Kepastian Hukum Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank


A.  Perjanjian Kredit Bank

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan peranannya maka bank sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit, dan jasa-jasa keuangan lainnya. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri, atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.[1]

Sumber hukum perbankan menyangkut sumber hukum dalam arti material maupun sumber hukum dalam arti formil. Sumber hukum dalam arti materil, adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu sendiri, yang terdiri dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan lain sebagainya. Sumber hukum dalam arti formil tidak hanya terbatas pada hukum tertulis tetapi juga pada sumber hukum yang tidak tertulis.[2]) Mengenai sumber hukum formil di Indonesia yang paling utama adalah Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 33. Kemudian barulah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, khususnya mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia, dan peraturan lainnya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan.[3]

Landasan hukum sistem perbankan di Indonesia untuk pertama kalinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 Lembaran Negara Nomor 2 Tahun 1955.[4]

Setelah lebih sepuluh tahun berlakunya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut dan dihubungkan dengan perkembangan politik dan perekonomian yang terjadi pada saat itu, pemerintah memandang perlu untuk mengadakan penyehatan dan perbankan pada khususnya, serta pengamanan keuangan negara pada umumnya seperti yang ditegaskan dalam Pasal 55 Keputusan MPRS Nomor XXII/MPRS/1996.[5]

Pengaturan kembali tentang perbankan ini lebih dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter di Indonesia, kemudian terbit Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan dan telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang ditetapkan pada tanggal 25 Maret Tahun 1992 selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan. Kemudian dilakukan lagi perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang ditetapkan pada tanggal 10 November 1998 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral, akan tetapi dengan berbagai pertimbangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 juga dianggap tidak sesuai lagi, dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Selanjutnya, suatu kegiatan dalam lalu lintas bisnis tentunya memerlukan suatu lapangan yuridis yang menjadi dasar hukumnya, hal ini suatu konsekuensi dari suatu prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian juga terhadap suatu perbuatan hukum pemberian kredit, tentunya juga memerlukan suatu basis hukum yang kuat. Dasar hukum pemberian kredit oleh bank ini, dapat diperinci menjadi (1) perjanjian di antara para pihak, (2) Undang-undang tentang Perbankan, (3) peraturan pelaksanaan dari undang-undang, (4) kebiasaan dalam praktek perbankan, (5) yurisprudensi, (6) peraturan perundang-undangan terkait lainnya.[6]

Sebelum melakukan akad kredit, terlebih dahulu dilakukan perjanjian antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur), dan dari perjanjian tersebut setelah setuju, maka terikat kedua belah pihak atau lebih yang diatur menurut undang-undang yang berlaku, sehingga disebutlah hukum perikatan, yang di dalamnya harus dijalankan atau dipenuhi prestasi oleh pihak yang berhutang. Subekti menyebutkan suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.[7]Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.[8] M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.[9]

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang ditulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang, perikatan itu lebih banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana dikatakan tadi ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain ini tercakup dengan nama perikatan undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.[10]

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Kadang-kadang secara khidmat perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.[11]

Hukum harta kekayaan mencakup dua bidang yaitu hukum benda dan hukum perikatan. Di dalam hukum benda terdapat asas-asas umum antara lain sebagai berikut: a) asas tertutup; b) asas pemisahan horizontal; c) asas penguasaan (possesion); d) asas hak mengikuti benda (right in rem); e) asas persamaan/kesejajaran hukum; f) asas keseimbangan; g) asas kepatuhan; h) asas kebiasaan.

KUH Perdata Buku III terdiri dari 18 Bab, Bab I sampai dengan IV mengatur bagian umum, sedangkan di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII terdapat perjanjian-perjanjian khusus (bernama). Berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian selain dari perjanjian yang dikenal undang-undang yaitu perjanjian tidak bernama.

Di dalam perkembangan Hukum Perdata, khusus hukum perikatan banyak terdapat perjanjian-perjanjian baru yang diatur dalam perangkat hukum yang seporadis.  Di dalam undang-undang tentang perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan perubahannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 antara lain disebutkan juga perjanjian-perjanjian sewa guna usaha, modal ventura, kartu kredit, penitipan, dan kredit.

Selanjutnya, di dalam KUH Perdata dikenal kreditur yang konkuren yaitu kreditur yang mempunyai hak-hak yang sama terhadap kekayaan debitur dibagi di antara kreditur sama rata menurut imbangan piutangnya, masing-masing, berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata sebagai jaminan umum.

Asas ini dapat disimpangi jika kreditur mempunyai jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan perjanjian, seperti hak tanggungan (dulu hipotik) dan gadai berdasarkan Pasal 1133 KUH Perdata jo Pasal 6 dan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.[12]

Pasal 1320 KUH Perdata mengatur, bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu hal tertentu, dan 4) suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, disebut syarat subyektif, karena subjek atau orang-orang yang mengadakan perjanjian dan bila syarat ini tidak dipenuhi dapat dimintakan pembatalan, dua syarat terakhir dinamakan syarat objektif, karena menyangkut perjanjian itu sendiri atau objek dari perjanjian. Bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum, atau dengan kata lain batal dengan sendirinya, dan berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau memang ada tetapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.[13]

Sedangkan mengenai kredit, Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan, bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Di dalam kaitan perjanjian kredit ini, menurut Sonny Harsono pihak perbankan selaku kreditur biasanya meminta suatu jaminan hutang berupa tanah yang diikat dengan hak tanggungan. Hal ini telah diakomodir di dalam UUHT. Menurut Pasal 10 ayat (1) undang-undang ini, pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut.[14]

Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT dikatakan: sesuai dengan sifat accessoire dari hak tanggungan pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan hutang piutang ini dapat dibuat dengan akte di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu.

Dalam proses pemberian kredit akan menyangkut suatu jumlah uang dari nilai yang relatif kecil sampai jumlah yang cukup besar, hingga ada berbagai kemungkinan pula yang dapat terjadi yang akan membawa kerugian finansial bagi bank yang bersangkutan, apabila kredit-kredit tersebut tidak dikelola (dimanage) dengan baik.[15]

Istilah kredit dalam bahasa Yunani[16] dan Romawi[17] adalah “credere” yang berarti kepercayaan (truth or faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan, dalam arti bahwa seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank, maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.[18]

Noah Websten dalam bukunya Websten’s New Universal Mabridged Dictionary sebagaimana yang dikutip Munir Fuady mengartikan kata kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata “credere”, yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”.[19] Dengan kata lain istilah “creditum” adalah kepercayaan akan kebenaran.[20]

Bahasa Belanda menyebutkan kredit dengan ventrouwen  dan bahasa Inggris dengan believe, trust or confidence, [21] sedangkan dalam bahasa Indonesia kata kredit mempunyai arti kepercayaan, jadi seseorang yang memperoleh kredit berarti dia memperoleh kepercayaan.[22] Dengan demikian, sungguhpun kata “kredit” sudah berkembang ke mana-mana, tetapi dalam tahap apapun dan ke manapun arah perkembangannya, dalam setiap kata “kredit” tetap mengandung usaha kepercayaan. Walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan.[23]

Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.[24]

Kemudian arti hukum dari kredit sebagai berikut: menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh si penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.[25]

Dari beberapa pengertian kredit tersebut di atas, maka dapat ditinjau dari aspek ekonomi dan aspek hukum. Dari aspek ekonomi kredit diartikan dengan suatu penundaan pembayaran yaitu uang barang (prestasi) atau uang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang berikut tambahan suatu prestasi oleh penerima kredit.[26]

Di dalam dunia bisnis pada umumnya, kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan dan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak”.[27]

Pendapat A.S Hornby, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady yang mengartikan bahwa kredit dalam arti bisnis mengandung unsur “meminjam” yang dalam bahasa Inggris disebut “loan”. Kata “loan” berarti suatu yang dipinjamkan, khususnya sejumlah uang.[28]) Impelementasinya dalam dunia bisnis, kata “loan” mempunyai arti “asal mulanya”ialah sesuatu yang diberikan atau dipinjamkan, atau yang diberikan kepada seseorang untuk dipakainya selama sesuatu jangka waktu tertentu, tanpa konpensasi atau biaya atau ongkos. Akan tetapi sekarang loan itu biasanya diartikan sebagai sesuatu yang berharga, seperti uang yang dipinjamkan dengan bunga selama sesuatu jangka waktu tertentu.[29]

Pengertian kredit yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 butir 11 disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berlandaskan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dari uraian di atas, dapat ditemukan sedikitnya ada 4 (empat) unsur kredit yaitu:

  1. Kepercayaan di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit, dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali dan debiturnya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.
  2. Waktu di sini berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
  3. Risiko di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun juga terkandung risiko di dalamnya, yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi risiko tersebut.[30]Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.[31]
  4. Prestasi di sini berarti bahwa setiap kesepakatan, terjadi antara bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.[32]

Berdasarkan beberapa pengertian kredit di atas, maka pada hakikatnya bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk kepada Pasal 1754 KUH Perdata. Juga merupakan kelompok perjanjian khusus (bernama), sehingga perjanjian kredit tergolong dalam kategori KUH Perdata, sebagaimana disebutkan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian “pendahuluan” terhadap perjanjian pinjam pakai habis.[33]

Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan/surat dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan “usul” (proposal), serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut. Jadi dalam persetujuan terjadi acceptance/penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya penawaran/usul serta persetujuan oleh pihak lain atas usul; lahirlah “persetujuan” atau “kontrak” yang “mengakibatkan ikatan hukum” bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling “memberatkan” atau “pembebanan” kepada para pihak (pihak kreditur dan debitur). Seperti yang dijumpai dalam persetujuan jual beli, sewa-menyewa, pengangkutan dan lain-lain. Akan tetapi sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya menjadi ciri persetujuan.

Pembebanan kadang-kadang hanya diletakkan kepada keuntungan sepihak, seperti yang dijumpai dalam pemberian hibah (schenking). Akan tetapi ciri normal atau ciri umum dari setiap kontrak, ialah bersifat partai yang saling memberatkan (jual beli, sewa-menyewa, persetujuan kerja dan lain-lain). Dapat dikatakan, hampir setiap persetujuan selamanya merupakan perbuatan hukum sepihak, dua pihak dan beberapa pihak. Hal ini terjadi, disebabkan oleh karena pernyataan keinginan tadi tidak hanya berupa satu pernyataan saja, akan tetapi mungkin beberapa pernyataan kehendak.

Seperti yang dijelaskan di atas, pengertian persetujuan atau kontrak tiada lain dari pernyataan kehendak. Namun demikian, tidak selamanya pernyataan kehendak seseorang itu berwujud persetujuan yang mengikat sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 1313 KUH Perdata. Hanya pernyataan kehendak yang menimbulkan “kewajiban hukum” (obligatio) saja yang melahirkan kontrak atau persetujuan.[34]

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian  yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan di sini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dalam pengertian persetujuan kehendak itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penjualan (Pasal 1321, 1322, dan 1328 KUH Perdata).

Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu, sehingga tercapailah “persetujuan yang mantap”. Kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain itu.[35]

Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan  tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi isteri ada izin suaminya. Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan isteri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.

Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan melakukan perbuatan hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan, apabila tidak mendapat kuasa untuk itu.

Akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable). Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.[36])

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidnieting).

Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. “Sebab” adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan  yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.[37]

Berdasarkan uraian tentang perjanjian dan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas, maka jelaslah bahwa syarat sahnya suatu perjanjian kredit bank, apabila syarat tersebut terpenuhinya, dan barulah ditambah dengan syarat khusus lainnya yaitu syarat-syarat atau petunjuk tindakan-tindakan yang harus dilakukan sejak diajukannya permohonan nasabah sampai dengan lunasnya suatu kredit yang diberikan oleh bank. Prosedur perkreditan yang harus ditangani oleh bank yaitu, tahap-tahap permohonan kredit, penyidikan dan analisis, keputusan persetujuan atau penolakan permohohan, pencairan kredit, adminitrasi, pengawasan dan pembinaan serta pelunasan kredit.[38]

Dengan demikian, apabila terpenuhinya semua syarat perjanjian kredit bank, maka barulah disetujui permohonan kredit, adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur. Untuk melindungi kepentingan bank biasanya ditegaskan terlebih dulu syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus ditempuh oleh nasabah,  yaitu:[39]

  1. Surat penegasan persetujuan permohonan kredit kepada pemohon
  2. Pengikatan jaminan
  3. Penandatanganan perjanjian kredit
  4. Penandatanganan surat aksep
  5. Informasi untuk bagian lain
  6. Pembayaran bea materai kredit
  7. Pembayaran provisi kredit atau commitment fee
  8. Asuransi barang jaminan, dan
  9. Asuransi kredit.

Kredit bank semua realisasi pemberian kredit dalam bentuk rupiah maupun valuta asing kepada pihak ketiga bukan bank termasuk kepada pegawai bank sendiri serta pembelian surat berharga yang disertai anjak piutang dan cerukan.[40] Untuk dapat digolongkan dengan berbagai kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

  1. Penggolongan berdasarkan jangka waktu
  2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi
  3. Penggolongan berdasarkan  kolektibilitas
  4. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi
  5. Penggolongan kredit berdasarkan tujuan penggunaannya
  6. Penggolongan kredit berdasarkan objek  yang ditransfer [41]
  7. Penggolongan kredit berdasarkan waktu pencairannnya[42]
  8. Penggolongan kredit menurut cara penarikan
  9. Penggolongan dilihat dari pihak krediturnya
  10. Penggolongan kredit berdasarkan negara asal kreditur
  11. Penggolongan kreditur berdasarkan jumlah kreditur[43]

B.  Kepastian Hukum Jaminan Hak Tanggungan

Kredit macet merupakan salah satu ekses dari dunia perkreditan itu sendiri. Berbicara mengenai masalah perkreditan ini tentu tidak dapat dilepaskan dengan masalah hukum jaminan, karena di antara kedua masalah tersebut terkait erat satu dengan lainnya. Di satu pihak perlu dilakukan upaya memberikan berbagai kemudahan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat melalui fasilitas kredit perbankan, di pihak lain perlu diberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang seimbang dalam pemberian fasilitas kredit itu sendiri, baik kepada kreditur/pemegang hak tanggungan, debitur/pemberi hak tanggungan maupun kepada pihak ketiga.

Pengalaman membuktikan bahwa cukup sulitnya penyelesaian masalah kredit macet, disebabkan beberapa faktor yang di antaranya bermula dari kurang diperhatikannya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum jaminan, khususnya dalam penggunaan tanah sebagai jaminan kredit. Sungguhpun tanah bukan merupakan satu-satunya jaminan, namun harus diakui bahwa tanah masih mempunyai nilai lebih bila dibandingkan dengan bentuk jaminan lainnya, hal ini karena tanah tidak mudah hilang atau rusak serta harganya cenderung meningkat, terutama tanah-tanah di daerah perkotaan.[44]

Mengingat telah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka penggunaan tanah sebagai jaminan kredit dewasa ini di kalangan perbankan menempati prioritasnya/lebih diutamakan dibanding benda-benda jaminan lainnya. Dalam penggunaan tanah sebagai jaminan kredit tersebut, dapat digolongkan dua status hukumnya, yaitu tanah-tanah yang sudah terdaftar/bersertifikat dan tanah-tanah yang belum terdaftar.

Di dalam UUPA disebutkan bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat digunakan sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Dengan demikian jelas bahwa hak jaminan atas tanah sejak berlakunya UUPA dikenal dengan nama hak tanggungan.

Ketiga hak tersebut adalah merupakan hak yang dapat dipindahtangankan dan tentunya mempunyai nilai ekonomis, sehingga memenuhi persyaratan untuk setiap benda jaminan. Demikian pula sebenarnya hak pakai mempunyai nilai ekonomis dan dimungkinkan pula untuk dipindah tangankan, seperti halnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Semakin meningkatnya pembangunan perekonomian masyarakat di bidang investasi, perlu diimbangi dengan perluasan obyek dari hak jaminan atas tanah, agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang dinamis.

Mengingat bahwa UUPA pada prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal, sesuai dengan asas dalam sistem hukum adat, maka penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, tidak secara otomatis termasuk pula bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berdiri di atas tanah tersebut.[45]

Karena dalam kegiatan perkreditan tersangkut beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) kepentingan berbagai pihak tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian hukumnya.

UUHT dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan secara seimbang. Kedudukan istimewa kreditur tampak, antara lain, pada:

  1. Adanya “droit de preference” atau hak mendahulu yang dipunyai kreditur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1)
  2. Adanya “droit de suite”  bagi obyek hak tanggungan (Pasal 7)
  3. Keharusan pemenuhan asas spesilias berkenaan dengan identitas pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan, serta domisili masing-masing pihak, piutang yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan (Pasal 11 ayat (1), dan pemenuhan asas publisitas, yakni pendaftaran hak tanggungan (Pasal 13)
  4. Pelaksanaan eksekusi secara mudah dan pasti (Pasal 6 dan 26)
  5. Ketentuan Pasal 21 bahwa kepailitan pemberi hak tanggungan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hak tanggungan
  6. Sifat hak tanggungan yang tidak dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1))
  7. Adanya kemungkinan untuk menjual obyek hak tanggungan secara di bawah tangan menurut tata cara tertentu (Pasal 20 ayat (2))[46]

Di samping memberikan perlindungan kepada kreditur, UUHT juga memberikan perlindungan kepada debitur/pemberi hak tanggungan dan pihak ketiga dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Adanya kemungkinan melakukan roya partial yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai penyimpangan dari asas tidak dapat dibagi-bagi dalam Pasal 2 ayat (1)
  2. Pemenuhan asas spesialitas dan publisitas
  3. Ketentuan tentang isi SKMHT dan APHT
  4. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya dapat terlaksana apabila hal tersebut diperjanjikan (Pasal 6 yo Pasal 11 ayat (2) huruf e)
  5. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum (Pasal 12)
  6. Ketentuan tentang pencoretan (roya) hak tanggungan yang sudah
    bagus (Pasal 22) diadakan demi kepentingan debitur/pemberi hak tanggungan.[47]

UUHT bertujuan untuk memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga hak tanggungan yang kuat di dalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu. Adanya penegasan/pelurusan berkenaan dengan beberapa masalah tersebut memerlukan perubahan persepsi dan sikap semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan hak tanggungan ini. Pemahaman yang obyektif terhadap prinsip-prinsip hak tanggungan diikuti dengan kepatuhan untuk melaksanakan UUHT secara konsekuen sedikit banyak dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kredit macet perbankan.

Hak tanggungan adalah: hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (Pasal 1 UUPA). Sebagai suatu lembaga hak jaminan yang kuat, hak tanggungan mempunyai empat ciri pokok, yakni: (1) memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada debiturnya; (2) selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite); (3) memenuhi asas spesialitas dan publisitas; dan (4) mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Di samping itu hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, yang berarti bahwa hak tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, tetapi hak tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Asas tidak dapat dibagi-bagi tersebut dapat disimpangi dalam hal hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut. Dengan demikian, hak tanggungan hanya akan membebani sisa obyek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi (Pasal 2 ayat (2)UUHT), agar hal itu dapat berlaku, harus diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Sifat lain dari hak tanggungan adalah bahwa hak tanggungan merupakan ikutan (accesoir) pada perjanjian pokok, yakni perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhirnya dan hapusnya hak tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

Keberadaan hak tanggungan ditentukan melalui pemenuhan tata cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yakni tahap pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian, pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang, dan tahap pendaftaran hak tanggungan oleh kantor pertanahan yang menandakan saat lahirnya hak tanggungan.

Akta pemberian hak tanggungan memuat substansi yang bersifat wajib, yakni berkenaan dengan nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili pihak-pihak bersangkutan, penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan (pasal 11 UUHT). Di dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji sebagaimana lazimnya, yang pada umumnya membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk melakukan tindakan tertentu terhadap obyek hak tanggungan tanpa ijin tertulis dari pemegang hak tanggungan, satu dan lain hal agar obyek hak tanggungan tetap dalam keadaan terpelihara atau tidak merosot nilainya. Bahkan apabila hak atas tanah dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum, maka dapat diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh/sebagian dari ganti kerugian yang diterima oleh pemberi hak tanggungan.[48])

Dalam kaitannya dengan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengingat bahwa penjualan obyek hak tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi hak tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan (kreditur) untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (HT), APHT, Buku Tanah HT, dan sertifikat HT, maka segala macam janji itu sudah tercantum di dalam formulir APHT (Pasal 2 UUPA). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan tentang bentuk dan isi APHT dan buku-tanah HT serta hal-hal yang berkaitan dengan pemberian dan pendaftaran hak tanggungan berdasarkan peraturan pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Pada tanggal 30 Mei 1996 telah terbit Peraturan Menteri Negara/ Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran hak tanggungan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUHT.

Pembuatan APHT wajib diikuti dengan pengiriman aktanya beserta warkah lain yang diperlukan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan  dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT tersebut (Pasal 13 UUHT).

Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran, BPN/Kantor Pertanahan  melakukan pendaftaran hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah Hak Tanggunan yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Saat pemberian tanggal pada buku-tanah tersebut adalah sangat penting, karena pada saat itulah hak tanggungan lahir, yang berarti mulainya kedudukan preferent bagi kreditur, penentuan peringkat hak tanggungan, dan berlakunya hak tanggungan terhadap pihak ketiga (pemenuhan asas publisitas).  Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, BPN/Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menyerahkannya kepada pemegang hak tanggungan. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Apabila hak tanggungan beralih karena cessie, subgrosi, pewarisan, atau karena sebab-sebab lain, misalnya penggabungan atau pengambil-alihan perusahaan, maka hak tanggungan pun beralih dan peralihan tersebut harus dicatat oleh BPN/Kantor Pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan akta yang membuktikan peralihan hak tanggungan tersebut. Analog dengan pendaftaran hak tanggungan, tanggal pencatatan peralihan oleh Kantor Pertanahan adalah hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran peralihannya. Penentuan waktu ini penting karena menentukan saat berlakunya peralihan hak tanggungan terhadap pihak ketiga.[49])

Demikian pula apabila hak tanggungan hapus karena utang telah dilunasi atau karena sebab-sebab lain, maka BPN/Kantor Pertanahan melakukan pencoretan atau roya catatan hak tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja atas permintaan pihak yang berkepentingan. Arti penting pencoretan catatan hak tanggungan adalah demi ketertiban administrasi dan tidak ada pengaruhnya terhadap hak tanggungan yang sudah hapus itu.

Benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu hutang dengan dibebani hak tanggungan, benda yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Dapat dinilai dengan uang, karena uang yang dijamin berupa uang
  2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas
  3. Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan
  4. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.[50]

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, yaitu:

(1) Hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan adalah:

a. Hak milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Objek hak tanggungan selain yang tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4), yaitu: Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak di atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang membebankannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan Pasal 4 ayat (4) tersebut, yaitu:

  1. Bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya atau bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan.
  2. Pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau dengan kata lain jika tidak ditegaskan dalam APHT maka yang dijadikan jaminan atau yang dibebani Hak Tanggungan hanya tanahnya saja.

Substansi Pasal 4 ayat (4) merupakan penerapan asas horizontal yang diambil dari hukum adat,[51] hal ini setidaknya dapat memberikan nilai tambah dalam pemberian kredit, karena perhitungan nilai benda yang dijaminkan tidak semata-mata diukur dari harga tanahnya saja, tetapi juga bangunan atau benda ataupun tanaman yang ada di atasnya mempunyai harga yang dapat dinilai, sehingga dapat meningkatkan nilai kredit.[52]

Perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk, perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian hutang-piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin, dengan kata lain, perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian accesoir. Dalam butir 8 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan itu disebutkan: “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accasoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.[53]

Bahwa perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian accesoir adalah berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu karena:

  1. Pasal 10 ayat (1) UUHT menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan.[54]
  2. Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.[55]

Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan “Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”.[56]

Kalau dilihat dengan hak pribadi sebagai latar belakangnya. Seperti sudah tampak dari urian di atas, Hak Tanggungan dipunyai kreditur dengan memperjanjikannya dengan pemberi Hak Tanggungan, dengan demikian maka Hak Tanggungan merupakan hak yang muncul dari perikatan yang lahir dari perjanjian Hak Tanggungan. Hak dan kewajiban yang lahir dari suatu perjanjian pada asasnya merupakan hak pribadi, yaitu hak yang hanya dapat ditujukan kepada orang tertentu saja, yaitu lawan janjinya, orang dengan siapa si empunya hak menutup perjanjian.[57] Yang demikian itu sesuai dengan asas Pasal 1315 dan 1340 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdta yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya dapat mengikat dan meletakkan kewajiban kepada para pihak saja, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian yang bersangkutan saja.[58]

Pasal 1338 ayat (1) mengatakan, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya[59] jadi hanya mengikat para pihak “yang membuatnya” saja.

Prinsip hukumnya bahwa seorang pemilik yang telah menjaminkan benda miliknya, dengan itu tidak menjadikan dirinya kehilangan kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda yang bersangkutan.[60]) Maksudnya, dengan penjaminan yang telah diberikan olehnya, tidak menjadikan dirinya tidak punya kewenangan tindakan pemilikan (beschikking) lagi atas benda miliknya yang telah ia jaminkan kepada debitur. Ia masih tetap berhak untuk mengalihkan termasuk menjual dan atau menjaminkan persil yang bersangkutan lagi. Dengan demikian adanya pemberian sifat hak kebendaan pada hipotik dan hak tanggungan justru mempersangkakan tetap adanya kewenangan seperti itu.

Konsekuensinya si pemilik yang sudah menjaminkan benda miliknya kepada bank/kreditur tetap berhak untuk menjual atau untuk menjaminkan lagi benda tersebut. Kalau seandainya hak kreditur berdasarkan hak tanggungan adalah hak pribadi yang lahir dari suatu perjanjian pengagunan dan oleh pemilik, yang memberikan Hak Tanggungan, obyek Hak Tanggungan tersebut adalah dijaminkan dijual dan diserahkan kepada pihak ketiga, maka hilanglah arti jaminan yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan, karena dengan dipindahkannya obyek Hak Tanggungan kepada pihak ketiga, hak pribadi kreditur tidak bisa menjangkau sampai ke tempat pihak ketiga. Kalau debitur wanprestasi dan kreditur akan mengeksekusi obyek Hak Tanggungan, maka pihak ketiga sebagai pemilik baru atas objek Hak Tanggungan akan bertanya kepada kreditur, mengapa harta miliknya akan dijual? Dan kalau kreditur mengatakan, bahwa benda milik pihak ketiga tersebut dijaminkan kepadanya, maka pihak lama yang menjaminkan, maka ia akan mengatakan, bahwa yang terikat adalah pemilik lama berdasarkan Pasal 1315 jo 1340 ayat (2) ia sebagai pihak ketiga sama sekali tidak terikat kepada apa yang disepakati oleh pemilik lama dengan kreditur. Orang yang mengoper berdasarkan alas hak khusus tidak mengoper kewajiban pemilik asal.[61] Kalau demikian halnya, betapa mudahnya pemberi Hak Tanggungan menghindarkan diri dari jaminan Hak Tanggungan, ia dengan mudah bisa menjual atau pura-pura menjual dan menyerahkan obyek Hak Tanggungan kepada pihak ketiga. Dan terhindarlah obyek jaminan dari eksekusi. Lalu bagaimana letak hak jaminan kreditur?

Untuk mengatasi keadaan seperti itu, untuk memberikan kepastian hukum kepada kreditur pemegang hipotik dan kreditur pemegang Hak Tanggungan, maka hipotik dan Hak Tanggungan diberikan sifat hak kebendaan. Sifat hak kebendaan adalah:

  1. Mempunyai hubungan langsung dengan/atas bendanya tertentu yang dalam hubungan dengan hak jaminan, benda itu adalah milik pemberi Hak Tanggungan.
  2. Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja (semua orang)
  3. Mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti benda di tangah siapapun benda itu berada
  4. Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
  5. Dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada orang lain.[62]

Hak kebendaan dengan ciri-cirinya seperti tersebut di atas, terutama ciri droit de suite yaitu mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun ia berpindah, memberikan kepada kreditur suatu hak jaminan yang lebih baik/kuat dibanding dengan hak pribadi, sebab hak itu mengikut bendanya. Dan kalau hak itu mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun ia berpindah, maka hal itu adalah bahwa hak itu bisa ditujukan kepada siapa saja, tidak tertentu orangnya yaitu siapa saja, yang di dalam tangan kreditur menemukan benda jaminan itu.[63]

Menurut Pasal 4 ayat (2) dan (3) UUHT selain hak-hak tersebut, hak pakai atas negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan menurut sifatnya dan dapat dipindahkan serta dapat juga dibebani hak tanggungan serta pembebanan hak tanggungan atas hak milik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pernyataan hak pakai tersebut dapat dijadikan obyek hak tanggungan yang merupakan penyesuaian ketentuan UUPA dikaitkan perkembangan hak pakai itu sendiri serta  kebutuhan masyarakat. Ditunjuknya hak pakai tersebut sebagai obyek hak tanggungan bagi pemegang haknya, yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan, menjadi terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dimiliki sebagai jaminan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, hak pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan sebagai jaminan hutang dengan dibebani fidusia.

Penjelasan UUHT mengatakan bahwa hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib didaftar, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan seperti hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek hak tanggungan.

Demikian pula hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dibebani hak tanggungan, karena tidak memenuhi syarat di atas. UUHT membuka kemungkinan hak pakai semacam ini dapat pula dipakai sebagai obyek hak tanggungan jika memenuhi persyaratan seperti di atas, dan hal ini akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Hak-hak atas tanah menurut UUHT yang ditunjuk sebagai hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, sedangkan hak pakai atas tanah hak milik dibuka kemungkinan untuk dijadikan jaminan hutang dengan hak tanggungan sepanjang telah dipenuhi persyaratannya.

Hak tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 ayat (4) UUHT memberi penegasan, yakni: Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang memiliki pihak lain. Pasal 4 ayat (5) UUHT mengatakan: Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta autentik.

Penjelasan UUHT memberi penegasan bahwa bangunan yang menggunakan ruangan bawah tanah,  yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi, tidak termasuk dalam ketentuan hak tanggungan sesuai UUHT ini.[64]

Hak tanggungan lahir dan ditentukan melalui tata cara pembebanan yang meliputi proses kegiatan, yakni:

  1. Tahap awal didahului dengan adanya perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang dan merupakan perjanjian pokok.
  2. Tahap kedua adalah pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) yang wajib dibuat dengan akta notaris atau akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan harus memenuhi persyaratan: tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain membebankan hak tanggungan; tidak memuat kuasa substitusi; dan mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur bila debitur bukan pemberi hak tanggungan. SKMHT mengenai hak-hak atas tanah yang terdaftar wajib diikuti pembuatan akta pemberian hak tanggungan (APHT) selambat-lambatnya satu bulan sesudah diberikan, sedangkan mengenai tanah yang belum terdaftar wajib diikuti pembuatan APHT selambat-lambatnya tiga bulan setelah diberikan. APHT dibuat oleh PPAT dan bila syarat waktu pembuatan APHT tidak dipenuhi dinyatakan batal demi hukum
  3. Tahap ketiga adalah pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan dan sebagai bukti adanya hak tanggungan akan diberikan sertifikat hak tanggungan.

Pada tahap pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada debitur, hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak tanggungan itu lahir baru pada saat dibukukannya dalam Buku Tanah di kantor pertanahan. Hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Dalam hal piutang yang bersangkutan beralih kepada kreditur lain, hak tanggungan yang menjaminnya karena hukum beralih pula pada kreditur tersebut. Pencatatan peralihan hak tanggungan tersebut tidak diperlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan pada beralihnya piutang yang dijamin (Penjelasan Umum UUHT).

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) memuat berbagai substansi yang sifatnya wajib berisi: nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili pihak-pihak yang bersangkutan; penunjukan hutang atau hutang-piutang yang dijaminkan, nilai tanggungan, dan uraian obyek hak tanggungan. Di dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dapat diperjanjikan berbagai substansi yang menyangkut kepentingan pemegang hak tanggungan yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk melakukan perbuatan tertentu terhadap obyek hak tanggungan tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan, dengan maksud obyek hak tanggungan ini tetap terpelihara dan tidak menurun nilainya. Janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan dengan maksud membeli sendiri obyek hak tanggungan bila debitur cidera janji, dinyatakan batal demi hukum berdasarkan Pasal 12 UUHT. Janji-janji hak tanggungan adalah janji-janji (syarat-syarat) yang diperjanjikan oleh kreditur dalam APHT dari pemberi hak tanggungan dan janji-janji itu merupakan klausul-klausul yang dimasukkan untuk menjadi bagian dari perjanjian pemberian hak tanggungan[65]

Ciri-ciri pokok yang terdapat dalam hak tanggungan sebagai lembaga jaminan yang kuat, yakni:

  1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferend) kepada krediturnya.
  2. Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite)
  3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas
  4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.[66]

Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenal tingkatan hak tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3). Atas dasar pasal ini peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan APHT yang bersangkutan. Konsepsi pemikiran Pasal 6 UUHT memberikan suatu kewenangan terhadap pemegang Hak Tanggungan yang pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, jika debitur cidera janji.

Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) juga memberikan perlindungan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang berada di pihak lain. Pasal 7 undang-undang ini menegaskan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Sifat ini, sebagaimana dituangkan dalam penjelasan pasal ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak tanggungan. Kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitur cidera janji walaupun obyek hak tanggungan telah berpindah tangan dan menjadi milik orang lain.

Menurut J. Satrio mengatakan bahwa apa yang menjadi persyaratan dalam Pasal 11 UUHT adalah merupakan pelaksanaan asas spesialitas dan publisitas. Sesuai asas spesialitas, obyek dan subyek harus disebutkan secara rinci demi memberikan kepastian hukum kepada pihak lain.

Sejalan dengan asas spesialitas, penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan suatu ketentuan bahwa dengan tidak dicantumkan secara lengkap mengenai subyek, obyek, maupun hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan di dalam APHT, mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum.[67]

Jaminan perlindungan hukum lainnya yang diberikan oleh UUHT ini adalah menyangkut eksekusi. Menurut penjelasan umum UUHT bahwa salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam eksekusinya, jika debitur cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT yang mengatur parate eksekusi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Relglement Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java end Madura). Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai tanda adanya hak tanggungan dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk memberikan kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.[68]

Baca juga:

Kepastian Hukum Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)


[1] O.P. Simorangkir, Kamus Perbankan, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1989, hal. 33.

[2] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996,  hal. 7

[3] Ibid, hal. 7-8

[4] Thomas Suyatno, et-al., Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia, 1993, hal. 1

[5] Ibid, hal. 2

[6] Munir Fuady, Hukum Perkreditan Komtemporer, Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 1996, hal. 7-8.

[7] Subekti,  Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hal. 1

[8] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982, hal. 77

[9] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian , Bandung: Alumni, 1996, hal. 6

[10] Subekti, 1985, loc.cit

[11] Ibid, hal. 3

[12] Mariam Darus Badrulzaman, “Sistem Kodifikasi, Pembaharuan Persial KUH Perdata Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1999, hal. 17, 19

[13] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 23.

[14] Sonny Harsono, Peranan Badan Pertanahan Nasional Dalam Penyelesaian Piutang Negara, “Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I Sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Jakarta: Dep-Keu, BUPLN, 1998, hal. 32.

[15] Hasanuddin Rahman, Kebijakan Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan, Bandung:  PT.Cipta Aditya Bakti, 2000, hal. 43

[16] Thomas Suyatno, et-al, 1993, op. cit., hal. 12

[17] Muhammad Djumhana, 1996, op. cit., hal. 229

[18] Hasanuddin Rahman, 1998, op. cit., hal. 95

[19] Munir Fuady, 1996, op. cit., hal. 5

[20] Teguh Pudjomulyo, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. Yogyakarta:
BPFE, 1993, hal. 9

[21] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991,  hal. 23.

[22] Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta: Liberty, 1989,  hal. 19

[23] Munir Fuady, 1996, op. cit., hal. 5, 6

[24] Hasanuddin Rahman, 1998, op. cit., hal. 96

[25] Mariam Darus Badrulzaman, 1991, op. cit., hal. 24

[26] Ibid, hal. 21

[27] A. Abdurrahman, Ensiklopedia, Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Jakarta: Pradya Paramita, 1993,  hal. 279

[28] Munir Fuady, 1996, op. cit., hal. 6

[29] A. Abdurrahman, 1993, op. cit., , hal.624

[30] Hasanuddin Rahman, 1998, op. cit., hal. 97

[31] Thomas Suyatno, 1993, op. cit., hal. 14

[32] Hasanuddin Rahman, 1998, loc. cit.

[33] Mariam Darus Badrulzaman, 1991, op. cit. hal. 5

[34] M. Yahya Harahap, 1996, op. cit., hal. 23-25

[35] Abdulkadir  Muhammad, 1982, op. cit., hal. 89-90

[36] Ibid, hal,. 92-93

[37] Ibid, hal. 93-94

[38] Tjhomas Suyatno, et-al, 1993, op. cit., hal. 62

[39] Ibid, hal. 73

[40] Zainal Asikin, 1997, Pokok-Pokok Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  hal. 57

[41] Munir Fuady, 1996, op. cit., hal. 15-17

[42] Hartono Hadisoeprapto, 1991, Kredit Berdokumen (Letter of Credit) Cara Pembayaran Dalam Jual Beli Perniagaan. Yogyakarta: Liberty, hal. 25

[43]  Munir Fuady, 1996, op. cit., hal. 18-20

[44] Soni Harsono, 1998, “Upaya Badan Pertanahan Nasional Dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I Sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Jakarta: Dep. Keu,. RI. BUPLN, hal. 400

[45]) Ibid,, hal. 32-33

[46] Maria Sumardjono, 1998, “Prinsip Dasar Hak Tanggungan Dan Beberapa Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Kredit Perbankan”. Kumpulan Makalah Dan Hasil Diskusi Panel I sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Jakarta: Dep. Keu. RI, BUPLN, hal.522

[47] Ibid, hal. 523.

[48]) Ibid, hal. 524-525

[49]) Ibid, hal. 526-527

[50]) Boedi Harsono & Sudaryanto Wirjodarsono, 1996, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Makalah Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan”, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, hal. 5.

[51] Lihat konsiderans “Berpendapat” Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang menegaskan bahwa pada prinsipnya Hukum Agraria Nasional yang berdasar atas hukum adat tentang tanah. Selanjutnya rasio implementasi atas pemisahan horisontal ini dapat dilihat dari penjelasan umum angka 6 UUHT.

[52] Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, hal. 6.

[53] Penjelasan Umum angka 8 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

[54] Lihat Pasal 10 ayat (1)   Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

[55] Lihat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

[56] Lihat Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

[57] J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, hal. 5.

[58] J. Satrio, 1995, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, buku I, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 75.

[59] J. Satrio, 1995, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, buku II, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 142-143.

[60] Ibid, hal. 215

[61] J. Satrio, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 240.

[62] Ibid, hal.237

[63] Eungenia Liliawati Muljono, 2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Jakarta: Harvarindo, hal. 31

[64] S. Mantayborbir, Iman Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2002, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa,  hal. 136-139.

[65] J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Tanggungan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 1.

[66] Maria S.W. Soemardjono, 1996, Hak Tanggungan dan Fiducia,  Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 40.

[67] J. Sastrio, 1997, Hukum Jaminan, Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti,  hal. 291

[68] S. Mantayborbir, Iman Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2002, Op.Cit, hal. 142-143.