A. Kontrak Baku
Dalam berinteraksi secara ekonomi konsumen sering melakukan berbagai perjanjian baik secara lisan maupun tertulis. Salah satunya adalah perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha secara tertulis yang sudah dalam bentuk baku (Standardized Contract atau Kontrak Baku). Kontrak Baku biasanya berupa formulir yang isi, bentuk serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take it or leave it). Isi atau ketentuan yang terdapat didalam kontrak baku biasanya disebut Klausula Baku (Standardized Clause).
Tak dimungkiri pula bahwa secara praktikal ternyata penggunaan kontrak baku juga meluas kepada akta-akta otentik yang dibuat dihadapan Pejabat Umum Yang Berwenang, yaitu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Secara historis-praktis pernah juga didapati akta-notaris dibuat secara massal dengan membuat formulir akta yang dicetak dalam jumlah besar, misalnya waktu pemberian kredit dalam rangka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang proses pembacaan serta penanda-tanganannya oleh Notaris sejak selesainya pembangunan rumah itu dilakukan secara massal pula, sehingga diperlukan membuat minuta akta Notaris dalam bentuk formulir yang dicetak massal, misalnya membuat akta Surat Kuasa Memasang Hipotik sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai jaminan kebendaan hak atas tanah, oleh karena itu ada Notaris (saat itu dikenal dengan sebutan Notaris-Perumnas, karena terikat agreement selaku rekanan pemberi jasa kenotariatan dengan Perum Perumnas) yang sengaja minta izin tertulis kepada Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) untuk mencetak minuta aktanya secara masinal dalam jumlah besar guna mengantisipasi pelayanan terhadap kastemer (jumlahnya relatif banyak) Perum Perumnas yang harus dilayaninya dengan cepat dan dalam waktu singkat pula.[1]
Secara normatif terlihat upaya pemerintah membakukan akta-akta PPAT ini dengan membuat contoh-contoh berupa formulir yang memang hanya dapat dipesan khusus melalui instansi tertentu (dahulu melalui Kantor Pos setempat, sekarang sesudah melalui masa kelangkaan formulir akta-akta PPAT, melalui Kantor Pertanahan setempat dan hanya dapat diambil oleh PPAT yang bersangkutan atau kuasanya), upaya itu terlihat jelas sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA).
Dalam aturan pelaksanaan UUPA itu terlihat jelas bahwa eksistensi tugas serta jabatan PPAT (berikut dengan produk hukumnya berupa akta-akta PPAT) –yang kemudian dibakukan bentuknya– muncul dalam system hukum di Indonesia sejak UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No.5 Tahun 1960 diberlakukan dalam rangka reformasi system hukum pertanahan di Indonesia. Akta-akta PPAT dikenal sejak lahirnya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah jis. PMA No. 10 Tahun 1961 tentang pengangkatan Penjabat Pembuat Akta Tanah dan PMA No. 11 Tahun 1961 tentang bentuk akta PPAT dan sekarang peraturan pendaftaran tanah sudah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 diikuti dengan peraturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sebagai aturan pelaksanaannya. Permenag/KaBPN No. 3 Tahun 1997 ini mengatur tentang bentuk dan cara penggunaan akta PPAT.
Pasal 1 jo. Pasal. 3 dari PMA No. 11 Tahun 1961 menghendaki PPAT membuat akta peralihan atau pembebanan Hak Atas Tanah dengan memakai “formulir-formulir yang tercetak” di atas kertas HVS 70 atau 80 gram dengan ukuran 2 x 210 x 295 mm (ukuran A3). Menurut system hukum yang ada seorang Notaris sebelum memangku dan melaksanakan jabatannya berkewajiban mengangkat sumpah (baik menurut Pasal 17 PJN Stb. 1860/3 maupun menurut Pasal 4 ayat (2) UUJN No. 30 Tahun 2004) sedangkan PPAT diwajibkan bersumpah sebelum memangku dan menjalankan jabatannya sejak tanggal 18 Maret 1977 berdasarkan PMDN No. 2 Tahun 1977 tentang kewajiban mengucapkan sumpah atau janji bagi PPAT. Sejak terbitnya PP No. 37 Tahun 1998 mulai dikenal Peraturan Jabatan PPAT di Indonesia, sebelumnya belum ada; PPAT yang bukan Notaris tunduk kepada edaran dan Instruksi Menteri Agraria yang berkaitan dengan jabatannya sedangkan PPAT yang merangkap Notaris selain tunduk kepada edaran dan Instruksi Menteri Agraria yang berkaitan dengan jabatannya juga wajib berpedoman kepada Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860/3, yang kemudian pasca kemerdekaan sudah dirubah dengan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30/2004), sedangkan sesudah terbitnya PP No. 37 Tahun 1998 seluruh PPAT (baik yang Notaris maupun yang Non Notaris) wajib mempedomani PP tersebut waktu membuat akta-akta PPAT.
Secara historis terlihat bahwa isi serta klausula-klausula yang terdapat dalam akta PPAT ini berupa ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang umum terdapat dalam akta-akta notariel yang kemudian diadopsi dan sekaligus dibakukan ke dalam formulir akta PPAT dan selanjutnya klausula-klausula yang terdapat didalamnya juga menjadi klausula baku pula karena sudah diterima apa adanya dalam bentuk tercetak –karena ditentukan oleh Pemerintah– sebelum digunakan.
Di luar akta otentik yang boleh dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang tersebut di atas, dikenal akta-akta yang menurut Undang-Undang dibenarkan untuk dibuat secara di bawah tangan (onderhands-acte) dan yang secara praktikal diantisipasi oleh para pelaku bisnis dengan membuat sendiri secara massal kontrak baku dari akta-akta yang dibutuhkan, misalnya akta perjanjian kredit, akta perjanjian kredit rumah atau perjanjian kredit kendaraan bermotor, persetujuan asuransi dan lain lain.
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan atau ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
B. Manfaat dan Kerugian Kontrak Baku
Secara praktikal kontrak baku ini sangat praktis dan ekonomis bagi para pelaku bisnis karena dapat disiapkan dalam waktu singkat bila kapan saja harus menghadapi kastemernya dalam berkontrak tentang suatu objek tertentu karena faktor efisiensi serta kecepatan pelayanan bagi kastemer masing-masing, akan tetapi patut pula dicermati dan diwaspadai bahwa dengan penanda-tanganan akta atau surat perjanjian yang termasuk kontrak baku ini ternyata telah menempatkan kedudukan sang kastemer dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut ekonomi pelaku bisnis itu berada dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori fiducia maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenang-wenang, karena hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Dilaksanakan dengan iktikad baik bermakna bahwa iktikad baik itu secara normatif harus ada sesudah sampai dalam fase post-kontraktual, padahal kalau kita perhatikan alam terkembang ini adalah sangat sulit diterima logika akal sehat suatu perjanjian akan dilaksanakan dengan iktikad baik kalau ternyata didahului dengan hal-hal yang sukar dilihat iktikad-baik dari pelaku bisnis itu sendiri yang tercermin dari perilaku bisnis yang menghindari tanggung-jawab atau konsekwensi serta risiko kontrak yang sudah ada dalam fase post-kontraktual. Pada titik ini terlihat upaya dari pelaku usaha itu untuk senantiasa mengelak atau menghindar dari kewajiban untuk tetap memenuhi tanggung-jawabnya sebagai pelaku bisnis menurut hukum, dan ini terlihat dengan dicantumkannya klausula-klausula dalam perjanjian atau kontrak baku itu yang memberikan posisi hukum yang lebih kuat kepada pelaku usaha daripada kastemernya dan sebagai konsekwensinya para kastemer senantiasa tak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang mereka harapkan dari pelaku usaha itu dalam fase post-kontraktual, padahal mungkin saja apa yang diharapkannya akan diperolehnya dari pelaku usaha sudah digambarkan dengan jelas dan sempurna melalui representasi antara pelaku usaha dengan para calon kastemernya masing-masing. Kenyataann inilah yang dalam hukum kontrak dikenal dengan sebutan misrepresentasi.
Sayangnya hukum kontrak positif kita yang ada sekarang tidak meng atur bahwa setiap perjanjian wajib didahului dengan iktikad baik (good-faith), baik dalam fase pra-kontraktual maupun dalam fase kontraktual. Pengaturan bahwa setiap kontrak wajib didahului dengan iktikad baik (good faith) dalam Hukum Kontrak di Indonesia ternyata masih berada di tataran moral dan belum sampai ke ranah hukum positif. Akibatnya tentu saja diperlukan peran yang lebih besar dari para hakim selaku pelaksana hukum secara empiris dalam fase post-kontraktual untuk menggali nilai-nilai keadilan dalam hukum yang hidup dalam masyarakat dan menerapkannya dalam setiap kasus misrepresentasi yang dihadapinya.
Peran dari hakim secara empiris yang dimaksudkan di atas ini terlihat dalam pertimbangan Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 26 April 2010 Nomor 2888 K/Pdt/2009 yang isinya antara lain mengatakan: “Asas itikad baik ini memang sudah seharusnya ada dalam setiap relasi bisnis terutama berkaitan dengan hubungan antara pemilik/pengelola dengan tenant/penyewa sebagai mitra bisnis yang saling menguntungkan, sehingga jelas sebelum dan sesudah perjanjian dijalankan azas ini harus berjalan terlebih dahulu; karena Mall tanpa penyewa adalah ruangan kosong yang tidak berarti apa-apa atau tidak ada nilai ekonominya”.
C. Kontrak Baku dan Lahirnya Misrepresentasi
Berbagai literatur telah menguraikan tentang kontrak baku ini dan pada umumnya literatur itu menjelaskan bahwa kontrak baku itu adalah kontrak yang dibuat dengan mengikuti form atau bentuk yang sudah dibakukan oleh satu pihak saja karena pada dasarnya kontrak itu dibuat dan dipersiapkan secara massal untuk menghadapi customer yang diperkirakan akan mencapai relatif banyak jumlahnya, sesuai dengan barang[2] atau jasa[3] yang akan dipasarkan oleh offeror. G.H. Treitel[4] mengemukakan bahwa :”The terms of many contract are set-out in printed standard-forms which are used for all contract of the same kind, and are only varied so far as the circumstances of each contract require”. Mengenai penanda-tanganannya, meskipun si penanda-tangan tak membacanya, ia dianggap telah menyetujui isinya.[5]
Praktis kontrak ini dipersiapkan oleh pihak yang lebih dahulu sudah siap untuk berkontrak yang terlebih dahulu sudah merancang apa yang diharapkannya akan dijalaninya dalam proses hukum kelak pada fase post-kontraktual dan proses hukum yang diperkirakannya akan dihadapi oleh offeror itu lazimnya sudah diantisipasi sebelumnya oleh inhouse-lawyer atau external-lawyer yang bekerja untuk kepentingan offeror pada fase pra-kontraktual guna menghadapi kemungkinan yang akan terjadi dalam fase post-kontraktual sesuai dengan hukum perjanjian yang berlaku.
Dari segi asas hukum perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, kontrak baku adalah bentuk yang memang paling efisien dan mudah serta murah dalam mempersiapkannya karena tidak memerlukan waktu yang panjang dan bertele-tele dalam merancang kontrak itu sekaligus tidak perlu mengakomodasi kepentingan hukum kedua belah pihak yang ada kalanya memakan waktu lama dan panjang dalam mencari datanya dalam fase negosiasi pra-kontraktual, dan khusus terhadap kontrak yang diikat antara para pihak, i.c. antara offeror dengan calon kastemer yang memiliki posisi tawar yang seimbang (arm’s length) dengan offeror, akan memerlukan waktu lama pula untuk mencapai kesamaan persepsi terhadap rancangan kontrak yang akan ditanda-tangani para pihak dalam fase pra kontraktual pasca representasi maupun pasca negosiasi. Apalagi kalau dikaitkan dengan persiapan merancang draft kontrak itu sendiri yang akan memakan waktu yang relatif lama[6] dan yang dikuatirkan pula oleh pemilik barang atau penyedia jasa bahwa calon customer yang bersangkutan akan berubah pikiran pula karena lamanya waktu mempersiapkan draft kontrak dimaksud.
Asas kebebasan berkontrak merupakan dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan dan menerima kontrak. Ahmadi Miru[7] mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan pada seseorang untuk membuat aturan tertentu dalam suatu kontrak, yaitu :
1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
3. Bebas menentukan isi klausul perjanjian
4. Bebas menentukan bentuk perjanjian
5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya penulis itu mengemukakan bahwa hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku-III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengenyampingkannya[8] kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
Mengenai keabsahan perjanjian baku terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli-hukum. Sluijter[9] mengatakan bahwa perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Pitlo[10] mengemukakan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian paksa; sedangkan Stein[11] mengemukakan bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian. G.H. Treitel[12] mengemukakan bahwa “A person who signs a contractual document is bound by its terms eventhough he has not read them”.
Sesuai dengan sifatnya yang dibuat dengan cara dibakukan seperti yang lazim dan praktis digunakan maka kontrak baku itu jauh dari kebebasan berkontrak dan sebagai konsekuensinya apa yang sebelumnya secara tersendiri sudah dipresentasikan kepada calon kastemer (konsumen) yang bersangkutan dalam fase pra-kontraktual tidak senantiasa diperoleh dengan cara memuaskan oleh kastemer yang bersangkutan sesuai dengan kehendak dan harapannya dalam fase post-kontraktual, sehingga dalam hal ini terjadilah apa yang dikenal dengan apa yang disebut dengan misrepresentasi. Misrepresentasi ini boleh dikatakan hampir selalu terjadi akibat penggunaan kontrak baku ini.
Memang untuk menghindarkan terjadinya kekecewaan bagi para pihak ada kalanya standard-contract itu digunakan (ditandatangani) oleh para pihak hanya sebagai kelengkapan prosedur saja bersama-sama dengan kontrak biasa yang ditanda-tangani oleh para pihak, seperti praktis ditemukan dalam praktik perbankan terhadap perjanjian kredit yang menyangkut pencairan kredit yang relatif besar jumlahnya. Kontrak baku itu ditandatangani bersama-sama dengan kontrak notariel biasa dan diperlakukan sebagai suplemen (tambahan) dari perjanjian notariel dan dalam perjanjian notariel yang isinya sudah disepakati kedua belah pihak itu selalu merujuk kepada kontrak baku itu manakala ada hal-hal yang tak diatur dalam perjanjian notariel yang telah ditandatangani oleh para pihak.
Keadaan seperti ini terlihat misalnya dalam Persetujuan Kredit yang dibuat secara notariel antara BRI Cabang Medan Putri Hijau dengan nasabahnya dan dalam salah satu pasal dalam akta notaris yang bersangkutan dinyatakan bahwa kontrak baku (yang dikenal dengan model SU Bank, model 07 dan 07A serta model 08 dan 08A) turut dinyatakan berlaku manakala ada hal-hal yang tak diatur dalam persetujuan kredit notariel dimaksud. Kontrak baku ini ditandatangani begitu saja oleh Bank dan nasabah yang bersangkutan tanpa membacanya terlebih dahulu sama sekali selepas menandatangani persetujuan kredit notariel; oleh karena itu isi dari kontrak baku yang menjadi rujukan dari kontrak biasa ini juga tak selamanya menempatkan para pihak dalam posisi yang seimbang dan memuaskan kedua belah pihak. [13]
Dari sudut pembuatannya saja terlihat bahwa kontrak baku ini disediakan dan disiapkan oleh pihak yang secara ekonomis lebih kuat atau lebih mapan guna mengikat kastemernya sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan lazimnya berisi hak-hak dari pihak yang lebih kuat dan selebihnya hanya berisi kewajiban-kewajiban pihak yang lemah atau kastemer yang bersangkutan, oleh karena itu boleh dikatakan bahwa kontrak baku ini jauh dari posisi seimbang dari para pihaknya.
Penandatanganan perjanjian berupa kontrak baku yang didahului dengan representasi, baik representasi dengan penyampaian kalimat-kalimat tawaran (by words) maupun melalui perilaku (by conduct) yang tujuannya membujuk (to induce) calon kastemer untuk menerima tawarannya mengikat perjanjian dapat mengakibatkan lahirnya misrepresentasi.[14]
Perjanjian atau kontrak baku tak selamanya bermuara kepada terjadinya peristiwa misrepresentasi; peristiwa misrepresentasi melalui kontrak baku terjadi manakala pelaku transaksi bisnis yang tadinya bertindak selaku representor q.q. offeror melaksanakan prestasinya tidak sesuai menurut perjanjian sesuai dengan apa yang sudah diperjanjikan sebelumnya; sebaliknya secara lebih khusus lagi kalau representee q.q. offeree memang sudah biasa bertransaksi dengan representor q.q. offeror yang bersangkutan meskipun ketika posisinya selaku pelaku usaha dan subjek hukum yang berposisi kuat berhadapan dengan representee q.q. offeree yang lemah, dan manakala oleh representor q.q. offeror senantiasa dijaga tingkat kepuasaan representee q.q. offeree dalam fase post-kontraktual kepada kastemernya itu tentu saja apa yang dikenal sebagai misrepresentasi itu tidak akan terjadi. Misrepresentasi jelas terjadi atas perjanjian yang berbentuk kontrak baku dan yang juga berisikan klausula baku apabila apa yang diharapkan seorang kastemer saat ia berperan selaku representee q.q. offeree dalam fase pra-kontraktual ketika ia menempatkan harapan yang besar dan tingkat ketergantungan yang tinggi berbasis kepercayaan yang besar pula terhadap pemenuhan prestasi representor q.q. offeror yang memang tidak menjaga kepuasan kastemernya dan yang dalam usahanya hanya menekankan bagaimana supaya cash-flow usahanya akan senantiasa dapat ditingkatkan dalam berbagai situasi ekonomi yang dihadapi representor q.q. offeror, singkatnya bagi representor q.q. offeror yang benar-benar berprinsip “the customer is the king” jelas akan berusaha menghindarkan kekecewaan bagi kastemernya.[15]
[1] Syahril Sofyan, “Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis”, (USU Medan: Naskah Publikasi Disertasi,2011), hal. 56
[2] Ibid., hal. 59. Misalnya Perjanjian Pengelolaan Sewa (Lease Management Agreement) Swiss Belhotel Hotel & Suites yang terletak di Jln. H.Z. Arifin Medan (di persimpangan Jln. S. Parman)
[3] Ibid., hal. 59. Misalnya kontrak yang berisi penutupan perjanjian asuransi jiwa dari perusahaan asuransi; persetujuan kredit bagi bank yang memberikan jasa perbankan, kontrak leasing bagi perusahaan Leasing dan banyak lagi contoh lain.
[4] G.H. Treitel., Law of Contract, Eight Edition, Sweet & Maxwell, International Student Editions, London, 1991, hal. 196
[5] “A person who signs a contractual document is bound by its terms eventhough he has not read them”, vide G.H. Treitel, op. cit., hal. 197
[6] G.H. Treitel, Loc.Cit., mengemukakan bahwa :”one object of these standard-forms is to save time”.
[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007), hal. 4
[8] Ibid.
[9] Vide Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori Dan Analisa Kasus, (Kencana, Jakarta, 2004), hal. 124
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] G.H. Treitel, op. cit., hal 197
[13] Syahril Sofyan, op. cit., hal. 61
[14] Ibid., hal. 61.
Baca juga