Akibat Hukum Terhadap PPAT Yang Tidak Menyampaikan Laporan Bulanan Akta Terkait Pembayaran BPHTB ke Kantor Pelayanan PBB


A.  Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya ditulis PP No.24 Tahun 2016 tentang PPAT), menyebutkan ”Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.”

Pasal 2 PP No.24 Tahun 2016 tentang PPAT  menyebutkan perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah: (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PP No.24 Tahun 2016 tentang PPAT, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.[1]

PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta.[2]

Terkait dengan wilayah kerja PPAT terjadi perubahan mendasar yaitu kalau sebelumnya menurut PP No. 37 Tahun 1998 wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sedangkan setelah diterbitkan peraturan perubahan PP No. 24 Tahun 2016 wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi.

Selanjutnya di dalam Pasal 5 PP No. 24 Tahun 2016 tentang Peraturan PPAT disebutkan bahwa:

(1) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(2) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.

(3) Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus:

a.   Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;

b.   Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Tentang kewenangan PPAT dalam pembuatan akta-akta otentik mengenai hak atas tanah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan:

(1)  PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(2)  Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil, Menteri dapat menunjukkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sementara.

(3)  Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan dinyatakannya PPAT adalah Pejabat Umum, dan konsekuensinya akta-akta yang dibuatnya adalah akta otentik. Dimaksudkan dengan akta otentik, bahwa jika terjadi suatu masalah atas Akta PPAT tersebut Pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran isi dari akta tanah tersebut, ataupun tanggal ditandatanganinya dan demikian pula keabsahan dari tanda tangan dari pihak-pihak, asal saja tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan, penipuan, maupun lain-lain kemungkinan akta tanah tersebut dapat dinyatakan batal ataupun harus dinyatakan batal.

Dalam Pasal 101 Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan sebagai berikut :

(1)  Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)  Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.

(3)  PPAT wajib membicarakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Muhammad Yamin menegaskan bahwa berkaitan dengan peralihan hak atas tanah maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menolak membuat akta peralihan Hak antara lain apabila:

1.   Hak Atas tanah dalam sengketa

2.   Hak atas tanah ada dalam sita.

3.   Hak atas tanah dikuasai oleh Negara.

4.   Yang mengalihkan hak bukan pemilik/kuasanya.[3]

Bentuk-bentuk penyimpangan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilihat dari segi objeknya antara lain disebabkan:[4]

1.   Pengalihan dan pembebanan yang dilakukan terhadap objek yang sedang dalam sengketa;

2.   Jual beli dilakukan atas sertifikat hak milik yang telah dibatalkan pengadilan.

3.   Pengalihan atau pembebanan hak dilakukan atas objek yang data yuridisnya mengandung cacat hukum, misalnya sertifikat palsu atau sertifikat ganda;

4.   Diterbitkan dua akta terhadap objek yang sama.

Dari hal tersebut menunjukkan bahwa keseluruhan dari faktor-faktor penyebab timbulnya penyimpangan akta PPAT tersebut tidak akan terjadi apabila sebelum dibuat akta oleh PPAT  terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan setempat.

Mengingat pentingnya pemeriksaan tersebut maka di dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997, telah diatur mengenai pemeriksaan dimaksud yaitu dalam Pasal 97 paragraf 2 Tentang Persiapan Pembuatan Akta dan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut adalah merupakan syarat mutlak dalam pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan kata lain tidak boleh terjadi pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebelum terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap keaslian dari sertifikat tersebut pada Kantor Pertanahan setempat.

B.  Peranan PPAT Dalam Perolehan BPHTB

Pada saat pembuatan akta, maka PPAT harus terlebih dahulu memperhitungkan pengenaan pajak yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Pada setiap transaksi peralihan hak itu, pihak penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran pajak. Untuk pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sedangkan bagi pihak pembeli diwajibkan untuk membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun, PPAT tidak berwenang untuk memaksakan nilai transaksi yang sebenarnya.

Pembayaran pajak akibat perbuatan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan biasanya dilakukan oleh PPAT atau oleh para pihak sendiri ke bank persepsi dengan hanya memperlihatkan surat bukti pembayaran pajaknya. Surat bukti inilah yang merupakan dasar bagi PPAT untuk mendatangani akta jual beli yang mereka lakukan. Ada kalanya untuk mempercepat proses transaksi, PPAT yang akan membantu menyetorkan pajak tersebut.

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) memberikan ketentuan yang harus diikuti oleh pejabat yang berwenang (PPAT) hanya dapat menandatangani pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotocopi pembayaran pajak (Surat Setoran BPHTB) dan menunjukkanya aslinya. Jika BPHTB yang terutang atas suatu perolehan hak atas tandah dan bangunan adalah nihil, wajib pajak tetap harus mengisi Surat Setoran BPHTB dengan jumlah pajak terutang adalah nol (nihil) dengan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan. Ketentuan penandatanganan akta ini mengharuskan PPAT ikut serta dalam pengawasan pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB terutang oleh wajib pajak.

Selain penandatangan akta, pejabat yang berwenang juga memiliki kewajiban untuk melaporkan dokumen perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dibuatnya kepada Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan bangunan dimksud berada. Penyampaian laporan ini diperlukan dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan di bidang BPHTB. Ketentuan pelaporan ini diatur dalam Pasal 25 UU BPHTB dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.

PPAT wajib menyampaikan laporan tentang pembuatan akta atas perolehan hak atas tanah dan bangunan disertai salinan Surat Setoran BPHTB (SSB) kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan.

Penyampaian laporan bulanan atas akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh PPAT diperlukan dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan pembayaran pajak (BPHTB) atas terjadinya peralihan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut, dan juga bagi petugas pajak untuk melihat kebenaran besarnya pengenaan pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), mengkompilasikan data yang ada di Bank dengan yang dilaporkan PPAT, serta memilah BPHTB yang bersumber dari peralihan hak atas tanah dan atau bangunan dari PPAT dengan yang bersumber dari peralihan pada Kantor Pertanahan (BPN).

C.  Akibat Hukum Terhadap PPAT Atas Keterlambatan dan atau Tidak Melaporkan Laporan Bulanan Akta ke Kantor Pelayanan PBB

PPAT/Notaris wajib menyampaikan laporan bulanan tentang pembuatan akta atas perolehan hak atas tanah dan bangunan disertai salinan Surat Setoran BPHTB (SSB) kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB (KP PBB) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan.  Akibat hukum tidak dilakukannya kewajiban laporan bulanan akta ini maka kepada PPAT yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi dan denda.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (UU BPHTB) adanya ketentuan sanksi administrasi dan denda bagi PPAT yang tidak melakukan laporan bulanan pembuatan akta tersebut. Demikian juga di dalam Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009) juga diatur tentang kewajiban PPAT untuk melakukan laporan bulanan pembuatan akta. Perlu diketahui bahwa sejak berlakunya undang-undang ini maka yang sebelumnya BPHTB merupakan  pajak pusat berubah menjadi pajak daerah, sebagaimana ketentuan Pasal 83 s.d Pasal 93 undang-undang tersebut.

Laporan atau pemberitahuan bulanan meliputi pembuatan akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh PPAT selama satu bulan terakhir, yang memuat nomor dan tanggal akta, status hak, letak tanah dan atau bangunan, luas tanah, luas bangunan, nomor dan tahun Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB), Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pajak Bumi dan Bangunan, harga transaksi atau nilai pasar, nama dan alamat pihak yang mengalihkan dan memperoleh hak, serta tanggal dan jumlah setoran pembayaran BPHTB terutang.

Mengenai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh PPAT, maka ada dua hal yang menjadi harus dipatuhi atau menjadi kewajiban PPAT yaitu pertama berkaitan dengan pada saat penandatanganan akta dan kedua tentang pelaporan bulanan terhadap akta yang dibuat.

Perbuatan pelanggaran penandatanganan akta yang sebelum dilakukan penyetoran SSB hanya dapat dipantau oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB), karena adanya laporan bulanan akta dari PPAT yang bersangkutan.

Dalam melakukan perbuatan hukum perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, maka PPAT hanya dibenarkan melakukan penandatanganan akta tersebut apabila pihak yang memperoleh hak tersebut telah memperlihatkan Surat Setoran BHPTB (SSB) sebagai bukti telah dilakukannya pembayaran pajak (BPHTB) untuk perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut. Akibat hukum tidak dipatuhi ketentuan tersebut atau penandatanganan akta seorang PPAT tidak meminta pihak pembeli untuk memperlihatkan SSBnya pada saat akta ditandatangani dan akta tersebut telah ditandatangani oleh pembeli, maka PPAT yang bersangkutan akan dikenakan sanksi menurut adminstrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26 UU BPHTB).[5]

Bentuk pelanggaran yang sering terjadi dalam pembuatan akta PPAT terkait dengan BPHTB adalah pelanggaran atas perbedaan tanggal penandatanganan akta dengan tanggal SSB disetor yang dimaksud dalam ketentuan UU BPHTB, yaitu terjadinya penandatanganan akta pada tanggal sebelum dilakukan pembayaran BPHTB oleh wajib pajak atau PPAT yang bersangkutan belum menerima bukti SSB disetor, sehingga tanggal penandatangan akta berbeda dengan tanggal bukti SSB disetor. Selain itu juga dengan tidak dilaporkannya laporan bulanan akta dari PPAT, maka petugas pajak tidak dapat mengetahui kebenaran besarnya pengenaan pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan di hadapan PPAT tersebut. Akibatnya tidak dapat dihindari terjadinya BPHTB Kurang Bayar bagi wajib pajak karena kekurangan bayaran atau kesalahan perhitungan dalam penentuan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam pembuatan akta tersebut.

Dalam hal terjadinya BPHTB kurang bayar, maka pihak KP PBB akan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, yang isinya menerangkan mengenai kurang bayar atas dasar perhitungan pajak sebelum dilakukan pemeriksaan oleh pihak pajak dan sesudah dilakukannya pemeriksaan oleh pihak pajak mengenai kurang bayar tersebut.

Dengan demikian laporan bulanan akta sangat terkait dengan pemungutan BPHTB tersebut dalam hal pembuatan akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh PPAT kepada para pihak. Apabila tidak dilakukan laporan bulanan akta akan memberikan akibat hukum baik terhadap PPAT maupun terhadap wajib pajak itu sendiri.

Akibat hukum tidak dilakukan pelaporan bulanan akta oleh PPAT dalam kaitan dengan BPHTB adalah sebagaimana ditentukan Pasal 26 UU BPHTB akan dikenakan sanksi administrasi dan denda. Adanya sanksi ini dimaksudkan agar PPAT melaporkan setiap akta yang akan digunakan oleh Kantor PBB untuk memeriksa kebenaran pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB yang terutang. Pasal 26 UU BPHTB menentukan apabila PPAT tidak memenuhi ketentuan pembuatan dan penyampaian laporan bulanan akan dikenai sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 untuk setiap laporan.

PPAT di samping sebagai pejabat umum juga adalah pejabat tata usaha negara karena ditugaskan oleh pemerintah membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan sebagian kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah,[6] terutama akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, sehingga menjadi dasar pelaksanaan perubahan data pendaftaran tanah di BPN/Kantor Pertanahan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No. 24 Tahun 2016 tentang peraturan PPAT junto Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Selanjutnya dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018, dinyatakan: (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dilakukan oleh Menteri. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di daerah dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan.

Kepala Kantor Pertanahan berkepentingan melaksanakan fungsinya membina dan mengawasi pelaksanaan kegiatan PPAT dalam wilayah kerja Kantor Pertanahan antara lain dengan memberikan arahan dan petunjuk mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan akta-akta PPAT yang menjadi sumber utama pemeliharaan data pendaftaran tanah.

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam daerah kerja tertentu menurut wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta tanah sesuai formasi yang ditetapkan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT adalah menjadi kewenangan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional.

Demikian juga halnya dalam hal pelanggaran atas laporan bulanan akta PPAT dalam ketentuan UU BPHTB akan dikenakan sanksi administrasi dan denda, tetapi UU BPHTB tidak menyebutkan tindak lanjut mengenai sanksi tersebut. Oleh karena itu, mengenai sanksi administrasi terkait dengan PPAT tidak menyampaikan laporan bulanan yang dimaksud dalam UU BPHTB tersebut dapat dilihat dari ketentuan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018, yaitu:

1.   PPAT tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain (dalam hal ini Kantor Pelayanan PBB) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, maka dikenakan sanksi pemberhentian sementara paling lama 3 bulan.[7]

2.   Pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dapat diberikan langsung tanpa didahului teguran tertulis.[8]

3.   Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian sementara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. [9]

Sebagaimana telah ditentukan dalam UU BPHTB bahwa adanya kewajiban bagi PPAT untuk melakukan laporan bulanan akta ke Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB), namun dalam pelaksanaan dapat terjadi ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap kewajiban itu.

PPAT melakukan penundaan pelaporan bulanan akta karena tidak ada transaksi. Padahal kewajiban pelaporan walaupun tidak ada transaksi maka seharusnya PPAT juga harus melakukan kewajiban pelaporan bulanan akta ke Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan penyataan dalam laporan adalah nihil.

Selain itu, ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap kewajiban pelaporan akta ini dapat dipengaruhi kendala yang dihadapi PPAT dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut. Kendala terjadi bukan hanya dalam hal pelaporan akta saja, tetapi ketika sedang dalam pembuatan akta tersebut, PPAT telah menemui adanya kendala.

Dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan maka akan timbul suatu kewajiban BPHTB bagi pihak yang memperoleh hak atas tanah tersebut. PPAT tidak dibenarkan untuk menandatangani akta perolehan hak tersebut sebelum adanya setoran pajak BPHTB dari para pihak. Dalam pelaksanaannya tidak semua para pihak yang menghadap mengetahui adanya kewajiban BPHTB yang timbul akibat perbuatan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan, sehingga PPAT sebelum penandatanganan akta terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada para pihak akan kewajiban pembayaran pajak atas peralihan hak atas tanah.

PPAT memberikan informasi dan himbauan tentang kewajiban pembayaran pajak, besarnya pajak yang harus dibayar, demikian juga tentang pengisian Surat Setoran BPHTB (SSB). PPAT dalam mengatasi kekurangan informasi mengenai BPHTB tidak hanya sebatas memberikan himbauan kepada para pihak yang akan mengadakan transaksi, tetapi PPAT juga harus membantu para pihak untuk menyetorkan kewajiban pajak yang ditimbulkan dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.

Perbuatan pembayaran BPHTB ini memang dapat dilakukan PPAT, karena dalam hal pembayaran pajak BPHTB yang disetorkan kepada bank persepsi dapat dilakukan oleh pihak mana saja, yang terpenting adalah para pihak memegang surat bukti tanda bayar pajak. Hal ini dilakukan PPAT demi terlaksana kewajiban yang ditentukan dalam UU BPHTB bahwa seorang PPAT hanya dapat melakukan penandatanganan akta setelah adanya bukti Surat Setoran BPHTB (SSB).

Selain dari ketidaktahuan masyarakat tentang timbul pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, juga permasalahan yang dirasakan masyarakat sebagai wajib pajak atas penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB sebagai salah satu dasar perhitungan BPHTB. Dalam perhitungan besar BPHTB ditentukan apabila harga transaksi lebih tinggi dari nilai NJOP, maka yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah nilai transaksi, sedangkan sebaliknya dalam hal nilai transaksi lebih rendah dari nilai NJOP, maka yang digunakan sebagai Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah nilai NJOP PBB.

Dalam prakteknya yang menjadi nilai perolehan objek pajak adalah mengacu pada NJOP PBB. Dalam hal pembayaran BPHTB merupakan kewajiban dari pihak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan tersebut, maka sebagai PPAT tidak dapat memaksakan para pihak untuk mengatakan berapa harga transaksi yang sesungguhnya.

D.  Penutup

Akibat hukum tidak dilakukan pelaporan bulanan akta oleh PPAT akan mengakibatkan tidak dapat dilaksanakan pemeriksaan kebenaran pemenuhan kewajiban pembayaran PBHTB yang terutang sebagai syarat perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut, dan terhadap PPAT yang tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kantor Pelayanan PBB selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, maka dikenakan sanksi pemberhentian sementara paling lama 3 bulan. Pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dapat diberikan langsung oleh Kepala Kantor Wilayah BPN tanpa didahului teguran tertulis. Oleh karena itu, PPAT untuk mematuhi kewajiban laporan bulanan akta ke KPPBB untuk diketahui kurang bayar BPHTB dari wajib pajak dalam perolehan hak atas tanah dan bangunan, sehingga wajib pajak dapat segera memenuhi kurang bayar BPHTB tidak tertunda terlalu lama. Dengan demikian PPAT telah berperan memaksimalkan pemungutan BPHTB pajak terutang.

Daftar Pustaka

Bustami, Chairani, Aspek Hukum Yang Terkait Atas Perikatan Jual Beli yang dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001.

Harsono, Boedi, 1997, Isi dan Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Makalah Seminar Nasional, Fak. Hukum Tri Sakti dan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 14 Agustus 1997.

Sitepu, Runtung, Evaluasi Produk-Produk Akta PPAT Yang Berpotensi Menimbulkan Masalah Pertanahan, Disampaikan pada Focus Group Discussion Evaluasi Produk-Produk Akta Yang Berpotensi menimbulkan Masalah Pertanahan – Kampus USU, Medan 25 Maret 2004.

Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosofi Hukum Agraria, Cetakan I, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003


[1] Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2016 Peraturan PPAT.

[2] Pasal 4 PP No. 24 Tahun 2016 Peraturan PPAT.

[3] Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofi Hukum Agraria, Cetakan I, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 39. lihat juga Chairani Bustami, Aspek Hukum Yang Terkait Atas Perikatan Jual Beli yang dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hal. 98.

[4] Runtung Sitepu, Evaluasi Produk-Produk Akta PPAT Yang Berpotensi Menimbulkan Masalah Pertanahan, Disampaikan pada Focus Group Discussion Evaluasi Produk-Produk Akta Yang Berpotensi menimbulkan Masalah Pertanahan – Kampus USU, Medan 25 Maret 2004, hal 20 – 21.

[5] lihat juga ketentuan Pasal 93 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak.Daerah dan Retribusi Daerah.

[6] Boedi Harsono, 1997, Isi dan Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Makalah Seminar Nasional, Fak. Hukum Tri Sakti dan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 14 Agustus 1997.

[7] Nomor 9 bagian b Lampiran II Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor2 Tahun 2018 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

[8] Pasal 13 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018.

[9] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018