Ukuran Menentukan Misrepresentasi Dalam Kontrak


A. Tahap membuat Perjanjian/Kontrak

Dalam praktik dikenal ada tiga tahap dalam membuat perjanjian yaitu “Pertama,tahap pra-contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; Kedua, tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dan Ketiga, tahap post-contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian”.[1]

Dalam fase atau tahap pra-kontraktual kedua belah pihak yang sedang bernegosiasi itu secara bertimbal-balik akan berusaha saling mempertemukan pendapat dan harapan masing-masing pihak kepada lawannya bernegosiasi demi mencapai kesepakatan (deal) prihal materi dan syarat-syarat perjanjian yang dikehendaki bersama. Dalam tahap negosiasi ini, upaya kedua belah pihak untuk saling mempertemukan pendapat dan maksud kedua belah pihak dilakukan dengan saling memberi dan menerima konsesi[2] dari pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya sehingga pada tahap akhir negosiasi akan tercapai kesepakatan (deal) yang sama-sama dicari dan ingin dicapai oleh kedua belah pihak.

Panjang atau pendeknya rentang waktu yang dibutuhkan dalam mencapai kesepakatan sesudah menjalani proses negosiasi sangat tergantung kepada cepat atau lambatnya dicapai kesamaan persepsi atau tingkat pemahaman kedua belah pihak yang bernegosiasi tentang materi dan syarat-syarat perjanjian yang hendak mereka masuki. Kesamaan persepsi atau kesesuaian kehendak yang hendak dicapai ini tergantung pula kepada tingkat kerumitan atau kompleksitas syarat-syarat perjanjian yang dihadapi kedua belah pihak saat bernegosiasi. Bagi pihak yang sudah memahami benar materi dan syarat-syarat suatu perjanjian yang hendak dimasuki berikut dengan segala aspek akibat hukumnya dengan mudah menerima tawaran yang disampaikan oleh lawannya bernegosiasi dan oleh karena itu dengan mudah mencapai kesepakatan untuk saling mengikat diri dalam suatu perjanjian yang kemudian dituangkan dalam kontrak tertulis.

Keadaan yang sebaliknya akan terjadi bila salah satu pihak membutuhkan waktu yang relatif tidak-singkat (lebih lama atau lebih panjang) untuk dapat memahami apa yang hendak dicapainya melalui suatu perjanjian termasuk syarat-syaratnya. Kata “tidak-singkat” digunakan untuk merumuskan kalimat negatif dan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa lazimnya yang melakukan penawaran (offeror) lebih siap untuk segera mengikatkan diri dalam suatu persetujuan (deal) jika dibandingkan dengan pihak yang menerima penawaran (offeree) dan karena kesiapannya lebih baik daripada pihak yang menerima penawaran, maka lazimnya offeror itu sudah siap dengan konsep atau rancangan perjanjian yang diha rapkannya dapat diterima oleh pihak offeree. Kesiapan offeror untuk mengikatkan diri dalam perjanjian ini sudah mencakup hal-hal apa saja yang hendak dikemukakannya kepada –dan sekaligus apa yang dikehendakinya hendak diperolehnya dari– offeree, malahan secara praktikal kesiapannya ini diwujudkan dengan sudah disiapkannya rancangan kontrak tertulis yang siap untuk ditanda-tangani dan diharapkannya akan berlaku dan mengikat kedua belah pihak setelah kesepakatan (deal) dicapai[3].

Dalam bernegosiasi guna mencapai kesepakatan itu sekurang-kurangnya bertemu dua pihak yang memiliki kepentingan yang pada mulanya berseberangan akibat perbedaan pemahaman atau persepsi yang dimiliki oleh masing-masing pihak atas objek kesepakatan, yang selanjutnya perbedaan pemahaman dan persepsi itu akan disamakan melalui negosiasi yang akan ditempuh.  Ada kalanya negosiasi itu berjalan mulus bila materi atau objek kesepakatan yang hendak dicapai itu sudah difahami benar dengan baik oleh kedua belah pihak, dan selanjutnya kedua belah pihak hanya membicarakan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya (terms and conditions) saja; tetapi ada kalanya objek perjanjian atau transaksi bisnis itu harus diperlihatkan unjuk-kerjanya atau wujudnya melalui suatu penggambaran atau pemaparan (representation) dalam fase pra-kontraktual ini, baik secara umum[4] maupun secara khusus, mengingat sifat dari sesuatu yang akan jadi objek perjanjian itu.

Pemaparan atau penggambaran (deskripsi) atas unjuk-kerja dalam fase pra-kontraktual hanya dikenal pada persetujuan yang lahir karena tercapainya kesepakatan dan pemaparan ini disebut dengan representasi (representation). Bila proses pemaparan atau deskripsi ini berlangsung sukses dilanjutkan dengan melakukan penawaran (offer) oleh offeror yang disebut juga dengan sebutan representor. Pihak lain terhadap siapa tawaran diberikan atau yang menerima deskripsi atau pemaparan disebut dengan offeree atau representee. Sesudah pemaparan atau representation ini berlangsung negosiasi yang sudah dirintis oleh kedua belah pihak sebelumnya akan dilanjutkan ke tahap pengambilan keputusan (decision making) dari masing-masing pihak untuk selanjutnya saling menerima baik tawaran dan pemaparan yang sudah disampaikan dalam tahap pra-kontraktual itu dan selanjutnya kedua belah pihak akan sampai ke dalam tahap persetujuan atau kesepakatan (deal) bersama dan kesepakatan yang sudah tercapai itu kemudian dituangkan ke dalam perjanjian tertulis atau kontrak.

Kesepakatan yang sudah dicapai dan dituangkan ke dalam perjanjian tertulis itu selain berisikan subjek dan objek perjanjian, juga berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat perjanjian ditambah syarat lain yang di tentukan oleh undang-undang.[5] Seluruh substansi perjanjian yang tertuang dalam kontrak itu sejak fase kontraktual telah mengikat di antara kedua belah pihak.[6] Ada kalanya negosiasi itu berlangsung mulus dan hasil yang dicapai memuaskan kedua belah pihak dan perjanjian itu dapat terlaksana sesuai maksud dan tujuan serta pemahaman dari kedua belah pihak karena kedua belah pihak sudah sangat biasa untuk bernegosiasi dan sudah sangat memahami bentuk dan akibat hukum dari transaksi bisnis (perjanjian) yang akan mereka masuki itu[7]. Akan tetapi tak jarang negosiasi saat berlangsung berjalan mulus akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya (post-contractual) sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya.

B. Ukuran Menentukan Misrepresentasi

Para penulis unggulan dalam hukum perjanjian Indonesia, seperti R. Subekti, Wirjono Prodjodikoro dan R. Setiawan secara konvensional sudah lebih dahulu mengkonstatir terjadinya misrepresentasi ini, meskipun dalam bentuknya yang tradisional atau konvensional. Subekti menyebutkan: ”melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan”;[8]  Wirjono Prodjodikoro menyebutkan :”Pihak berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak sebaik-baiknya”, [9] sedangkan  R. Setiawan menyebutnya :”Memenuhi prestasi secara tidak baik” [10] dan semuanya masih melihatnya dalam kerangka wanprestasi menurut Pasal 1266 KUHPerdata. Akan tetapi manakala pihak yang menerima prestasi dalam konteks uraian ketiga penulis ini ternyata memasuki kontrak karena terpengaruh akibat penyampaian fakta materil yang dialamatkan kepada yang menerima prestasi dan yang ternyata penyampaian fakta materil itu tidak benar, maka dalam hal ini sebenarnya kita sudah berhadapan dengan apa yang dalam sistem hukum Common law dikenal dengan sebutan misrepresentasi; padahal hukum kontrak Indonesia hanya mampu melihatnya sebagai cidera janji (wanprestatie) atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Pada titik ini dengan tepat Bismar Nasution mengemukakan pendapat H.L.A Hart yang dengan sangat simpatik menyebutkan bahwa: ”Hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial”.[11] Pada bahagian lain tulisannya itu Bismar Nasution mengemukakan bahwa yang paling menarik untuk dikaji dalam konsep hukum Hart adalah mengenai moral yang terkandung dalam hukum itu, oleh karena memang setiap hukum harus mempunyai perasaan terhadap suatu perbuatan.[12] Selanjutnya Bismar Nasution mengemukakan: ”Karena hukum yang mengandung pertimbangan moral sangat relevan untuk menjawab tuntutan masuknya moral dalam hukum dan kondisi hukum yang memprihatinkan sekarang ini, maka perlu mengangkat topik internalisasi moral dalam hukum ke permukaan”.[13]

Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia tidak mampu menjawab tentang upaya untuk menangkal atau menjawab masalah misrepresentasi ini karena aturan formalnya memang tidak atau belum ada, oleh karena itu pertimbangan moral dari perilaku bisnis yang terdapat dalam pikiran dan nilai kebenaran serta kejujuran yang terbersit dalam hati nurani pelaku bisnis di Indonesia itu sajalah yang dapat dijadikan pegangan dari pihak offeree sekaligus harapan dari pihak offeree agar  offeror pada saat menawarkan barang atau jasanya offeror benar-benar berpikir dan berperilaku positif dan objektif dalam fase prakontraktual dan dalam rangka pemenuhan kewajibannya terhadap offeree dan benar-benar berperilaku objektif berdasarkan moral dan etika positif sehingga apa yang ditawarkan pada fase pra-kontraktual dan yang kemudian dituangkan ke dalam persetujuan tertulis itulah idealnya yang benar-benar dapat terwujud sepenuhnya menurut redaksi perjanjian yang disepakati pada saat tercapainya fase post-kontraktual antara para pihak.

Dalam konteks ini seorang pelaku bisnis patut merasa bangga [14] bila ia selaku offeror benar-benar dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani pada fase kontraktual dan apa yang tertuang dalam kontrak itu terdiri dari syarat dan ketentuan yang disampaikan melalui representasi dalam fase pra-kontraktual dan yang telah mewujud dan terpenuhi guna kepentingan offeree dalam fase post-kontraktual sehingga apa yang dikenal sebagai misrepresentasi dalam transaksi bisnis itu benar-benar tidak sampai terjadi. Sebaliknya seorang offeror tak patut untuk merasa bangga apabila customernya yang sebelumnya sudah menikmati penyajiannya lewat presentasi bisnis yang dilakukannya dalam fase pra-kontraktual, apabila ternyata dalam fase post-kontraktual masih ditemukan hal-hal yang mengecewakan sang offeree i.c. yang menyangkut apa yang pernah disajikan dalam representasi dalam fase pra-kontraktual, karena ternyata dalam apa yang disajikan itu masih terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang diperolehnya dan yang mengecewakan sang kastemer tadi selaku end-user. Pada titik inilah menjadi relevan himbauan yang terkandung dalam pesan yang dikemukakan oleh Pasal-1 Konstitusi Jepang dimaksud di atas yang memesankan :”Di atas segala kebanggaan apapun, lakukanlah lebih dahulu kewajiban untuk menghindarkan ketidakbanggaan”, i.c. suara hati nurani dan moral seorang offeror sejak dini dalam fase pra-kontraktual harus mampu dan peka merasakan kekecewaan yang kelak akan diperoleh sang representee atau offeree apabila apa yang disajikannya dalam representasinya itu disadarinya sejak awal akan jauh dari kenyataan yang mampu disajikannya kelak kepada offereenya; karena pada fase ini tingkat ketergantungan sekaligus harapan berbasiskan kepercayaan seorang offeree terhadap apa yang kelak diperolehnya dari offeror dalam fase post-kontraktual sangat besar, demikian juga kepercayaan yang diletakkan sang offeree terhadap offeror masih sangat besar pula.

Pada titik ini menjadi relevan pula apa yang pernah dianut dalam kehidupan ketatanegaraan kita di Indonesia[15] yang dikenal dengan tepa-selira, yaitu kemampuan dan kepekaan sejak dini untuk merasakan kekecewaan orang lain apabila kita melakukan suatu perbuatan atau berbuat yang dapat merugikan orang itu; oleh karena itu adalah layak pula bila nilai-nilai moral yang terkandung dalam Tap. No. IV/MPR/1973 itu dijadikan masukan sebagai sumber untuk membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perjanjian yang kelak akan berlaku di Indonesia (ius constituendum) sesuai dengan konsepsi moral yang diintrodusir oleh H.L.A. Hart tersebut di atas.

Melihat kepada fenomena kontraktual yang terjadi dalam kasus-kasus yang terjadi dan telah diputus, seperti Perkara No. 81/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst dan Perkara No. 269/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel, guna perbaikan rumusan norma hukum kontrak yang akan diberlakukan sebagai pegangan di masa yang akan datang (ius constituendum), adalah layak jika dalam kesempatan ini diusulkan untuk menyempurnakan redaksi Pasal 1266 KUHPerdata sedemikian rupa agar dalam persetujuan yang didahului dengan representasi,  maka sebagai ukuran guna membuktikan adanya iktikad baik dan ketulusan dan kejujuran sekaligus keterbukaan dari representor c.q. offeror dalam fase pra-kontraktual terhadap kastemernya yang menggantungkan harapan yang besar berbasis kepercayaan yang sangat tinggi akan pemenuhan kontrak itu dari seorang representor c.q. offeror, maka representor c.q. offeror yang bersangkutan harus berani mencantumkan syarat batal dalam kontrak yang disodorkannya bila prestasi yang akan diberikannya dalam fase post-kontraktual ternyata tidak terpenuhi sebagaimana mestinya menurut redaksi kontrak, bila perlu dengan tambahan sanksi berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai kehilangan keuntungan yang diharapkan. [16]

Tak cukup sampai disitu saja, seorang offeror harus berani mencantumkan syarat batal karena terjadinya penipuan dengan segala konsekwensi hukumnya seperti yang disebut di atas bila ternyata pula tawarannya mengandung unsur penipuan dan untuk menangkal terjadinya misrepresentasi melalui penipuan ini adalah pada tempatnya disarankan lembaga pilihan bersyarat baru yang disebut dengan syarat berunsur penipuan (khiyar gharar).

Bertolak dari uraian di atas, sampai pada ukuran atau standar untuk mengukur atau mendeteksi eksistensi potensi misrepresentasi dalam fase pra-kontraktual atas suatu rancangan kontrak yang telah dibuat sebagai berikut: pertama, potensi misrepresentasi patut diwaspadai kehadirannya dalam suatu rancangan kontrak ketika yang berhadapan untuk berkontrak adalah pihak yang secara ekonomis dan psikis lebih kuat di satu pihak dan pihak yang secara ekonomis dan psikis lebih lemah di lain pihak; kedua, potensi misrepresentasi patut diwaspadai kehadirannya dalam suatu rancangan kontrak apabila terdeteksi kurang atau tiadanya kadar kejujuran dan iktikad baik dari salah satu atau dari para pihak; ketiga, potensi misrepresentasi patut diwaspadai kehadirannya dalam suatu rancangan kontrak apabila terlihat klausula yang memberikan keunggulan atau peluang untuk memperoleh keuntungan secara tidak adil (unjustly enrichment) kepada salah satu pihak tanpa dibarengi dengan prestasi yang seimbang dari pihak yang lainnya; keempat, potensi misrepresentasi patut diwaspadai kehadirannya dalam suatu rancangan kontrak apabila terlihat fakta bahwa tawaran dari satu pihak disampaikan menurut cara yang kelihatannya penuh kesederhanaan dan kekeluargaan dalam suasana yang saling percaya dan yang harus dijawab untuk diterima dalam waktu yang relatif singkat sedangkan pihak yang menerima penawaran belum memahami benar manfaat dan risiko yang akan dihadapinya dalam rancangan kontrak yang akan diterimanya itu; dan kelima, potensi misrepresentasi patut diwaspadai kehadirannya dalam suatu rancangan kontrak apabila pihak yang melakukan penawaran untuk bertransaksi bisnis yang berposisi secara ekonomis dan psikis lebih kuat terlihat tidak mencantumkan kesediaannya untuk menanggung risiko dibatalkannya transaksi oleh lawannya berkontrak secara sefihak bila ternyata tawarannya mengecewakan fihak yang lainnya.[17]

Dalam fase kontraktual potensi misrepresentasi patut diwaspadai ke hadirannya bila pertama, masih terlihat salah satu dari unsur-unsur yang dikemukakan di atas dalam rancangan kontrak; dan kedua, pihak yang kuat secara psikis dan ekonomis tetap menghendaki untuk menyegerakan penanda-tanganan kontrak yang berisi transaksi bisnis yang berkenaan dalam waktu yang relatif singkat tanpa memberikan kesempatan kepada pihak yang lainnya untuk berpikir dan berperilaku memasuki kontrak dengan tenang. Untuk menghindari terjadinya misrepresentasi ini maka pejabat yang bertanggung-jawab dalam pembuatan kontrak patut memberikan atau memberitahukan peringatan sejak dini (early warning system) untuk menangkal atau mencegah terjadinya misrepresentasi pada titik ini dengan mengambil sikap berupa menunda penanda-tanganan kontrak seperti itu atau membatalkannya sama sekali karena secara moral pejabat yang bersangkutan (baik dalam posisi selaku lawyer maupun selaku notaris) berkewajiban untuk mencegah terjadinya sengketa (anti trial role).[18]

Khusus untuk mencegah terjadinya misrepresentasi dalam fase pra-kontraktual, selain menyikapi pembuatan kontrak dimaksud oleh para pihak dengan penuh kejujuran dan keterbukaan, diperlukan keterampilan dan kecermatan berkontrak yang tinggi serta pemahaman hukum kontrak yang memadai dari para pihak yang berkontrak, sedemikian rupa agar kontrak dimaksud dapat mencapai tujuannya dengan memuaskan bagi para pihak setelah tiba pada fase post-kontraktual. Bila para pihak sudah diingatkan tentang risiko (berupa akibat hukum) dari perjanjian yang akan dihadapi mereka dalam fase post-kontraktual, idealnya peristiwa atau tindakan mengingatkan para pihak itu hendaklah dibuatkan atau dituangkan dalam suatu pernyataan bersama secara tertulis (baik secara otentik maupun di bawah tangan) supaya dapat dijadikan pegangan di belakang hari kelak bahwa para pihak sebenarnya sudah diingatkan tentang risiko dan akibat hukum yang akan mereka terima sebagai konsekwensi langsung dari perjanjian yang akan mereka masuki. Gunanya untuk mencegah tudingan salah satu pihak dalam perjanjian itu yang mendalilkan bahwa dirinya telah menjadi korban dari perbuatan atau pernyataan yang menyesatkan (misrepresentasi) dari pihak yang lainnya.[19]

Bagi para banker yang melayani kastemernya, guna mencegah atau menangkal terjadinya misrepresentasi, diwajibkan untuk menerapkan Pasal 29 dari Undang-Undang Perbankan yang isinya mewajibkan banker yang bersangkutan untuk sejak dini memberitahukan risiko yang akan dialami calon nasabah yang bersangkutan bila mengikatkan diri dalam kontrak dengan bank yang bersangkutan (prudential banking). Ketentuan itu terdapat dalam ayat (4) Pasal 29 yang mengatakan bahwa Bank wajib memberikan informasi mengenai kemungkinan terjadinya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank (Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 1 Tahun 1992 tentang perbankan)

Khusus bagi perancang kontrak (baik inhouse lawyer maupun external lawyer ataupun notaris), pada umumnya  dalam fase pra kontraktual, dan pada khususnya dalam fase kontraktual, diperlukan keterampilan untuk mengimplementasikan seni-hukum[20] dalam rancangan kontraknya agar para pihak yang kelak terikat dengan kontrak itu dapat menikmati suasana yang nyaman sesuai dengan kehendak kedua belah pihak bila sampai pada fase post-kontraktual. Implementasi dari seni hukum ke dalam rancangan kontrak dalam fase pra-kontraktual itu sangat tergantung kepada kemampuan dan keterampilan teknis sang perancang kontrak itu sendiri.

Misrepresentasi itu timbul karena terjadi peristiwa ketidaksesuaian antara apa yang ditawarkan offeror dalam fase pra-kontraktual dengan apa yang diperlihatkan dan harus diterima offeree dalam fase post-kontraktual. Ketidaksesuaian itu terjadi karena berbagai faktor penyebab, yaitu pertama, karena besarnya harapan offeree terhadap offeror dalam fase pra-kontraktual akan pemenuhan kebutuhannya yang berbasiskan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi dari offeree terhadap offeror; dan kedua, karena rendahnya kepedulian dan kepekaan seorang representor q.q. offeror akan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan hukum kontraktual offeree q.q. representee. Dalam perkembangan hukum kontrak yang terjadi ternyata kontrak yang lahir karena misrepresentasi ini dijadikan sebagai alat bagi pihak offeror yang berada dalam posisi hukum yang lebih kuat untuk menekan dan memaksa offeree yang umumnya berada dalam posisi lemah dan ketergantungan untuk memenuhi prestasinya secara merugikan pihak offeree, dengan dalih bahwa perjanjian itu merupakan undang-undang bagi para pihak dan wajib dilaksanakan dengan iktikad baik, meskipun hukum kontrak Indonesia masih melihat misrepresentasi ini dalam kerangka wanprestasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1266 KUHPerdata. Kekosongan hukum kontrak di Indonesia tentang misrepresentasi ini praktis sudah diisi para hakim yang memeriksa serta memutus perkara misrepresentasi yang sudah terjadi dengan membatalkan kontraknya atau setidak-tidaknya menolak gugatan offeror q.q. representor berdasarkan kontrak yang berbasis misrepresentasi itu.[21]


[1] Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika, 2005), hal. 16

[2] G.H. Treitel, Op.Cit., hal. 16 menulis  :”As negotiations progress, each party may make concessions or new demands and the parties may in the end disagree as to whether they had ever agreed at all”. Concessions yang kemudian diterima terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai “konsesi” disini bermakna “kelonggaran”.

[3] Ada kalanya dalam fase pra kontraktual ini, yaitu sebelum perjanjian induk ditandatangani, antara kedua belah pihak ditandatangani terlebih dahulu nota kesefahaman (letter of intent) sebagai tanda bahwa pihak yang satu sudah menerima tawaran dari pihak yang lain..

[4]  Misalnya dalam bentuk menggelar acara grand-launching, soft-opening atau grand-opening dan lain-lain

[5] Lihat Pasal 1320 KUHPerdata berbunyi :”Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;4. suatu sebab yang halal”.

[6] Salim HS, Op.Cit., hal. 16.

[7] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis,  (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 17

[8] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Intermasa, 2004), hal. 46

[9] R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung, Sumur Bandung, 1992), hal. 56-62

[10] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1977), hal. 17-18

[11] Bismar Nasution, Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance: Suatu Kajian Dari Pandangan Hukum dan Moral, makalah yang disampaikan pada diskusi Strategi Pemberantasan Korupsi dan Penerapan Good Governance, dilaksanakan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Medan Area, Medan, tanggal 16 Oktober 2010, hal. 6

[12] Ibid., hal. 6

[13] Ibid., hal. 6

[14] Adalah tepat dan relevan sekali bunyi Pasal-1 Konstitusi Jepang yang pertama kali diberlakukan pada abad ke-7 oleh Ratu Shotoko yang menyebutkan: ”Di atas segala kebanggaan apapun, lakukanlah lebih dahulu kewajiban untuk menghindarkan ketidakbanggaan”, vide lebih lanjut dalam Bismar Nasution, op., cit., hal. 5. Pada bahagian lain tulisannya, hal. 6, Bismar Nasution mengemukakan :”Wajarlah, oleh karena etika masyarakat Jepang tetap mendorong penegakan hukum dan suara hati (consciences) mereka masih memancarkan moral yang memberi penekanan bahwa masuk ke pengadilan dianggap suatu hal yang memalukan”.

[15] Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

[16] Syahril Sofyan, “Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis”, (USU Medan: Ringkasan Disertasi, 2011), hal. 65

[17] Ibid., hal. 66

[18] Ibid.,hal.66

[19] Ibid., hal. 67

[20] Istilah ini merupakan sub-bab vide dalam L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht), (cetakan kedua, Noordhof-Kolf, Djakarta, 1957), hal. 326-327.

[21] Syahril Sofyan, op. cit., hal. 70.

Baca juga:

Transaksi Bisnis Yang Lahir Dari Kontrak Baku dan Lahirnya Misrepresentasi