A. Surat Kuasa Pada Umumnya
1. Pengertian, Sifat dan Berakhirnya Kuasa
a. Pengertian
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab XVI, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG.
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi: Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:
1) Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
2) Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power), jika:
1) Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
2) Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
3) Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.[1]
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).[2]
b. Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut:
1) Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
a) Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
b) Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
c) Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).[3]
2) Pemberi Kuasa bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale overeenkomst) yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:
a) Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
b) Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
c) Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.[4]
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus.[5]
3) Berkarakter Garansi Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
a) Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
b) Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.[6]
c. Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhimya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata:
1) Pemberi Kuasa menarik kembali secara sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:
a) Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
b) Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk;
(1) mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
(2) meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa
c) Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru ditarik kembali secara diam-diam.[7]
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
2) Salah satu pihak meninggal dunia
Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa bcrakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dan ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.
3) Penerima kuasa melepas kuasa
Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat:
1) Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
2) Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.[8]
2. Jenis-jenis Kuasa
Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam undang-undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan.
a. Kuasa Umum
Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:
1) Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
2) Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
3) Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8-1972), bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.[9]
b. Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa yang bersifat khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah.. Akan tetapi, meskipun bersifat khusus kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah.[10]
c. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diper1ukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.
Kuasa istimewa memenuhi sifat sebagai berikut:
1) Bersifat limitatif
Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, perbuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas:
a) Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut
b) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga
c) Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.
Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti, hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara sakit sehingga tidak dapat hadir:
a) Hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,
b) Untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.[11]
2) Harus berbentuk Akta otentik
Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris).[12] Pendapat ini diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.
d. Kuasa Perantara
Kuasa perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker, tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”.[13]
Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.
B. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Pada asasnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai yang berhak atas objek hak tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan dan tidak dapat hadir sendiri, hal itu wajib dikuasakan kepada pihak lain. Dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT, Pasal 15 UUHT juga memberikan kesempatan kepada pemberi hak tanggungan untuk menggunakan SKMHT.
Ketidakhadiran pemberi hak tanggungan di hadapan PPAT pada saat pembuatan APHT merupakan alasan yang memperkenankan pemberi hak tanggungan untuk memperbuat atau mempergunakan SKMHT, oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) UUHT menegaskan bahwa surat kuasa dimaksud harus bersifat khusus dan otentik yang harus dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. [14]
Dengan demikian substansi SKMHT adalah pemberian kuasa dari satu objek hukum (orang/badan hukum) kepada subjek hukum (orang/badan hukum) lainnya (penerima kuasa) untuk melakukan satu urusan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu diperhatikan juga pengaturan pemberian kuasa tersebut menurut KUH Perdata yang memberikan dasar umum terhadap semua bentuk pemberian kuasa. Pemberian kuasa, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819. Lebih jauh pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi “Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas bahwa pemberian kuasa harus berupaya “menyelenggarakan suatu urusan” dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum terbuka yang akan melahirkan akibat hukum tertentu. Aspek lainnya dari pembatasan pemberian kuasa di atas yaitu implisit adanya suatu perbuatan perwakilan, hal dicirikan dari kalimat “untuk atas namanya…”, yang berarti adanya seseorang yang mewakili orang lain dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Apa yang dilakukan itu adalah “atas tanggungan” si pemberi kuasa, dan segala hak/kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.[15]
Dalam hal seseorang kuasa menerima kuasa dari Pemberi Kuasa hanya dalam hubungan intern antara Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa, di mana penerima kuasa tidak berhak mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan hubungan dengan pihak ketiga, maka perjanjian kuasa ini tidak melahirkan suatu perwakilan atau dengan kata lain bahwa penerima kuasa dapat mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu untuk dan atas nama Pemberi Kuasa.
Substansi SKMHT merupakan pemberian kuasa yang sesuai dengan pengertian kuasa tersebut di atas, yaitu untuk melakukan atau menyelenggarakan satu urusan tertentu, dalam hal ini, yaitu membebankan hak tanggungan atau hanya khusus satu perbuatan untuk membebankan hak tanggungan saja ke dalam bentuk APHT (Pasal 15 huruf b UUHT). Sedangkan dalam hal pendaftarannya tidak diperjanjikan dalam SKMHT, karena setelah terbitnya APHT, maka menjadi kewenangan dari pemegang hak tanggungan (kreditur) yang disebutkan dalam APHT tersebut untuk melakukan pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Jadi Kantor Pertanahan memproses pendaftaran hak tanggungan hanya berdasarkan APHT tersebut. Memang SKMHT masih disertakan dalam pendaftaran APHT tersebut pada Kantor Pertanahan tetapi itu hanya untuk melihat dasar terjadinya APHT tersebut.
Selanjutnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang pengertian kuasa secara khusus yang terdapat dalam Pasal 1795 KUH Perdata yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Kemudian untuk dapat disebut sebagai bentuk khuasa khusus di depan Pengadilan, maka kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat dalam Pasal 123 HIR, yang di dalamnya adanya ketentuan cara, bentuk dan isi pemberian kuasa, kewajiban penerima dan pemberi kuasa, serta ketentuan tentang berakhirnya kuasa yang diberikan tersebut kepada penerima kuasa. Demikian juga halnya dalam SKMHT yang diatur dalam UUHT juga mengatur tentang hal tersebut, sebagai berikut:
1. Bentuk dan Isi Pemberian SKMHT
Pasal 1793 KUH Perdata disebutkan cara dan bentuk pemberian kuasa, antara lain:
a. Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk akta resmi, seperti akta notaris, akta yang dilegalisasi di kepaniteraan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat, dan sebagainya, juga dapat diberikan dengan surat di bawah tangan, surat biasa, dan dapat juga diberikan secara lisan.
b. Kuasa dapat juga terjadi secara diam-diam, artinya suatu kuasa terjadi dengan sendirinya tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.
Artinya, pemberian kuasa bukan hanya lahir dari suatu perjanjian, tetapi juga ada pemberian kuasa yang lahir karena undang-undang, artinya untuk perbuatan-perbuatan tertentu tanpa dinyatakan sebagai suatu pemberian kuasa telah terjadi pemberian kuasa karena undang-undang telah menentukannya demikian.
SKMHT merupakan akta yang dibuat oleh pejabat umum, dalam hal ini Notaris atau PPAT, sehingga secara formal bahwa SKMHT mempunyai kekuatan mengikat dan sebagai alat bukti yang kuat.[16]
Syarat otentik untuk SKMHT didasarkan atas prinsip pemberian perlindungan kepada pemberi hak tanggungan terhadap tindakan yang gegabah, karena tindakan memberikan kuasa membebankan hak tanggungan bisa membawa konsekuensi yang besar sekali, yaitu bisa kehilangan hak atas tanah yang dijaminkan. Mengenai bentuk dan isi SKMHT telah diseragamkan dengan blangko SKMHT yang dibuat/ dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN), hal sebagaimana telah diatur dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang “Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan”.
Pasal 15 UUHT telah diatur mengenai cara, bentuk dan isi tentang pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Pada Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT. Dari bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT, sama sekali tidak ada dasar untuk menyimpulkan, bahwa kata “wajib” di sana harus ditafsirkan tidak boleh disimpangi”. Kata “wajib” dalam pasal tersebut diberikan dalam hubungannya dengan “akta Notaris atau akta PPAT” dan “memenuhi syarat”. Jadi kata “wajib” dalam Pasal 15 ayat (1) mempunyai arti, wajib untuk dituangkan dalam bentuk akta otentik dan wajib memenuhi syarat yang disebutkan di sana.[17]
Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi pernyataan SKMHT yang dibuat itu:
- Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
- Tidak memuat kuasa substitusi
- Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain” dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu tidak menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT tersebut, kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah secara khusus.
Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT, tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu dikemukakan bahwa PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termaksud di atas.
Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa “batal demi hukum” apabila syarat-syarat SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT tidak dipenuhi merupakan konsekuensi yang sangat menentukan. Menurut Sutan Remy Syahdeini, seyogianya konsekuensi berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan dari Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksplisit ditentukan di dalam undang-undangnya itu sendiri, misalnya berupa salah satu ayat dari Pasal 15 UUHT.[18]
Yang dimaksud dengan pengertian “subsitusi” menurut UUHT adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Demikian ditentukan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT. Lebih lanjut dijelaskan, bukan merupakan subsitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain.
Mengingat ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa pemberian kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa itu diberikan kuasa untuk mengurus benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa, kiranya SKMHT tidak sekadar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak subsitusi. Oleh karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata itu sebagaimana disebutkan di atas, tidak dicantumkannya secara tegas didalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa substitusi hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa.
Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf e UUHT, jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah jumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT.
Pasal 15 ayat (2) UUHT menyebutkan kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Menurut J. Satrio ada beberapa unsur yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
- Undang-undang sendiri menetapkan, bahwa kuasa memasang Hak Tanggungan merupakan kuasa mutlak;
- Bahwa SKMHT bersifat sekali pakai (einmalig);
- Bahwa berlakunya SKMHT adalah terbatas.[19]
Menurut Boedi Harsono, “kuasa untuk memberikan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, juga jika pemberi Hak Tanggungan meninggal dunia. Kuasa tersebut sudah barang tentu berakhir setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya”.[20] Ketentuan ini adalah wajar, dalam rangka melindungi kepentingan kreditor, sebagai pihak yang umumnya diberi kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang dijanjikan.
Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Selanjutnya Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan tentang batas waktu berlakunya SKMHT berkenaan dengan Program Pemerintah dalam pemberian kredit tertentu, yang ditetapkan oleh Pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996, Tanggal 8 Mei 1996, yaitu:
1) Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, kredit pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun sederhana dengan luas tanah tidak lebih dari 200 M2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2, kredit untuk KSB, serta kredit produktif lain dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp. 50.000.000,- antara lain Kredit Umum Pedesaan, dan Kredit Kelayakan Usaha. SKMHT-nya berlaku sampai saat berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok.
2) SKMHT yang digunakan untuk menjamin fasilitas:
a. Kredit Usaha Kecil dengan plafon Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,- (SK. Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir, tanggal 29 Mei 1993);
b. Kredit Pemilikan Rumah, Rumah Toko dengan luas tanah maksimal 200 M2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2 dan dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp. 250.000.000,- (SK Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir, tanggal 29 Mei 1993;
c. Kredit konstruksi untuk pengembang yang dipergunakan dalam rangka KPR untuk pengadaan rumah tersebut di atas;
Pasal 15 ayat (6) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.
Ketentuan tentang batas waktu untuk melaksanakan kewajiban yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa SKMHT bukan merupakan syarat dalam proses pembebasan Hak Tanggungan karena syarat mutlak pembebanan Hak Tanggungan adalah pembebanan Hak Tanggungan dan pendaftarannya.[21] Adanya sanksi batal demi hukum, menurut J. Satrio ketentuan dalam Pasal 15 UUHT tersebut diberikan untuk melindungi kepentingan umum (kepentingan orang pada umumnya sekelompok orang tertentu).[22]
2. Kewajiban Penerima dan Pemberi SKMHT
Kewajiban Penerima Kuasa dalam SKMHT terikat dengan janji-janji yang telah ditentukan secara terbatas-tegas dalam SKMHT tersebut, karena janji-janji tersebut telah ditetapkan isinya, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menentukan kewajiban atau janji lain bagi penerima kuasa selama tidak bertentangan dengan UUHT dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan. Dengan kata lain kewajiban penerima kuasa dalam SKMHT bersifat khusus (lex specialis) sedangkan yang diatur dalam KUH Perdata bersifat umum (lex generalis) dan keduanya saling mengisi.[23]
Dalam hubungan antara Pemberi Kuasa dengan Penerima Kuasa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Pemberi Kuasa, antara lain:
a. Pemberi Kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh Penerima Kuasa, sesuai dengan wewenang yang diberikan kepada Penerima Kuasa.
b. Pemberi Kuasa diwajibkan mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Penerima Kuasa. Hal ini tetap menjadi tanggung jawab Pemberi Kuasa walaupun urusannya tidak berhasil asalkan Penerima Kuasa mengerjakan tugasnya dengan baik dan bertindak dalam batas wewenang yang telah ditentukan.
Pasal 1811 KUH Perdata diatur mengenai Pemberian Kuasa yang terhadap seorang Penerima Kuasa dimana Pemberi Kuasa terdiri dari beberapa orang untuk melaksanakan urusan mereka bersama, maka masing-masing Pemberi Kuasa bertanggung jawab terhadap akibat-akibat dari pemberian kuasa secara bersama-sama tersebut.
Kewajiban pemberi kuasa tersebut di atas bersifat umum, tapi dalam SKMHT ditentukan bahwa pemberi kuasa terikat dengan janji-janji yang telah ditentukan secara tetap dan bersifat khusus ataupun dapat ditentukan janji lainnya yang tidak bertentangan dengan UUHT dan peraturan lainnya yang masih berlaku.
3. Berakhirnya Pemberian SKMHT
Menurut Pasal 1813 KUH Perdata berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan karena: pencabutan oleh pemberi kuasa, penerima kuasa melepaskan kuasa yang diterimanya atas kehendak sendiri, serta karena berakhirnya perjanjian pemberian kuasa karena meninggalnya salah satu pihak.
Berakhirnya pemberian SKMHT dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 UUHT yang menyatakan SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun, kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT pada tanggal yang ditentukan dalam SKMHT yang bersangkutan, dengan demikian berakhirnya kuasa tersebut akan dikaitkan dengan objek Hak Tanggungan yang ada, yaitu apakah yang dijadikan tanggungan hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertifikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar. Apabila sudah terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah kuasa tersebut selesai dibuat. Sedangkan atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah kuasa selesai ditandatangani dengan lengkap. Jika batas waktu yang telah ditentukan tersebut tidak ditaati atau tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, maka SKMHT tersebut diancam batal demi hukum. Jadi kuasa dalam SKMHT ini akan berakhir jika telah dilaksanakan pembuatan APHT sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan, atau tidak dilaksanakan atau tidak diikuti dengan pembuatan APHT. Ini berarti pemegang hak harus bekerja ekstra keras menerbitkan surat keterangan penerbitan hak atas tanah yang bersangkutan melalui birokrasi BPN/Kantor Pertanahan yang praktis tidak mudah.
Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan sesuai Pasal 15 ayat (5) UUHT dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat kuasa, dalam hal untuk menjamin kredit tertentu yang diterapkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti kredit kecil, kredit kepemilikan rumah, dan lain-lain yang diatur dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penjelasan Batas Waktu Penggunaan SKMHT Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu, menentukan jangka waktu SKMHT sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Dengan demikian SKMHT dibuat sebagai surat kuasa bagi pihak kreditur untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) atas suatu objek jaminan kredit yang akan dibebani dengan Hak Tanggungan dan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
Alasan-alasan kreditur (bank) tidak langsung membebankan hak tanggungan pada tanah yang menjadi agunan kredit, tetapi hanya meminta SKMHT dari pemberi hak tanggungan adalah biaya pembebanan hipotik (hak tanggungan) dirasakan sangat mahal oleh nasabah debitur. Oleh karena itu, nasabah debitur merasa berkeberatan apabila bank mengharuskan agar dilakukan langsung pembebanan hak tanggungan di atas agunan yang diserahkan oleh nasabah debitur. Alasan lain adalah tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar dan belum bersertifikat. Sehingga pengurusan dan penerbitan sertifikatnya biasanya memakan waktu yang sangat lama, sementara itu kredit sudah segera diperlukan. Oleh karena itu, sementara penerbitan sertipikat masih dalam proses, bank mengikat debitur dengan meminta terlebih dahulu SKMHT.[24]
Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Sehingga penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri.[25]
Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah kreditur dapat membebani hak tanggungan di atas tanah yang telah diagunkan untuk krediturnya itu.[26]
Alasan-alasan kreditur di atas dapat diterima sebagai upaya kehatian-hatian bank dalam memberikan kredit, namun demikian tidak berarti bahwa SKMHT tidak mempunyai kelemahan, karena SKMHT hanya merupakan proses atau tahap menunjuk pembuatan APHT yang mempunyai jangka waktu seperti telah ditentukan dalam UUHT, dan juga SKMHT merupakan lembaga kuasa dan bukan sebagai lembaga jaminan dalam pelunasan suatu kredit. Berarti SKMHT tidak memberikan kedudukan apapun kepada pihak kreditur (bank) sebelum ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selanjutnya kelemahan-kelemahan SKMHT itu sebagaimana disebutkan berikut ini:
- Tidak mempunyai nilai jaminan (yang kuat) karena pemegang SKMHT tidak mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferent atas tanah yang direncanakan dibebani dengan Hak TAnggungan itu (Kreditur ini kedudukannya hanya sebagai kreditur biasa).
- Mempunyai risiko kerugian bagi pihak bank bilamana secara tiba-tiba debitur pailit atau cidera janji (wanprestasi).
- Tidak memenuhi asas spesialitas agar memberikan kepastian hukum dan kepastian hak.
- Tidak memenuhi asas publisitas Hak Tanggungan yang diberikan dengan akta PPAT wajib didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional bidang Pendaftaran Tanah (sehingga pembebanan tanah dapat diketahui oleh masyarakat luas). Kemudian dibukukan dalam Buku Tanah, dan sebagai tanda buktinya diterbitkan sertifikat Hak Tanggungan.[27]
C. Tata Cara Pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Sebagaimana diketahui bahwa hak tanggungan adalah dituangkan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) berbentuk yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai bukti tentang pemberian hak tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok. Dalam pembuatan APHT dilakukan oleh debitur atas objek jaminan kredit, yang dapat juga dilakukan oleh pihak bank (kreditur) atas dasar kuasa yang diberikan oleh debitur dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Pemasangan SKMHT dilakukan dihadapan Notaris atau PPAT dan diIakuan setelah adanya perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang membuat kesepakatan-kesepakatan para pihak tentang meminjam uang dengan memasang Hak Tanggungan.
Pemasangan satu atau lebih hak atas tanah dalam satu SKMHT dapat dilakukan oleh Notaris atau PPAT dengan memperhatikan kepemilikan terhadap hak-hak atas tanah tersebut dan berdasarkan ketentuan yang mengaturnya. Mengenai kepemilikan terhadap hak-hak atas tanah yang akan dipasang SKMHT, Notaris atau PPAT harus memperhatikan atas nama siapa hak-hak atas tanah yang akan dipasang SKMHT tersebut. Apabila satu atau lebih hak atas tanah tersebut dimiliki oleh satu orang maka identitas pemilik hak-hak atas tanah tersebut dibuat dalam komparisi SKMHT sebagai pemberi kuasa. Namun, apabila pemilik hak-hak atas tanah itu berbeda, maka identitas pemilik-pemilik hak atas tanah tersebut harus dibuat dalam komparisi SKMHT sebagai pemberi kuasa. Dalam hal ini boleh dalam satu akta walaupun pemilik berbeda tetapi objek tanah yang sama.
Adapun dokumen persyaratan yang dilengkapi penghadap dalam pemberian SKMHT adalah:
- Identitas/KTP suami-isteri dari debitur
- Kartu Keluarga debitur/penjamin
- Sertifikat atau alas hak atas tanah
- Perjanjian kredit/pengikatan hutang antara debitur dan kreditur
- NJOP PBB
Apabila barang jaminan yang akan dibebani dengan hak tanggungan adalah milik penjamin hutang/avalist bukan milik debitur, maka persyaratannya selain dari identitas penjamin maka dilengkapi juga dengan “surat pernyataan” dari penjamin apabila diperlukan tentang kesediaan sebagai penjamin.
Selanjutnya untuk badan hukum atau PT maka persyaratannya:
- Anggaran Dasar perusahaan
- Persetujuan Komisaris
- Surat penunjukan/kuasa Direktur
- Fotocopy identitas Direktur.[28]
Pemasangan satu atau lebih hak atas tanah dalam satu SKMHT yang dibuat oleh PPAT dilakukan berdasarkan bentuk dan isi dari SKMHT yang telah ditentukan oleh PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Selanjutnya prihal kesepakatan para pihak tentang menyerahkan dan menerima SKMHT serta kesediaan menerima bentuk SKMHT dan aturan yang mengaturnya, dimuat pada halaman 3 dan 4 SKMHT disebutkan; ”Bahwa untuk menjamin perlunasan hutang debitur maka pihak pertama diberikan dengan akta ini kepada dan untuk kepentingan pihak kedua, yang dengan ini menyatakan menerima Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT dan peraturan pelaksanaannya atas objek atau objek-objek Hak Tanggungan”.
Diperbolehkannya pula tindakan PPAT dalam membuat satu atau lebih hak atas tanah dalam satu SKMHT disebabkan pada halaman 6 SKMHT dibuat ketentuan tentang setiap pengangsuran hutang akan diikuti dengan pembebasan satu objek Hak Tanggungan dan beberapa objek Hak Tanggungan yang dibebani Hak Tanggungan hal tersebut dapat terjadi bila para pihak sepakat mengenai hal itu dan membuat janji tersebut yang telah tertulis dalam halaman 6 SKMHT. Dengan demikian, para pihak melalui PPAT dapat membuat di halaman satu SKMHT satu atau lebih objek Hak Tanggungan.
Setelah SKMHT ditandatangani, maka selaku Notaris atau PPAT melakukan pengecekan keberadaan hak atas tanah yang akan dijanjikan objek Hak Tanggungan atas permintaan pihak kreditur. Hal ini dilakukan Notaris atau PPAT dengan membuat surat permohonan kepada pihak Kantor Pertanahan atau seksi pendaftaran tanah untuk memberikan informasi tentang keberadaan tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan, sehingga diketahui hak atas tanah tersebut benar atas nama calon pemberi Hak Tanggungan, dan hak atas tanah tersebut bebas dari sengketa, serta diketahui hak atas tanah tersebut sedang dibebankan hak atas tanah lainnya dan pada peringkat berapa Hak Tanggungan yang terakhir di atas hak atas tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan tersebut. [29]
Secara formal untuk sahnya SKMHT dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT dipersyaratkan SKMHT yang dibuat itu:
a. Tidak membuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain perbuatan hukum lain dan pada membebankan Hak Tanggungan.
b. Tidak membuat kuasa subtitusi.
c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (1) huruf c UUHT tersebut di atas, juga diwajibkan untuk mencantumkan hal-hal yang sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT. Apabila tidak dicantumkan hal-hal tersebut secara lengkap dalam SKMHT maka akan mengakibatkan SKMHT tersebut batal demi hukum. Adapun hal-hal yang wajib dicantumkan tersebut sebagai berikut:
- Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
- Domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar negeri, baginya harus dicantumkan suatu dornisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, maka kantor PPAT tempat pembuatan SKMHT dianggap sebagai domisili yang dipilih.
- Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan.
- Nilai tanggungan.
- Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas usahanya.
Apabila dikaitkan dengan bentuk dan petunjuk SKMHT yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan, maka Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut tidak dapat diartikan secara sempit. Maksudnya bukan hanya hal-hal sebagaimana dimaksud dalani Pasal 11 ayat (1) UUHT di atas saja yang wajib dicantumkan pasal ini, seperti penandatanganan, tanggal, hari, bulan serta tahun ditandatangani SKMHT yang harus diperhatikan para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
Penandatanganan menunjukkan bahwa suatu SKMHT yang dibuat memang disepakati dan akan ditindaklanjuti oleh para pihak, pencantuman tanggal, hari, bulan, serta tahun dalam, SKMHT akan memberikan batas kepada pihak khususnya kreditur atau penerima kuasa agar memperhatikan jangka waktu yang diberikan oleh UUHT tentang masa berlaku SKMHT tersebut ditindaklanjuti dengan membuat APHT. Selain itu dalam SKMHT juga dapat dicantumkan secara fakultatif hal-hal tertentu, yaitu berupa janji-janji sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUHT.
Janji-.janji yang bersifat fakultatif, maksudnya janji-janji yang termuat dalam blanko SKMHT bisa diperjanjikan bisa juga tidak tergantung kesepakatan para pihak. Namun, jika ada penambahan janji-janji yang diinginkan para pihak diluar janji-janji yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, maka hal itu diperbolehkan asalkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.
Baca juga:
Kepastian Hukum Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank
Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 2. Lihat juga, Putusan MA No. 331.K/Sip/1973, tanggal 4-12-1975 dalam ”Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perda”, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hal. 57.
[2] Ibid., hal. 57. Bandingkan Putusan MA No. 731.K/Sip/1975, tanggal 16-12-1976.
[3] Ibid., hal. 2-3.
[4] Ibid., hal. 3.
[5] Ibid., hal. 3.
[6] Ibid., hal. 3.
[7] Ibid., hal. 4.
[8] Ibid., hal. 5.
[9] Ibid., hal. 6-7.
[10] Ibid., hal. 7.
[11] Ibid., hal. 8.
[12] R. Soesilo, RBG/HIR dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1985, hal. 30.
[13] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 8.
[14] Ketidakhadiran disini diluar makna ketidakhadiran pada Pasal 463 KUH Perdata.
[15] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 141.
[16] J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal.169.
[17] Ibid., hal. 170.
[18] Sutan Remy Syahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 105.
[19] J. Satrio, op. cit., hal. 188
[20] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Jakarta: Djambatan, 1999, hal. 429
[21] Boedi Harsono dan Sudaryanto Wirjodarsono, Seminar Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkenaan Dengan Tanah, Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD, 1996, hal 49.
[22] J. Satrio, op. cit., hal.188.
[23] Ibid., 189.
[24] Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 117-118.
[25] Ibid., hal. 120.
[26] Ibid., hal. 123.
[27] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal. 45.
[28] Egawati Siregar, “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU, Medan, 2010, hal. 76.
[29] Ibid., hal.77-78.