Kelompok Sosial dan Penerapannya Dalam Pembangunan Hukum


A.  Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial merupakan mahkluk yang berhubungan secara timbal-balik dengan manusia lain.[1] Dalam sosiologi, mahkluk sosial adalah sebuah konsep ideologis dimana masyarakat atau struktur sosial dipandang sebagai sebuah “organisme hidup”.Semua elemen masyarakat atau organisme sosial memiliki fungsi yang mempertahankan stabilitas dan kekompakan dari organisme. Dengan kata lain, manusia tergantung satu sama lainnya untuk menjaga keutuhan masyarakat.[2]

Masyarakat merupakan kumpulan dari orang-orang yang mempunyai aturan atau norma tersendiri yang mengatur perilaku hidup dalam kesehariannya. Hal demikian tepat digambarkan dalam adagium yang menyatakan “ibi sosius ibi ius” yang diartikan sebagai “dimana ada masyarakat di situ ada hukum”. Tepat kiranya adagium tersebut ada dalam masyarakat karena hakekatnya manusia sebagai individu yang ada di masyarakat memiliki watak dan sifatyang ingin bebas tanpa aturan tertentu yang mengekang kebebasannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kebebasan yang terkandung dalam diri manusia tersebut berdampak pada ketidakseimbangan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain sehingga terjadi kekacauan dalam masyarakat, maka untuk itu diperlukanlah hukum sebagai pengatur norma perilaku manusia dalam masyarakat.

Wujud pengamalan dari hukum yang mengatur perilaku manusia maka akan terbentuk masyarakat yang tertib, aman dan damai.[3] Namun tak selamanya hukum yang ada itu sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berubah dari masa ke masa. Hukum berlari-lari terseok-seok mengejar ketertinggalannya terhadap perkembangan masyarakat. Contoh kecil yang dapat dikemukakan ialah teknologi internet yang dapat mengakses segala informasi termasuk hacker dapat membobol dana bank hanya dengan duduk di depan komputer. Piranti hukum tidak ada yang secara khusus dan menyeluruh mengatur tentang kejahatan pembobolan dana yang dilakukan hacker tersebut dan hanya mengandalkan ketentuan-ketentuan tertentu yang sifatnya umum.

Pembentukan piranti hukum atau undang-undang yang tepat dalam mengatasi masalah hacker di atas dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Mulai dari perumusan rancangan undang-undang sainpai dengan pengesahannya, membutuhkan waktu dan persiapan yang panjang. Ketika diterapkan dalam masyarakat, ada saja bentuk ketertinggalan hukum misalnya berupa unsur kejahatan yang tidak Iengkap mengaturnya. Kalau tidak ada piranti hukum yang jelas mengatur tentang kejahatan ini, maka sudah jelas bahwa hukum yang diterapkan belum mencapai keadilan dan kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat.

Permasalahan yang terdapat di atas tidak dengan sendirinya terselesaikan tanpa adanya peran dari seluruh masyarakat yang ada. Untuk itulah peran serta masyarakat dalam membangun hukum harus diterapkan demi kelangsungan hidup manusia agar fungsi hukum yakni menjadikan masyarakat yang tertib dan aman dapat terwujud. Namun dalam kenyataan yang ada, masyarakat tidak dapat dengan sendirinya dapat bergerak untuk mewujudkan fungsi hukum tersebut kalau tidak dibarengi dengan pembentukan struktur, sistim dan pola yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.

Pembentukan struktur, sistim maupun pola yang ada di masyarakat, salah satunya dapat dituangkan dalam grup atau kelompok. Dari kelompok ini pula berikutnya dapat diselenggarakan tujuan-tujuan tertentu yang dapat dicapai dengan hubungan antara anggota yang terdapat dalam suatu kelompok tersebut. Contoh kecil peran kelompok ini dalam pembangunan adalah partai politik, dimana di dalamnya terdapat anggota-anggota yang memiliki tujuan tertentu termasuk juga membangun suasana tidak hanya politik, namun tercakup pula hukum. Dengan genjarnya usaha yang dilakukan suatu partai politik dalam suatu pemilihan umum sehingga diperoleh hasil dapat memasukkan anggotanya sebagai anggota legislatif yang berdasarkan hukum ketatanegaraan Indonesia diberi kewenangan untuk membentuk undang-undang.

Pada dasarnya pembuatan undang-undang itu menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti yang dikatakan Ronny H. Soemitro, yakni: “Dalam pembuatan hukum yang diuntungkan adalah orang-orang atau golongan-golongan yang lebih kaya dan yang aktif dalam kegiatan politik, sedangkan kepentingan-kepentingan rakyat jelata akan dikesampingkan atau tidak mendapatkan perhatian seperti yang termasuk dalam golongan politik yang berkuasa”.[4]

Tidak tepat kiranya Indonesia saat sekarang ini sebagai negara yang demokratis terdapat nilai-nilai yang hanya menguntungkan sebelah pihak saja. Maka dalam hal ini perwujudan undang-undang sebagai salah satu sumber hukum, tidak hanya terdapat peran dari anggota partai politik yang berkuasa atau yang duduk di legislatif saja, namun ini semuamelalui proses yang panjang dan membutuhkan kontrol dari masyarakat yang tergabung dalam kelompok yang lain.

Dimana dapat ditentukan kelompok sosial dalam kajian sosiologi? Pada segi struktural masyarakat atau disebut juga struktur sosial diartikan sebagai keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial.[5]

B.   Kelompok Sosial

1.    Pengertian kelompok sosial

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah pada kehidupan kolektif. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang karena tuntutan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran, serta ambisi tertentu dipersatukan dalam kehidupan kolektif. Sistem dan hukum yang terdapat dalam suatu masyarakat mencerminkan perilaku-perilaku individu karena individu-indivu tersebut terikat dengan hukum dan sistem tersebut.[6]

Soerjono Soekanto menyatakan: unsur-unsur pembentuk masyarakat adalah sebagai berikut:

  1. Beranggotakan dua orang atau lebih.
  2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
  3. Berhubungan dengan jangka waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang berkomunikasi, dan membuat aturan-aturan yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat.
  4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan antar anggota masyarkat.[7]

Soedjon D, menyatakan: masyarakat adalah suatu susunan perhubungan-perhubungan yang tidak hidup terpisah dari orang-orang yang bersama, yang merupakan bagian dari masyarakat itu, dan walaupun manusia bertindak dalam suatu rombongan dari pada ia seorang lain nyata tak timbul suatu hal dari dahulunya tidak ada.[8]

 Pengertian masyarakat tentunya tidak terlepas dari gambaran adanya rombongan. Rombongan dimaksud adalah masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terdapat perkumpulan-perkumpulan tertentu yang diadakan untuk memperluas hubungan manusia yang satu dengan yang lain. Antara hubungan ini yang terpenting adalah reaksi yang timbul akibat dari hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindak seseorang semakin luas.[9]

Tindak lanjut dari hubungan manusia yang semakin luas tersebut disebabkan oleh karena keinginannya untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berada di sekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginannya untuk menjadi satu dengan suasana alam lingkungannya. Kesemuanya itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social groups di dalam kehidupan manusia.[10]

Kelompok (group) adalah hidup bersama individu-individu dalam suatu ikatan, yang mana dalam ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar anggota masing-masing kelompok sosial. Sedangkan pengertian kelompok sosial yang dirumuskan Sheriff adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga di antara individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.[11]

Jadi dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok sosial dapat terdiri atas hanya dua individu seperti suami istri, dan dapat pula terdiri atas ratusan orang-orang dengan syarat telah terjadi interaksi sosial di antara mereka. Dengan demikian terdapatlah kelompok sosial besar dan kecil yang sangat banyak. Kelompok sosial yang besar dan kecil tersebut dapat diklasifikasikan secara sistimatis berdasarkan pembagian kelompok sebagai berikut:[12]

a.    Gemeinschaft

Dalain hal ini yang dimaksud dengan gemeinschaft adalah suatu kelompok pergaulan hidup yang terbentuknya disebabkan oleh faktor kodrat. Umumnya dalam pergaulan antar anggota dalam kelompok gemeinschaft ini bersifat intim dan kekeluargaan, klan, suku, bangsa. Untuk kelompok sosial gemeinschaft ini istilah Indonesia-nya adalah paguyuban.

b.    Gesellschaft

Suatu kelompok pergaulan hidup yang terbentuknya disebabkan oleh kehendak atau keinginan dari anggota kelompok sendiri atau pimpinan anggota kelompok, untuk mencapai tujuan tertentu misalnya perkumpulan, perusahaan/badan hukum, partai politik, yayasan, lembaga pendidikan dan sebagainya.

Pada umumnya ikatan antar anggota kelompok gesellschaft ini tidak seintim seperti pada kelompok gemeinschaft. Dalam istilah Indonesia, gesellschaft ini dikenal dengan nama patembayan.

Dari uraian di atas maka hubungan masyarakat dalam kelompok tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. Dengan demikian maka suatu kelompok sosial mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:[13]

1)    setiap warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan;

2)    ada hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan warga-warga lainnya (interaksi);

3)    terdapat suatu faktor (atau beberapa faktor) yang dimiliki bersama oleh warga-warga kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain;

4)    ada struktur;

5)    ada perangkat kaidah-kaidah;

6)    menghasilkan sistem tertentu.

2.    Ciri-ciri kelompok sosial

Kelompok sosial memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang sedemikian rupa sehingga berpengaruh terhadap proses interaksi pada tiap pergaulan hidup. Interaksi sosial adalah suatu proses pengaruh mempengaruhi antar individu dalam suatu pergaulan. Menurut Sheriff terdapat empat ciri kelompok yang berperan dalam proses interaksi sosial antara lain:[14]

a.    adanya dorongan pada individu-individu sehingga terjadi interaksi sosial;

b.    akibat interaksi yang berlainan karena terjadi reaksi yang berbeda yang disebabkan kecakapan yang berbeda dan individu yang terjalin dalam interaksi sosial; sehingga kemudian terbentuk organisasi, struktur dan norma-norma sosial, dalam suatu kelompok tertentu yang memilIki kekhasan masing-masing;

c.    pembentukan dan penegasan struktur organisasi kelompok yang jelas, terdiri atas peranan dan kedudukan sosial, herarkis yang semakin berkembang dalam usaha pencapaian tujuan. Kemudian disusul dengan terjadinya pemisahan yang jelas antara usaha dan orang-orang yang termasuk ingroup and outgroup;

d.    terjadinya penegasan dan peneguhan norma-norma pedoman tingkah laku anggota kelompok dalam normalisasi tujuan kelompok.[15]

Norma dan pedoman tingkah laku ini, seperti juga struktur pembagian tugas anggotanya merupakan norma dan struktur yang khas bagi kelompok yang bersangkutan. Adanya ciri-ciri tersebut yang mengalami perkembangan yang berbeda pada tiap kelompok, maka terdapatlah kelompok-kelompok yang berbeda-beda tergantung diantaranya pada kemampuan penguasaan lingkungan dalam interaksi sosial tiap-tiap kelompok tersebut.

3.    Norma-norma kelompok sosial

Norma adalah suatu pedoman atau petunjuk bagi seorang untuk berbuat atau tidak berbuat dan bertingkah laku sebagaimana mestinya terhadap sesama manusia di dalam Iingkungan suatu masyarakat tertentu.[16] Sedangkan yang dimaksud dengan norma sosial atau norma kelompok adalah ketentuan umum tentang tingkah laku anggota-anggota kelompok yang patut atau tidak patut dilakukan oleh anggota-anggota kelompok dengan ketentuan yang bersifat perintah-perintah dan larangan-larangan.[17]

Tepat kiranya norma kelompok ini dipandang sebagai harapan kelompok, ditaati anggotanya. Perbuatan atau perilaku anggota kelompok yang menaati norma-norma kelompoknya dianggap perbuatan yang normal sesuai dengan harapan kelompok, sedangkan yang menyimpang atau melawan ketentuan yang telah dirumuskan dalam norma tersebut merupakan perbuatan tidak normal yang mana atas perbuatan tersebut akan menimbulkan reaksi kelompok bersangkutan yang akan ditimpakan kepada sipelanggar norma. Reaksi atas pelanggaran norma akan berbeda sesuai berat ringannya akibat yang ditimbulkan atas pelanggaran norma.[18]

Adanya perbedaan reaksi tersebut maka timbul beberapa macam norma kelompok atau norma sosial. Di antara norma-norma sosialtersebut adalah norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum. Norma kesopanan dan norma kesusilaan bila dilanggar akan berakibat terhadap sipelanggar dengan adanya celaan-celaan langsung dari kelompoknya, sehingga yang bersangkutan merasakan bahwa dirinya tidak disukai oleh kelompoknya. Norma-norma ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban sedangkan norma hukum fungsinya lebih istimewa karena pelanggaran atasnya dapat merugikan harta atau bahkan tindakan paksaan seperti denda, hukuman pembatasan kebebasan, bahkan sampai hukuman mati.

Norma hukum ini bertujuan untuk mewujudkan dan menjamin di samping ketertiban juga keadilan dan dengan faktor sanksi yang terdapat pada norma hukum. Norma hukum akan mampu mengatur dan mengarahkan kelompok ke arah kehidupan yang lebih maju dan bahagia. Sehubungan dengan hal tersebut, norma hukum sering ditampilkan sebagai norma yang mempunyai fungsi sebagai penggerak perkembangan masyarakat.

C.   Peranan Kelompok Sosial Dalam Pembangunan Hukum

Pembangunan nasional dalam perjalanannya akan menimbulkan perubahan-perubahan, baik yang berupa fisik kebendaan, kewilayahan maupun yang menyangkut tata nilai, cara berpikir, perilaku dan perilaku masyarakat. Karena itu dalam keseluruhan proses pembangunan, gerak dan dinamikanya akan selalu timbul berbagai kerawanan, karena munculnya berbagai benturan kebutuhan, kepentingan dan pandangan hidup masyarakat. Di sini pula hukum berperan sebagai sarana untuk mencegah konflik. Atau apabila konflik itu sudah terjadi maka hukum berperan sebagai sarana untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik dengan cara damai dan tertib.[19]

 Dewasa ini usaha pembaharuan hukum sedang digalakkan sedemikian rupa untuk pada saatnya berlaku hukum nasional yang lahir dari citra masyarakat itu sendiri. Pembaharuan yang dilakukan ini tidak terlepas dari upaya pembangunan yang dilaksanakan. Suatu proses pembangunan biasanya dikaitkan dengan pandangan-pandangan yang optimistis, yang berwujud usaha-usaha untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada apa yang telah dicapai. Dalam mencapai taraf hidup ini dapatlah ditempuh cara-cara sebagai berikut:

  1. Struktuil, yang mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi lembaga-lembaga masyarakat, prosedurnya serta pembangunan secara materil;
  2. Spirituil, yang meliputi watak dan pendidikan di dalam penggunaan cara-cara berpikir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.[20]

Gambaran di atas menunjukkan pentingnya peran masyarakat yang diwujudkan melalui kemauan keras serta kemampuan untuk memanfaatkan setiap kesempatan bagi kepentingan pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat harus aktif dalam memecahkan masalah-masalah hidup dan memiliki sikap terbuka bagi pikiran-pikiran dan usaha-usaha baru. Kemudian pada taraf pelaksanaan, maka ilmu-ilmu sosial dalam hal ini sosiologi berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap kekuasaan-kekuasaan sosial dalam masyarakat serta mengamat-amati proses perubahan sosial yang terjadi.

Pembangunan yang dilaksanakan tidaklah cukup hanya dilaksanakan dengan niat baik saja. Hal tersebut harus dibarengi dengan usaha-usaha lain, misalnya mengindentifikasikan apa yang tidak atau yang belum ada, apa yang rusak, atau apa salah, apa yang kurang, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun apa yang telah merosot. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsional.[21] Oleh karena itulah seringkali dikatakan bahwa di dalam melaksanakan pembangunan dapat dilakukan dengan mempergunakan berbagai cara, yakni secara alternatif maupun secara kumulatif. Misalnya dengan pembentukan lembaga-lembaga baru sambil menghapuskan lembaga-lembaga lama atau memberikan fungsi yang baru pada lembaga-lembaga yang telah ada.

Selain cara di atas, dapat juga dilakukan penyusunan atau pembentukan infrastruktur fisik yang baru maupun dengan membentuk pusat-pusat pembangunan. Walaupun demikian, tidak pula dapat dilupakan bahwa pembentukan watak masyarakat terutama melalui pendidikan merupakan cara yang hakiki.

Upaya pembangunan ataupun pembinaan hukum yang dilakukan, perlulah dipandang syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Hukum tidak merupakan aturan-aturan yang bersifat ad-hoc, akan tetapi merupakan aturan-aturan umum yang bersifat tetap;
  2. Hukum tadi harus diketahui dan jelas bagi para warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut;
  3. Dihindari penterapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif;
  4. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum;
  5. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan, baik mengenai satu bidang kehidupan tertentu, maupun untuk pelbagai bidang kehidupan;
  6. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan para warga masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut;
  7. Perlu dihindarkan terlalu banyak perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena warga-warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pedoman bagi kegiatan-kegiatannya;
  8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penterapan hukum tersebut;
  9. Hukum tadi sah secara yuridis, filosofis maupun secara sosiologis;
  10. Perlu diusahakan agar hukum tersebut diberi bentuk tertulis.[22]

Tertibnya fungsi lembaga-lembaga hukum tergantung pada pembentukan lembaga baru sambil menghapus yang lama atau pemberian fungsi yang baru pada lembaga yang telah ada. Peningkatan kemampuan serta kewibawaan aparat hukum berarti mereka terdiri dari orang-orang yang terlatih dan merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya serta membuktikannya dalam pola-pola perikelakuannya, sehingga akan dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan hukum terhadapnya.

Terakhir perwujudan spirituil dari pembangunan hukum dapat dilakukan dengan penyuluhan atau pendidikan. Karena penyuluhan dan pendidikan hukum kepada warga masyarakat banyak menyangkut faktor pelembagaan dan pengendapan hukum di dalam masyarakat. Artinya dalam hal ini usaha-usaha terutama diarahkan pada efektifitas hukum dan evaluasi terhadap efektifitas dari hukum tersebut.

Pembangunan hukum sekaligus mengandung dua makna, yaitu usaha memperbaharui hukum positif sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir (modernisasi hukum) sekaligus sebagai usaha untuk memfungsional hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.[23]

Pembangunan hukum memiliki makna yang progresif sekaligus adaptif. Pembangunan bermakna progresif karena sifatnya yang selalu aktif memperbaharui hukum menuju ke arah yang diinginkan oleh masyarakat dan usahanya untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Sedangkan adaptif karena usahanya untuk untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir.[24]

Dalam konteks kebijakan pembangunan, pembangunan hukum dalam masyarakat yang multikultural harus dimaknai sebagai seperangkat kebijakan pemerintah yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.[25] Hal ini beralasan karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku dan bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa. 

Mempelajari kelompok-kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum, oleh karena hukum merupakan abstraksi daripada lnteraksi-interaksi sosial dinamis di dalam kelompok-kelompok tersebut. Interaksi-interaksi sosial yang dinamis tersebut lama kelamaan karena pengalaman, menjadi mlai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran bagian terbesar warga-warga masyarakat tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik di dalain pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian terbesar warga-warga masyarakat dan dianggap sebagai pedoman atau pendorong bagi tata kelakuannya. Nilai-nilai sosial yang abstrak tersebut mendapat bentuk yang konkret di dalam kaedah-kaedah yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.[26]

E.   Penutup

Peranan kelompok sosial dalam pembangunan hukum adalah kelompok sosial yang telah berkembang sejak lama dan dapat mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian terbesar warga-warga masyarakat, dapat membentuk pedoman atau pendorong bagi tata kelakuan masyarakat lainnya. Nilai-nilai sosial yang abstrak yang terbentuk tersebut mendapat bentuk yang konkret di dalam kaedah-kaedah interkasi kelompok sosial yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena, perwujudan dan perilaku antar anggota kelompok sosial memiliki kecenderungan yang dihasilkan berdasarkan pergaulannya pada kelompok sosial tersebut, untuk menyusun perbaikan hukum yang termasuk dalam kerangka pembangunan hukum diperlukan kelompok-kelompok sosial yang padu dan memiliki tujuan yang konkret dalam pembangunan hukum yang diarahkan dalam pembangunan secara struktuil dan spirituil.

Baca juga: Aliran Sosiologis Jurisprudensi Hukum Dalam Kaitannya Dengan Teori Hukum dan Pembangunan Hukum

­Daftar Pustaka

D, Soedjono, Pokok-Pokok Sosiologi Sebagai Penunjang Studi Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

MacLay, George R. The Social Organism: A Short History of the Idea That a Human Society May Be Regarded As a Gigantic Living Creature. North River Press. 1990

“Makluk Sosial”, https://id.wikipedia.org/wiki/Makhluk_sosial

Nurmansyah, Gunsu, dkk, Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Lampung: Aura Publisher. 2019,

Prabandani, Hendra Wahanu, “Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal,”  Bappenas, Edisi 01/Tahun XVII/2011.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan  Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalam di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Simorangkir, J.C.T., dkk., Kamus Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 106-107.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 1987.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Masalah-Masalah Sosiologi Hukum, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984.

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001

Sulfan dan Mahmud, A., “Konsep Masyarakat Menurut Murtadha Muthahhari (Sebuah Kajian Filsafat Sosial)”. Jurnal Ilmu Aqidah. 4 (2), 2018.


[1] MacLay, George R. The Social Organism: A Short History of the Idea That a Human Society May Be Regarded As a Gigantic Living Creature. North River Press. 1990.

[2] “Makluk Sosial”, https://id.wikipedia.org/wiki/Makhluk_sosial

[3] Wacana ini diangkat dari adanya fungsi hukum yang dikemukakan oleh R. Soeroso, dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal. 53, yakni “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”.

[4] Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-Masalah Sosiologi Hukum, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984, hal. 75.

[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 65.

[6] Sulfan dan Mahmud, A., “Konsep Masyarakat Menurut Murtadha Muthahhari (Sebuah Kajian Filsafat Sosial)”. Jurnal Ilmu Aqidah. 4 (2), 2018, hal. 273

[7] Soerjono Soekanto, dalam  Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari. Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Lampung: Aura Publisher. 2019, hal. 52-53.

[8] Soedjono, D., Pokok-Pokok Sosiologi Sebagai Penunjang Studi Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 36.

[9] Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 83.

[10] Ibid., hal. 83.

[11] Soedjono, D., op. cit., hal. 47.

[12] Ibid., hal. 47-48.

[13] Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 84.

[14] Soerdjono, D., op. cit., hal. 49.

[15] Ibid., hal. 50.

[16] J.C.T. Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 106-107.

[17] Soedjono, D., op. cit., hal. 63.

[18] Ibid.

[19] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hal. 23.

[20] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hal. 242-243.

[21] Pendapat ini dikemukakan oleh Purnadi Purbacaraka yang dikutip Soerjono Soekanto, Ibid., hal. 244.

[22] Ibid., hal. 245-246.

[23] Satjipto Rahardjo, Hukum dan  Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalam di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

[24] Alo Liliweri dalam Hendra Wahanu Prabandani, “Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal,”  Bappenas, Edisi 01/Tahun XVII/2011, hal. 32.

[25] Ibid., hal. 32.

[26] Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 84-85.