Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan


A.  Hak Tanggungan

1.   Pengertian Hak Tanggungan

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), disebutkan bahwa: Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu:

a.   Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.

b.   Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

c.   Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

d.   Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

e.   Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dibandingkan dengan definisi hak tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, bahwa ”hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut:

a.   Hipotik adalah suatu hak kebendaan.

b.   Objek Hipotik adalah benda-benda tak bergerak.

c.   Untuk pelunasan suatu perikatan.

Membandingkan antara definisi hak tanggungan dengan definisi hipotik, ternyata pembuat undang-undang dan UUHT lebih baik dalam membuat rumusan definisi Hak Tanggungan dari pada pembuat undang-undang KUH Perdata dalam membuat rumusan definisi Hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini berikut ini:

Dalam rumusan definisi Hipotik banyak unsur-unsur dan Hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik daripada rumusan definisi Hipotik dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan Hak Tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. [1]

Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW yang lama disamping Pand. Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227 (3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art. 227 (3.9.1.1) NNBW adalah:

Hak pond dan hak Hypotheek adalah hak-hak yang terbatas (beperkte rechten) yang dimaksudkan untuk dapat memperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Apabila hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek: sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand. [2]

Setelah membaca rumusan definisi Hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan definisi Hak Tanggungan dalam UUHT masih lebih baik daripada NNBW.

2.   Objek Hak Tanggungan

Untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.   Dapat dinilai dengan uang, atau bernilai ekonomis. Karena utang yang dijamin berupa uang, maka benda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.

b.   Mempunyai sifat dipindahtangankan. Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan, karena apabila debitor ceidera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang.

c.   Benda yang mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas

d.   Penunjukan benda yang dapat dijaminkan tersebut, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang.[3]

Di dalam praktik perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai seringkali pula oleh bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dijadikan agunan kredit. Bank dan lembaga-lembaga pembiayaan mendasarkan kepada kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Namun, mengingat di dalam UUPA, Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang ditempuh oleh bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan F.E.O (fiducia) dan/atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya.[4]

Kebutuhan praktik menghendaki agar supaya Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hak Tanggungan. Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT).

Menurut Sutan Remy Sjahdeini:

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, tetapi juga dari tanah milik orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan. Sedangkan kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah Negara. Namun, sudah barang tentu bahwa pelaksanaan Hak Tanggungan atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Milik diwajibkan untuk didaftarkan. [5]

Mengenai kebutuhan masyarakat agar Hak Pakai dimungkinkan menjadi agunan, yang dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT kebutuhan tersebut akhirnya dlitampung dengan menetapkan Hak Pakai juga sebagai objek Hak Tanggungan, sebagaimana pada Penjelasan Umum angka (5) UUHT sebagai berikut:

”….Hak Pakai dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata. Dalam Undang-undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fiducia.

…Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Selain mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang pentingnya adalah, bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai objek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, menjadi terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.

Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai yang demikian contoh-contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing.

Mengenai ditunjuknya hak pakai atas tanah negara sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT, Mariam Darus Badrulzaman telah mengemukakan ketidaksetujuannya dengan mengemukakan sebagai berikut:[6]

a.   Menurut UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41).

Untuk tanah hak pakai diatas tanah milik negara, untuk setiap peralihannya diperlukan izin dari pejabat negara (Pasal 43). Hak pakai semula tidak termasuk hak atas tanah yang terdaftar. Berarti hak pakai itu bersifat pribadi yang melekat pada orangnya (right personam) dan tidak bendanva (right in rem). Pada tahun 1966 (Permen Agraria No. 1) ditentukan bahwa HPTN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) harus didaftarkan. Pendaftaran ini membawa akibat hak pakai dapat dialihkan, Namun, ada satu syarat yang menunjukkan bahwa hak pakai itu tidak dapat melepaskan diri dari “sifat pribadi“, yaitu untuk peralihannya diperlukan izin (Pasal 43 UUPA jo Permen Agraria No. 1 Tahun 1966 Pasal 2). merupakan pertanyaan disini dengan adanva pendaftaran HPTN ini, seyogianya izin itu tidak lagi diperlukan, karena hak pakai itu sudah bersifat hak kebendaan. Jika izin masih diperlukan, berarti sifat hak pakai yang didaftar itu mengambang, dualitis, mengikat pribadi dan juga bendanva. Disini tidak ada kepastian hukum yang merupakan asas dalam hukum jaminan.

b.   Dalam hal debitur ingkar janji, merupakan pertanyaan karena itu apakah untuk eksekusi tersebut diperlukan izin dari pejabat negara.

Berhubung dengan pendapat tersebut, maka seyogianya segera dikeluarkan ketentuan perundang-undangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 UUPA yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah Hak Pakai Di Atas Tanah Milik Negara diperlukan izin dari pejabat negara. Apabila ketentuan itu belum diubah, unsur bagi terpenuhinya syarat untuk dapat menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan, tidak terpenuhi. Belum diubahnya ketentuan Pasal 43 UUPA itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai Atas Tanah Negara. Tidak ada jaminan hukum bahwa pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 43 UUPA itu, akan memberikan izin yang diperlukan untuk peralihan Hak Pakai Atas Tanah Negara itu sebagai syarat dapat dilaksanakannya eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.[7]

Karena ketentuan yang harus diubah itu merupakan ketentuan perundang-undangan yang bertingkat undang-undang, perubahannya haruslah dilakukan dengan undang-undang pula atau dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Mengingat pembuatan suatu undang-undang memakan waktu yang lama, sebaiknya dapat ditempuh dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan

Dan uraian di atas, maka objek-objek Hak Tanggungan adalah:

a.   Hak Milik.

b.   Hak Guna Usaha.

c.   Hak Guna Bangunan.

d.   Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

e.   Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).

3.   Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran objek hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kabupaten/Kota setempat. Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA jo PP No.10 Tahun 1960 lebih tepat dinamakan sebagai stelsel campuran, yakni antara stelsel negatif dan stelsel positif.[8] Artinya, pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga menganut stelsel campuran[9]

Tanpa pendaftaran, hak tanggungan dianggap tidak pernah ada. Jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (1) UUPA begitu juga halnya dengan Hipotek menurut Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata, maka hak tanggungan itu belum ada.

Semua perikatan hak tanggungan dan hipotek yang sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR.[10] Pemberian hak tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan akta pemberian hak tanggungan.

Kemudian, juga bahwa di dalam melakukan eksekusi baik hipotek atau hak tanggungan tata urutan pendaftaran yang menentukan kekuatan yang mengikat dari hipotik dan hak tanggungan itu. Hipotek lahirnya menurut Pasal 1181 KUH Perdata maupun Pasal 13 jo Penjelasan Umum butir 7 UUHT, yang dibuat debitur terhadap beberapa orang kreditur, bukan dilihat dari tanggal pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya.

4.   Sertifikat Hak Tanggungan

Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan diterbitkan sertifikat hak tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUHT. Pada akta hipotek terhitung sejak saat didaftarkan sampai dengan dikeluarkannya sertifikat hipotek oleh Kantor Pendaftaran Tanah (PP No.10 Tahun 1961), untuk kepentingan eksekusi dalam praktiknya, terjadi dualisme pendapat, terdapat dualisme titel eksekutorial harus dicantumkan pada grose akta hipotek sementara oleh pejabat BPN harus dicantumkan pada sertifikat hipoteknya. Dalam pelaksanaannya grose akta hipotek yang memegang peran utama eksekusi. Sementara sertifikat hipotek hanya sebagai pelengkapnya Di dalam UUHT dualisme titel eksekutorial tidak lagi terjadi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2), bahwa ”Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grose akta hipotek dalam melaksanakan Pasal 224 HIR  dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement lot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura) (Sib. 1927-227) sepanjang mengenai hak tanah. Kalau dilihat bahwa titel eksekutorial terdapat pada sertifikat hak tanggungan, dengan demikian akta pemberian hak tanggungan adalah pelengkap dari sentifikat hak tanggungan.

5.   Hapusnya Hak Tanggungan

Hapusnya hak tanggungan menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT:

a.   Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan (accessoir), hapusnya perjanjian pokok.

b.   Dilepaskan hak tanggungan oleh kreditur pemegangnya, yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya hak tanggungan yang bersangkutan kepada pemberi hak tanggungan.

c..  Pemberian hak tanggungan yang bersangkutan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan.

d.   Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan.

Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud di atas, maka harus dilakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya di Kantor Pertanahan (diroya). Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan (Pasal 22 UUHT).

Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan setelah pemberi hak tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis sebagaimana disebutkan pada poin 2 tersebut, sehingga menurut Sutan Remy Syahdeini:

Karena pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan lahirnya hak tanggungan pada hari tanggal didaftarkannya hak tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut, serta dengan pendaftaran hak tanggungan itu, setelah pemberi hak tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga, dan setelah pemberian hak tanggungan menerima pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan sebagaimana disebutkan di atas, pemberi hak tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar hak tanggungan tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak ketiga.[11]

Menurut Pasal 19 UUHT, diatur tata cara pemberian hak tanggungan jika hasil penjualan objek hak tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi piutangnya yang dijamin tanpa diadakan pembersihan hak tanggungan yang menjamin piutang tersebut akan tetap membebani objek yang dibeli. Bahwa dalam melakukan “roya partial” hapusnya hak tanggungan pada bagian objek yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang telah bebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya.[12]

B.  Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan

Tata cara atau proses yuridis dan administratif melekatnya titel eksekutorial pada Hak Tanggungan dapat diuraikan sebagai berikut:

1.   Tahap Pertama

Tahap pertama adalah pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang yang dalam salah satu pasalnya disepakati janji debitor memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang. Dengan demikian, perjanjian kredit yang berisi janji debitor memberikan Hak Tanggungan merupakan perjanjian pokok (basic agreement, principal agreement) yang berfungsi sebagai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian hutang.

Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, eksistensi janji memberikan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit merupakan bagian tak terpisahkan dari janji pemberian Hak Tanggungan. Perjanjian Hak Tanggungan bersifat accessoir dengan perjanjian pokok. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian yang memberi jaminan atas pelunasan hutang yang disebut perjanjian pokok.

Bentuk perjanjian pokok yang berisi pemberian Hak Tanggungan, menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT dapat berbentuk akta dibawah tangan (onderhandse akte) atau akta autentik (authentieke akte). Pembuatannya dapat di dalam maupun di luar negeri, tidak dipersyaratkan validitas atau keabsahannya mesti dibuat di dalam negeri, akan tetapi tetap sah dibuat di luar negeri. Sedangkan subyek atau pihak dalam perjanjian Hak Tanggungan dapat orang perseorang (natural person), bisa badan hukum (legal entity), dan juga dapat orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.   Tahap Kedua

Tahap kedua adalah pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan berbentuk Akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).  

Akta Pemberian Hak Tanggungan berfungsi sebagai bukti tentang pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok.

Isi dan format APHT diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menentukan hal-hal sebagai berikut:

(1) Yang wajib dicantumkan dalam APHT:

a.  Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;

b.  Domisili pihak-pihak;

c.  Penunjukan secara jelas utang yang dijamin;

d. Nilai tanggungan

e.  Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.

Pencantuman unsur ini dalam APHT bersifat kumulatif. Oleh karena itu harus lengkap dicantumkan. Apabila terdapat kelalaian untuk mencantumkan salah satu diantaranya, akan mengakibatkan APHT batal demi hukum sebagaimana penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT.

(2)  Janji yang dapat dicantumkan dalam APHT

Dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT terdapat sejumlah klausul yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tangggungan, antara lain:

a.  Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan mengubah bentuk dan tata susunan objek hak tanggungan;

b.  Janji yang memberikan kewenangan kepada penerima hak tanggungan untuk mengelola objek berdasarkan penetapan pengadilan negeri, menyelamatkan objek hak tanggungan dalam rangka eksekusi (mencegah hapus atau dibatalkan hak atas tanah objek hak tanggungan), pemegang hak tanggungan pertama mmpunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop), dan pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada saat eksekusi hak tanggungan.

Selanjutnya dalam pembebanan hak tanggungan tersebut perlu diuraikan objek Hak tanggungan, yaitu:

a.   Hak Milik (HM)

b.   Hak Guna Usaha (HGU)

c.   Hak Guna Bangunan (HGB)

d.   Hak pakai (HP):

1)   Hak Pakai atas tanah negara:

a)    sudah terdaftar.[13]

b)   sifatnya dapat dipindahtangankan (transferability)

2)   Hak Pakai atas Hak Milik.

Hak Pakai atas Hak Milik dimungkinkan untuk dijadikan obyek hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Penjelasan Umum angka 5 UUHT kecuali untuk Tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.

Sedangkan Asas objek Hak Tanggungan dapat dijelaskan berikut ini:

a.   asas publisitas:

1)   tanah objek hak tanggungan telah terdaftar pada Kantor Pertanahan

2)   tanah bersertifikat

b.   asas transferability:

1)   dapat dipindahtangankan

2)   oleh karena itu dapat segera direalisasi pemenuhan pembayaran hutang dengan jalan menjual objek Hak Tanggungan

c.   Asas certainability atau asas spesialitas.

Berikutnya mengenai kewajiban pendaftaran pemberian Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UUHT. Pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat imperatif artinya wajib mendaftarkan hak tanggungan pada Kantor Pertanahan. Selain daripada itu, menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa pendaftaran hak tanggungan ini dalam rangkaian memenuhi asas publisitas, serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan kepada para pihak dan juga kepada pihak ketiga.

Kewajiban bagi PPAT sebagai pembuat APHT, berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UUHT mengirimkan atau menyampaikan APHT dan warkat lainnya meliputi: surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan dan identitas para pihak, sertifikat hak atas tanah, yang diperlukan Kantor Pertanahan. Pengiriman APHT dan warkat lainnya dimaksud oleh PPAT selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja dari tanggal penandatanganan APHT. Cara pengirimannya menurut Penjelasan Pasal 13 ayat (2) UUHT melalui petugas PPAT atau melalui pos tercatat.

Pada prinsipnya cara pengirimannya, PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman sesuai kondisi dan fasilitas yang ada di daerah yang bersangkutan. PPAT yang lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi administratif berupa teguran lisan/tulisan, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dari jabatan.[14]

Kemudian mengenai kewajiban Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UUHT yaitu :

a.   Mendaftarkan hak tanggungan;

b.   Untuk keperluan pendaftaran tanah, Kantor Pertanahan membuat Buku Tanah Hak Tanggungan;

c.   Mencatat dalam buku Tanah yang dijaminkan Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan;

d.   Menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;

e.   Tanggal dalam Buku Tanah Hak Tanggungan menurut Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) UUHT adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. Jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, Buku Tanah Hak Tanggungan diberi tanggal pada hari kerja berikutnya. Efektifnya hak tanggungan terhitung tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan (filing date), sehingga terhitung dari tanggal penerimaan pendaftaran terdapat asas openbaar dan perlindungan hukum (legal protection).

Setelah dilakukan pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan setempat, kemudian dibuatkan sertifikat Hak Tanggungan. Penerbitan sertifikat Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14 UUHT, bahwa yang menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan adalah Kantor Pertanahan dengan mencantumkan irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Fungsi sertifikat Hak tanggungan adalah menjadi bukti Hak Tanggungan dan menjadi landasan kekuatan eksekutorial (executoriale kracht). Kekuatan eksekutorialnya sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya Kantor Pertanahan mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian hak tanggungan kepada pemegang hak tanah, dan sertifikat hak tanggungan diberikan kepada kreditor.

Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah sebagai berikut:

  1. Bukti identitas para pihak yang bersangkutan dan/atau data-data lengkap dari pihak-pihak bersangkutan.
  2. Surat persetujuan dari suami/isteri; jika menurut peraturan perundang-undangan harus ada.
  3. Sertipikat Hak atas Tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan (Hak Milik, HGB atau HGU berikut Surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan), bila di atas tanah tersebut terdapat bangunannya.
  4. Perjanjian kredit yang tercantum di dalam Akta Otentik atau Akta dibawahtangan.

Pada umumnya terhadap tanah belum terdaftar maupun tanah sudah terdaftar sebagai obyek hak tanggungan, maka pembuatan APHT yang diajukan pihak bank (kreditur) atas dasar SKMHT dari debitur. [15]

Syarat-syarat tersebut di atas merupakan persyaratan pemberian hak tanggungan yang pemohon kredit atau debitur adalah perorangan. Sedangkan bagi pemohon kredit atau debitur merupakan perusahaan atau badan hukum, maka syarat-syaratnya ialah:

  1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau lainnya sesuai Anggaran Dasar perusahaan dari Direksi;
  2. Akta Pendirian Perusahaan (badan hukum)/Anggaran Dasar perusahaan;
  3. Sertipikat hak atas tanah yang akan dibebani hak tanggungan (Hak Milik, HGB atau HGU) berikut surat IMB, bila tanah tersebut terdapat bangunan;
  4. Perjanjian kredit yang dimuat di dalam akta otentik atau akta dibawahtangan.[16]

Baca juga:

Kepastian Hukum Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)


[1] Sutan Remy Sjahdeini,  Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, 1999, hal. 12-13.

[2] Ibid., hal. 13

[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Jakarta:Djambatan, 1997,  hal. 386.

[4] Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 57.

[5] Ibid., hal. 58-59.

[6] Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.

[7] Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 61-62

[8] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991, hal. 11

[9] Effendy Hasibuan. Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta,  Jakarta: Laporan Penelitian, 1997, hal. 38.

[10] Ibid., hal. 38.

[11] Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 155.

[12] Pasal 22 ayat (9) UUHT.

[13] Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 UUHT.

[14] Pasal 37 PMNA/Ka.BPN Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Selanjutnya lihat juga Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 197 tentang BPHTB.  bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlambat melakukan laporan bulanan dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. 

[15] Egawati Siregar, “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU, Medan, 2010, hal. 73-74.

[16] Ibid., hal. 74.