyarakat, terhadap organisasi dan lingkungan hidup manusia, serta terhadap ketrampilan dan kekuasaan. Sementara itu, di pihak lain juga semakin besar perhatian terhadap tertib hukum.
Perhatian mengenai hubungan timbal balik antara anasir hukum dan non hukum ini sebagian besar pada mulanya dikedepankan oleh penganut-penganut aliran sosiologik terhadap ilmu hukum yang lebih dikenal dengan aliran sociological jurisprudence.[4]
Sejak Perang Dunia II terjadi perkembangaen yang cepat dari pendekatan sosiologi terhadap hukum, yang secara garis besarnya disebabkan karena.[5]
- Profesi hukum (terutama profesi pengacara) ruang lingkup kerjanya kini semakin meluas bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, terutama dikarenakan pihak-pihak yang memerlukan pelayanan hukum, semakin membesar jumlahnya dan meliputi semua lapisan masyarakat.
- Hukum yang bagi kebanyakan orang tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang tentang hanya merupakan suatu bidang studi yang mempelajari tentang undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru, karena ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian, penelaahan, dan pemahaman yang lebih luas dan lebih rumit.
Pemikiran-pemikiran mengenai adanya hubungan antara hukum dan masyarakat itu sesungguhnya tumbuh dari dua aliran intelektual yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Yang satu berasal dari bidang/wilayah ilmu hukum, sedangkan yang lain berasal dari bidang/wilayah ilmu sosial.
Dari bidang ilmu hukum telah muncul paham (aliran) sejarah dipelopori oleh Friederich Karl von Saviqny dalam bukunya yang ia beri judul Von Beruf Unserer Zeif fur Gesetzgebung und Rechts wissenchaff (seruan zaman kini terhadap undang-undang dan ilmu hukum) yang diterbitkan pada tahun 1814.[6] Aliran hukum historis yang sekalipun berpangkal dari studi-studi mengenai hukum, telah bergerak lebih jauh dengan mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan masyarakat. Menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk, melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.[7] Dari bidang ilmu sosial, telah berkembang ilmu sosiologi modern (termasuk juga anthropologi modern) yang kini telah menerobos masuk ke dalam bidang permasalahan hukum untuk menganalisis hukum sebagai salah satu unsur di dalam suatu sistem sosial yang lebih luas dan lebih kompleks.
Berkaitan dengan masalah hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial tersebut jika dikaitkan dengan perubahan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, Satjipto Rahardjo mengatakan.[8]
Apabila kita termasuk dalam aliran yang menganut pendapat bahwa membicarakan persoalan hukum itu senantiasa harus dikaitkan pada basis sosial di mana hukum itu bekerja, maka tidak pelak lagi bahwa masa transisi sebagaimana dialami oleh Indonesia dewasa ini memang menimbulkan persoalan-persoalan yang menarik dikaji bersama. Masa transisi ini menimbulkan perubahan di dalam susunan kemasyarakatan serta nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi pula sikap-sikap serta tingkah laku mereka. Oleh karena itu pada kesempatan lain Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa secara scientific Indonesia saat ini menjadi suatu “laboratorium” yang luar biasa bagusnya menguji kebenaran berbagai teori hukum untuk menemukan kebenaran yang setuntas-tuntasnya.
Berdasarkan latar belakang, maka dalam makalah ini difokuskan pembahasan pada aliran sosiologis jurisprudensi hukum dalam kaitannya dengan teori hukum dan pembangunan hukum.
B. Teori Hukum dan Perkembangannya
Di dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teori mempunyai peranan yang amat penting, karena suatu ilmu pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan melalui teori. Seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo:[9]
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting, ia memberi sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakannya.
Pengertian teori secara lebih sederhana dan padat dirumuskan oleh Satjipto Rahadjo:[10]“teori adalah suatu sistem pernyataan, pendapat, pengertian yang berhubungan logis, yaitu tidak bertentangan mengenai bidang kenyataan tertentu, yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga dari situ dimungkinkan dibuat hipotesis yang dapat diuji”.
Melalui dua pengertian dari teori yang dikemukakan di atas dapat dibayangkan betapa pentingnya peranan dari teori hukum baik dalam mengembangkan ilmu hukum maupun dalam memecahkan berbagai persoalan di bidang hukum sampai kepada penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafati. Oleh karena itu tugas dari teori itu menurut Radbruch adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filsofinya yang tertinggi.[11] Teori hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti: mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya? apa yang menjadi tujuan hukum? bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? apa hubungannya dengan individu, dengan masyarakat? apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? apa keadilan itu? bagaimanakah hukum yang adil?[12]
Suatu teori menurut Satjipto Rahardjo bisa juga mengandung subjektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum itu. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan sudut pandangan yang dipakai oleh orang yang tergabung dalam aliran-aliran tersebut.[13]
Sepanjang sejarah hukum, dimulai dari zaman Yunani/Romawi hingga saat ini, dikenal adanya berbagai teori tentang hukum yang lahir dalam setiap babak perjalanan sejarah hukum tersebut.
Sejarah teori hukum, hakikatnya merupakan sejarah tentang perkembangan peradaban manusia untuk mengatur kehidupannya. Jauh sebelum kebangkitan perabadan Yunani pada tahun 1800 SM, Raja Babilonia Chammurabi, telah menggunakan undang-undang untuk menghapuskan pertentangan antara ras Babilonia Utara dan Selatan, yang ketika zamannya menjadi satu Babilonia. “Code Chammurabi” kemudian dikenal sebagai undang-undang tertua dalam peradaban manusia. Sedangkan pemikiran tentang hukum baru kemudian mendapatkan akarnya pada zaman Yunani, abad ke 5 sebelum masehi.[14]
C. Aliran Sosiological Jurisprundence Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Hukum
Pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian cepat, problem-problem sosial yang baru dan banyak ditimbulkan oleh revolusi industri, adalah faktor-faktor yang bisa disebutkan yang menyebabkan munculnya suatu gambaran sosial baru pada abad kesembilan belas. Di samping faktor-faktor tersebut, negara juga makin banyak mencampuri urusan-urusan, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sebagainya, hal-hal yang semula tidak menjadi perhatiannya. Perkembangannya yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu bahan baru untuk digarap oleh para teoritisi hukum. Dalam keadaan yang demikian itu tampak bahwa cara-cara analitis yang murni formal dirasakan kekurangannya. Sejumlah kegiatan dalam masyarakat yang harus ditangani menghendaki agar teori hukum memberikan tuntutannya, suatu tuntutan yang tidak dapat dipenuhi oleh teori-teori (formal, positivisme) yang ada sampai pada waktu itu, teori-teori yang lama hanya sesuai dengan masyarakat yang berada dalam keadaan yang relatif stabil, tetapi tidak lagi sesuai manakala orang sudah mulai mengeluh tentang tidak adanya stabilitas sosial.[15]
Pendekatan-pendekatan orang terhadap hukum pada abad kesembilan belas dan diteruskan masuk ke abad kedua puluh semakin banyak yang memperhatikan kaitan antara hukum dan masyarakat,[16] yang kemudian melahirkan suatu aliran baru yang bernama sosiological jurisprudence.
Aliran sociological jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai-bagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan karya-karyanya yang terkeanal seperti Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence (1912), Outline of Lectures on Jurisprudence (1903), The Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1994), Interpretation of Legal History (1923), dan lain-lain. Aliran-aliran sosiologis di bidang hukum di Benua Eropah dipelori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama Eugen Ehrlich, yang mula pertama menulis tentang hukum dipandang dari sudut sosiologi dengan judul Grundlegung der Soziologie des Rechts.[17]
Inti pemikiran mazhab ini yang berkembang di Amerika adalah “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Rumusan tersebut menunjukkann kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.
Jika diletakkan dalam perspektif dialektika Hegel, maka positivisme hukum adalah tesisnya, mazhab sejarah adalah antitesisnya dan Sociological Jurisprundence adalah sisntesisnya.[18]
Sociological jurisprudence yang berkembang di Amerika dipandang sebagai pendukung aliran sociological jurisprudence, karena pendapatnya yang mengatakan hukum sebagai kaidah yang perkembangannhya sangat bergantung pada komponen-komponen di luarnya. Logika, sejarah, adat istiadat, pedoman perilaku yang benar, hakikatnya merupakan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum.
Eugen Ehrlich juga dipandang sebagai pendasar aliran ini. Satu-satunya sebab yang nampak mendorong diklasifikasikannya ide Ehrlich ke dalam aliran sosiological jurisprudence karena Ehrlich mengutamakan keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang di dalam masyarakat. Antara kepentingan penguasa dengan kepentingan masyarakat.
Menurut Ehrlich, diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusan, jika terjadi silang sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan, dan diletakkannya dalil-dalil hukum yang abstrak di atas peraturan-peraturan ini, dan juga perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan di antara ketiga lapisan dari kenyataan hukum, haruslah dijelaskan secara sosilogis.[19]
Emil Durkhem adalah seorang ahli sosiologi, yang menekankan perhatiannya pada fenomena solidaritas sosial yang terdapat antara orang-orang dalam masyarakat. Durkheim, mengatakan, pada saat periode solidaritas itu belum terbentuk, yaitu pada saat hubungan antara orang-orang dalam suatu wilayah hanya bersifat kadang kala, maka di situ belum terbentuk masyarakat dengan pegnaturan yang terperinci. Persoalan yang kemudian dikemukakannya adalah, bagaimanakah ia pasti mengukur solidaritas tidak dapat ditangkap dan diukur dengan pasti, namun Durkehim menemukan lambangnya yang empiris pada hukum”. Bertolak dari penemuan yang demikian itu, ia selanjutnya melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat. Ia membuat perbedaan antara “hukum yang menindak” (repressive) dan “hukum yang mengganti” (restututive).[20]
Hukum yang menindak sanksinya bersifat mengekang (repressive), sedangkan hukum yang mengganti sanksinya bersifat memulihkan. Alvis S Johnson,[21] mengatakan sanksi yang bersifat mengekang (repressive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan lain-lain atau semata-mata terdiri dari pemulihan benda-benda seperti sedia kala, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadaananya yang normal, baik dengan membatalkannya, yakni menghapuskan segala nilai sosialnya.[22]) Tokoh yang lain dari aliran sosiological jurisprundence adalah Max Weber (1864-1920), dengan bukunya yang terkenal berjudul Wirtschaft und Gezellschaft.
Weber disebut-sebut sebagai tokoh sosiologi modern yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Hukum merupakan segi yang sangat penting dalam studinya mengenai herrschaft (dominasi) dalam masyarakat. Usaha Weber untuk menyikapi ciri yang menojol dari masyarakat Bardat mebmawanya kepada rasionalitas sebagai kuncinya. Ini menjadi landasan baginya untuk menyusun tipologinya mengenai hukum. Tipologinya disusun atas dasar dua sumbu, yaitu sumbu formal. Substantif dan sumbu irasional-rasional. Yang pertama menyangkut perbedaan tentang bagaimana suatu sistem yang mampu menentukan sendiri peraturan dan prosedur yang dipakai untuk mengambil suatu keputusan. Sistem yang formal melakukannya atas dasar ketentuan-ketentuan yang dibuat sendiri oleh sistemnya, sehingga bersifat internal. Sedangkan yang kedua (substantif) bersifat eksternal, oleh karena ia merujuk kepada ukuran-ukuran di luarnya, terutama kepada nilai-nilai agama, etik dan politik. Adapun perangkat sumbu yang kedua berkisar pada variabel-variabel “rasional” berhadapan dengan “irasional”. Keduanya menyangkut perbedaan mengenai cara penggunaan dari bahan masing-masing sistem tersebut di atas (formal atau substantif), termasuk di dalam peraturan-peraturan serta prosedur-prosedurnya.[23]
Bagi Weber hukum yang rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern. Kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut adalah sistem kapitalisme dan profesi hukum. Sebaliknya, introduksi unsur-unsur yang rasional dalam hukum juga membantu sistem kapitalisme. Proses tersebut tidak akan mungkin terjadi dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemimpinan yang kharismatis atau atas ikatan darah, oleh karena proses mengambil keputusan pada masyarakat-masyarakat tadi mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur yang irasional tadi.[24]
Roscoe Pound yang dikenal sebagai pelopor bagi pengembangan aliran sosiological jurisprundence di Amerika Serikat, dalam karangannya berjudul Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence membentangakan pendapatnya, bahwa bagi para ahli hukum yang beraliran sosilogis, perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum, ataukah penafsiran serta penerapan peraturan-peraturan hukum. Ia harus lebih memperhitungkan secara pandai fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang nantinya akan menjadi sasaran penerapannya. Pound menganjutkan agar perhatian lebih diarahkan kepada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum. Kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.[25]
Perhatian aliran ini telah jauh berkembang tidak sekedar esensi hukum, tetapi juga esensi perkembangan hukum. Menurut Pound, tugas utama hukum adalah rekayasa sosial. Fungsi utama hukum antara lain untuk melindungi kepentingan. Terdapat tiga kepentingan yang sah dilindungi hukum, yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial, dan kepentingan pribadi.[26]
Kepentingan umum yang terpenting adalah kepentingan negara sebagai badan hukum untuk mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial. Untuk kepentingan itu, negara menggunakan hukum, tidak sekedar sebagai melindunginya, tetapi juga untuk sarana memajukannya.[27]
D. Penutup
Suatu teori hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, karena teori hukum itu sering tampil sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum pada suatu saat tertentu. Oleh karena itu tidak ada teori hukum yang berlaku abadi, melainkan terus berubah mengikuti dinamika dari masyarakat.
Perhatian aliran sosiologis jurisprudence telah jauh berkembang tidak sekedar esensi hukum, tetapi juga esensi perkembangan hukum. Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial. Fungsi utama hukum antara lain untuk melindungi kepentingan yang sah dilindungi hukum, yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial, dan kepentingan pribadi. Kepentingan umum yang terpenting adalah kepentingan negara sebagai badan hukum untuk mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial. Untuk kepentingan itu, negara menggunakan hukum, tidak sekedar sebagai melindunginya, tetapi juga untuk sarana memajukannya.
Baca juga: Kelompok Sosial dan Penerapannya Dalam Pembangunan Hukum
Daftar Pustaka
Friedman, W., Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Jakarta: PT., 1990.
Harahap, Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Alumni, Bandung, 1997.
Johnson, Alvis A., Sosiologis Hukum, terjemahan Rinaldi Situmorang, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Martin, Albrow, Birokrasi, terjemahan Tiara Wacana, 1981.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan ke Iv, 1996.
______, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, 1977.
Rasyidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Edisi ketiga, 2002, Penerbit Mandar Maju, Bandung .
Rasyidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 1991.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan ke-20, 1995.
[1] Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, 1997, Alumni, Bandung, hal. 143.
[2] Ibid, hal. 144.
[3] Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, 1977, hal. 113.
[4] Alvis S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cetakan Pertama, 1994, hal. 151 – 152
[5] Albrow Martin, Birokrasi, terjemahan Tiara Wacana, 1981, hal. 20.
[6] Lili Rasyidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, 1991, Alumni, Bandung, hal. 77
[7] Ibid, hal. 78 – 79.
[8] Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 112.
[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke Iv, 1996, hal. 253.
[10] Ibid.
[11] Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 254.
[12] Ibid., hal. 254.
[13] Ibid, hal. 253.
[14] Lili Rasyidi, op. cit., hal. 63.
[15] Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 285 – 286.
[16] Ibid.
[17] Lili Rasyidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Edisi ketiga, 2002, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 65-66
[18] Lili Rasyidi, 1993, Op.Cit, hal. 83.
[19] Alvis A. Johnson, Sosiologis Hukum, terjemahan Rinaldi Situmorang, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 146 – 147..
[20] Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 288 – 289.
[21] Alvis A. Johnson, op. cit., hal. 104
[22] Bandingkan Satjipto Rajardjo, op. cit., hal. 289.
[23] Ibid, hal. 293 – 294.
[24] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan ke-20, 1995, hal. 47.
[25] Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 298.
[26] Lili Rasyidi, loc. cit.
[27] W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, (Susunan I), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 41.