Tanggungjawab Notaris Dalam Pembuatan Berita Acara RUPS Perseroan Terbatas


Artikel ini memuat isi:

A. Latar Belakang

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang kedudukannya adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang menyatakan Rapat umum pemegang saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris.

Pasal 78 UUPT menyatakan, RUPS dapat diselenggarakan dengan dua macam, yaitu RUPS tahunan yang diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku, serta RUPS lainnya yang dapat diselenggarakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan.

Penyelenggaraan RUPS secara tahunan dan secara sewaktu-waktu pada prinsipnya yang berwenang menyelenggarakan adalah direksi, kecuali direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan, maka pemanggilan dilakukan oleh komisaris. Penyelenggaraan RUPS tersebut menurut Pasal 79 ayat (2) UUPT dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, atau Dewan Komisaris. Jadi prakarsa menyelenggarakan RUPS di sini datang dari pemegang saham. Bahkan menurut Pasal 80 ayat (2) UUPT bahwa dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu yang ditentukan maka pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

Ketentuan ini merupakan kontrol dari pemegang saham yang diberikan oleh undang-undang atas pengurusan dan pengawasan yang dilakukan oleh direksi dan komisaris melalui ketua pengadilan negeri yang berwenang memberi izin. Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan direksi dan atau komisaris untuk hadir dalam RUPS tersebut bahkan dapat juga menentukan bentuk, isi, dan jangka waktu pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada ketentuan undang-undang perseroan terbatas dan anggaran dasar.[1]

RUPS yang diselenggarakan oleh suatu perseroan merupakan organ yang sangat penting dalam mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan perseroan, sehingga sesuai dengan Pasal 77 ayat (4) UUPT setiap penyelenggaraan RUPS harus dibuatkan risalah rapat (pernyataan keputusan rapat) yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Dalam prakteknya RUPS dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat dihadapan notaris. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.

Pada dasarnya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkandung maksud tertentu yaitu mengharapkan terjadinya suatu akibat hukum yang dikehendaki. Dahulu orang dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya mempercayai berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana orang (pihak-pihak) biasanya lebih cenderung melakukan perbuatan hukum tersebut dengan merealisasikannya dalam bentuk perjanjian secara tertulis atau lebih dikenal dengan sebutan akta otentik.[2]

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan pada pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui, atau tidak menyetujui isi Akta Otentik yang akan ditandatanganinya.[3]

Dalam suatu rapat umum pemegang saham perseroan dapat terjadi konflik, seperti: dalam bentuk kourum yang tidak memenuhi jumlah suara yang ditentukan, notulen rapat yang yang diperhadapkan tidak sesuai dengan anggaran dasar, serta keabsahan notulen rapat di bawah tangan yang sering direkayasa, daftar hadir yang tidak sesuai. Maka pembuatan akta Berita Acara RUPS tidak langsung dapat disahkan oleh Notaris, sehingga harus menunda selama 14 belas hari (2 minggu) ke depan. Dalam hal ini Notaris tetap membuat berita acara rapat yang isinya adalah sama dengan apa yang dihadapinya saat itu yaitu kegagalan rapat mengambil keputusan sesuai acara rapat perseroan terbatas tersebut

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mempunyai tanggung jawab atas kebenaran isi berita acara rapat yang dibuatnya dan menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para pemegang saham sendiri ataupun kepada pihak ketiga demi kelanjutan perseroan terbatas tersebut tanpa berpihak kepada siapapun dalam penyelenggaraan RUPS.

B.  Potensi Konflik Yang Timbul dalam Pembuatan Berita Acara RUPS

Sebagaimana ditentukan dalam UUPT bahwa  Rapat umum pemegang saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris (Pasal 1 butir 4). Dalam setiap penyelenggaraan RUPS harus dibuatkan Berita Acara RUPS yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta (Pasal 77 ayat (4)). 

Dalam prakteknya Berita Acara RUPS dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, mengingat Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh para pihak yang membuat akta.

Notaris dalam pembuatan Berita Acara RUPS tidak jarang berita acara rapat tersebut tidak segera dapat dilaksanakan, karena terjadi konflik kepentingan di antara organ perseroan tersebut. Benturan kepentingan merupakan perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi organ perseroan. Adapun konflik yang sering ditemui dalam penyelenggaraan RUPS di antaranya:

Tidak dipenuhi kourum, sehingga setiap berita acara rapat umum pemegang saham perseroan, maka terlebih dahulu diteliti anggaran dasar dan perubahan terakhir anggaran dasar untuk mengetahui: orang-orang yang mempunyai wewenang untuk menghadiri rapat umum pemegang saham sehingga memenuhi persyaratan korum, melihat cacat/tidak berita acara rapat tersebut, sehingga jika terdapat kesalahan dalam notulen rapat, maka dapat menolak untuk Berita Acara RUPS tersebut.

Anggaran dasar suatu perseroan merupakan hukum positif bagi perseroan, dan apabila dilanggar akan mengakibatkan transaksi yang dibuat menjadi batal. Dalam hal pengaturan mengenai perseroan terbatas dalam perundang-undangan masih belum sempurna maka hal-hal lain yang belum cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan, dibenarkan kepada perseroan untuk mengatur sendiri anggaran dasarnya hal-hal yang masih dianggap perlu, namun tidak hal-hal yang diatur tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain bahwa hal-hal yang diatur dalam anggaran dasar perseroan terdapat suatu keleluasaan bagi perseroan untuk menetapkan hal-hal yang dianggap perlu dan yang belum diatur dalam peraturan yang ada. Oleh karena itu, dalam menyusun akta pendirian atau anggaran dasar perseroan, harus benar-benar dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga hal-hal yang dianggap mendasar dapat dituangkan secara jelas dan lengkap dalam anggaran dasar perseroan.

Dalam prakteknya apabila hendak mendirikan sebuah perseroan para pendiri cukup menguraikan keinginannya kepada notaris, dan selanjutnya notarislah yang akan merumuskan atau memfokuskan semua keinginannya dan kemudian dituangkan dalam akta. Sehubungan dengan hal ini, biasanya notaris telah menyiapkan suatu konsep yang sebahagian sudah baku dan kemudian ditambah serta diubah sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi, baik mengenai hal-hal khusus yang merupakan kehendak para pendiri yang juga ingin dimasukkan di dalam anggaran dasar perseroan. Hal-hal yang dikehendaki oleh para pendiri yang masih dimungkinkan atau sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian dirumuskan oleh notaris suatu naskah yang secara hukum adalah benar dan salah. Sehingga dalam setiap RUPS keberadaan anggaran dasar menjadi sangat penting.

Kemudian mengingat ketentuan Pasal 86 UUPT bahwa RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kourum yang lebih besar. Dengan kata lain penyimpangan atas ketentuan ini hanya dimungkinkan dalam hal yang ditentukan undang-undang, maka anggaran dasar tidak boleh menentukan kuorum yang lebih kecil daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam hal kuorum RUPS pertama tidak tercapai, rapat harus tetapi dibuka dan kemudian ditutup dengan membuat notulen rapat yang menerangkan bahwa RUPS pertama tidak dapat dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dapat diadakan pemanggilan RUPS yang kedua.

Notulen rapat dibawahtangan yang direkayasa. Selanjutnya konflik yang dapat terjadi dalam pembuatan Berita Acara RUPS yang dihadapkan kepada notaris yaitu keabsahan notulen rapat dibawahtangan yang sering direkayasa, yang terlihat dari daftar hadir yang tidak sesuai.

Memang untuk Berita Acara Rapat tidak menjadi masalah kalau orang-orang yang hadir itu menolak untuk menandatangani akta itu. Apabila pada pembuatan akta tersebut pada pemegang saham telah meningggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup Notaris menerangkan di dalam akta, bahwa para oihak yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan dalam hal ini tetap merupakan akta otentik.

Pembedaan yang dimaksud di atas penting, dalam kaitannya dengan pemberian pembuktian sebaliknya terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran isi dari akta berita acara rapat tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu. Pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh akan kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan ada diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta itu, akan tetapi keterangan itu adalah tidak benar. Artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya.

Yang wajib menghadap dan menandatangani minuta akta Berita Acara Rapat di hadapan Notaris adalah penerima kuasa/yang ditunjuk secara tegas di dalam notulen rapat yang disampaikan kepada Notaris untuk membuat akta Berita Acara Rapat. Jadi salah satu hasil keputusan rapat yang tertuang dalam notulen rapat internal/dibawahtangan tersebut adalah penunjukan/pemberian kuasa kepada salah seorang peserta rapat untuk menghadap Notaris membuat akta berita acara rapat dan sekaligus memohon pengesahan atau melaporkan hasil rapat kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas.

C.  Upaya Notaris Mengatasi Konflik dalam Pembuatan Berita Acara RUPS

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam dalam suatu RUPS perseroan terbatas dapat terjadi konflik,  sehingga Notaris yang diberi kewenangan dalam mengesahkan akta berita acara rapat tersebut mendapat kendala,  dalam bentuk kourum yang tidak memenuhi jumlah suara yang ditentukan, notulen rapat yang yang diperhadapkan tidak sesuai dengan anggaran dasar, serta keabsahan notulen rapat di bawah tangan yang sering direkayasa, daftar hadir yang tidak sesuai. Maka pembuatan akta berita acara rapat pemegang saham tidak langsung dapat disahkan oleh Notaris (tertunda).

Pada dasarnya kedudukan notaris dalam pembuatan akta berita acara rapat dapat dilihat dari pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni:[4]

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijsracht)

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan; akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat diangap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.

Lain halnya dengan akta otentik. Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa Latin: “acta publica probant sese ipsa”. Apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.[5]

Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian lahiriah ini, yang merupakan pembuktian lengkap –dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya—maka “akta partij” dan “akta pejabat” dalam hal in adalah sama. Sesuatu akta yang dari luar kelihatannya sebagai akta otentik, berlaku sebagai akta otentik terhadap setiap orang; tanda tangan dari pejabat yang bersangkutan (notaris) diterima sebagai sah. Pembuktian sebaliknya, artinya bukti bahwa tanda tangan itu tidak sah, hanya dapat diadakan melalui “valsheidsprocedure” menurut Pasal 148 dan seterusnya KUH Perdata, di mana hanya diperkenankan pembuktian dengan surat-surat (bescheiden), saksi-saksi (getuigen) dan ahli-ahli (deskundigen). Jadi dalam hal ini (yakni pembuktian sebaliknya terhadap kekuatan pembuktian lahiriah melalui “valsheidsprocedure”), yang menjadi persoalan bukan isi dari akta itu ataupun wewenang dari pejabat itu, akan tetapi semata-mata mengenai tanda tangan dari pejabat itu. Siapa yang tidak menggugat sahnya tanda tangan dari pejabat itu, akan tetapi menggugat kompetensinya (misalnya yang membuat itu bukan notaris atau membuat akta itu di luar daerah jabatannya), bukan menuduh akta itu palsu, sehingga dalam hal ini tidak dapat ditempuh cara “valscheidsprocedure”.[6]

Seperti dikatakan di atas, kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta yang dibuat di bawah tangan. Sepanjang mengenai pembuktian hal ini merupakan satu-satunya perbedaan antara akta otentik dan akta yang dibuat di bawah tangan. Kalaupun ada perbedaan-perbedaan lain yang membedakan akta otentik dari akta yang dibuat di bawah tangan, seperti misalnya memiliki kekuatan eksekutorial, keharusan berupa akta otentik untuk beberapa perbuatan hukum tertentu dan lain-lain perbedaan, semuanya itu tidak mempunyai hubungan dengan hukum pembuktian.

Sebagian terbesar dari para penulis menerima adanya kekuatan pembuktian lahiriah ini bagi akta-akta otentik.

2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan ini, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dikabulkan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya.

Pada akta yang dibuat di bawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan itu diakui oleh yang menanda tanganinya atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum.

Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat di mana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri (demikian menurut pendapat yang umum –heersende leer).[7]

Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini –juga dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya—yang merupakan pembuktian lengkap, maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan akta itu ataupun keterangan dari para pihak dalam akta, baik yang ada di dalam akta partij maupun di dalam akta pejabat, mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang, yakni apa yang ada, dan terdapat di atas tanda tangan mereka. Pembuktian sebaliknya terhadap kekuatan pembuktian formal ini juga berlaku pembatasan mengenai “valsheidsprocedure”. Siapa yang menyatakan bahwa akta itu membuat keterangan yang kelihatannya tidak berasal dari notaris itu, berarti menuduh bahwa terjadi pemalsuan dalam materi dari akta itu (materieel geknoel), misalnya adanya perkataan-perkataan yang dihapus atau diganti dengan yang lain ataupun ditambahkan. Hal ini berarti menuduh keterangan dari pejabat itu palsu (materiele valsheid) dan untuk itu harus ditempuh “valsheidsprocedure” (Pasal 148 sub 3 KUA Perdata).

Dalam pada itu siapa menuduh bahwa akta itu memuat “keterangannya” (pertijverklaring) yang tidak ada diberikannya, maka dalam hal itu ada dua kemungkinan. Pertama ia dapat langsung untuk tidak mengakui, bahwa tanda tangan yang terdapat di bagian bawah dari akta itu adalah tanda tangannya; ia dapat mengatakan, bahwa tanda tangan yang kelihatannya itu sebagai dibubuhkan olehnya, adalah dibubuhkan oleh orang lain dan karenanya dalam hal ini ada pemalsuan dan pemalsuan ini ia boleh membuktinya melalui “valsheidprocedure” (Pasal 148 KUH Perdata), Kedua ia dapat mengatakan, bahwa notaris melakukan kekhilafan/kesalahan (ten onrechte) dengan menyatakan dalam akta itu, bahwa tanda tangan itu adalah tanda tangan yang berasal daripadanya; dalam hal ini ia tidak menuduh tanda tangan itu palsu, akan tetapi menuduh, bahwa keterangan dari notaris itu adalah tidak benar (intelectuele valsheid), suatu pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan “valsheidsprocedure”, di dalam hal ini tidak ada pemalsuan (geknoei), melainkan suatu kekhilafan, yang mungkin tidak disengaja, sehingga dalam hal ini tuduhan itu bukan terhadap kekuatan pembuktian formal, akan tetapi terhadap kekuatan pembuktian material dari keterangan notaris itu, untuk pembuktian dari yang terakhir mana dapat dipergunakan segala alat pembuktian yang diperkenankan menurut hukum.

3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan keterangan dari notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan “preuve preconstituee”; akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 KUH Perdata; antara para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu.

Dalam berbagai arrest dari H.R (Hoge Raad) diakui tentang kekuatan pembuktian material itu. Dalam arrestnya tanggal 19 Desember 1921 (N.J. 1922, 272, W. 10862) H.R. memutuskan dalam suatu perkara pemalsuan (valsheidsprocedure), bahwa akta notaris mengenai jual beli adalah untuk membuktikan dan memang membuktikan, berdasarkan pasal 1907 N. Bw. (Pasal 1870 KUH Perdata), tidak hanya bahwa apra pihak ada menerangkan sesuatu mengenai itu di hadapan notaris, akan tetapi juga membuktikan bahwa para pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat dalam akta itu, jadi dengan demikian telah mengadakan perjanjian itu, sehingga akta itu juga adalah untuk membuktikan tentang harga penjualan dan pembelian dan kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak mengenai itu.[8]

Dalam perkara yang serupa itu juga H.R. memutuskan dalam arrestnya tanggal 26 Nopember 1934 (N.J. 1934, 1608; W. 12839) bahwa keterangan yang terdapat dalam akta pendirian perseroan terbatas mengenai jumlah yang telah disetor, dengan tidak dapat disangsikan merupakan kenyataan, terhadap mana akta itu mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap, terhadap mana akta dapat dikatakan diperuntukkan untuk menyatakan kebenaran dari kenyataan itu.

Karena akta itu, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah di antara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka, dengan pengertian:

  1. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu;
  2. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang.

Di atas dikatakan, bahwa suatu akta otentik, apabila dipergunakan di muka pengadilan, adalah cukup dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu. Walaupun pada umumnya dianut yang dinamakan “vrije bewijstheorie”, yang berarti bahwa kesaksian para saksi misalnya tidak mengikat hakim pada alat bukti itu, akan tetapi lain halnya dengan akta otentik, di mana undang-undang mengikat hakim pada alat bukti itu. Sebab jika tidak demikian, apa gunanya undang-undang menunjuk para pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti, jika hakim begitu saja dapat mengenyampingkannya.[9]

Dalam hal berita acara rapat tersebut orang dapat mengemukakan pendapat, bahwa sulit untuk mengatakan adanya pembuatan akta secara palsu (valselijk opgemaakt), oleh karena akta notaris hanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa ada diberikan sesuatu keterangan dan bukan juga dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan itu, dengan perkataan lain, akta itu dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk membuktikan sesuatu yang lain daripada keterangan dari para pihak (Pasal 263 ayat 1). Demikian halnya dalam akta berita acara rapat umum pemegang saham.

Dengan demikian, berdasarkan kekuatan pembuktian lahiriah, pembuktian formal dan pembuktian material sebagaimana dijelaskan diatas, terlihat bahwa memang notaris terlindungi penuntutan dari akta berita acara rapat yang disahkannya. Namun demikian, hal ini merupakan konsekuensi dari kewajiban Notaris itu dalam pembuatan akta berita acara rapat itu. Dengan kata lain setiap Notaris harus berupaya menyelesaikan konflik yang ditemui dalam pembuatan berita acara rapat. Di mana dalam hal terjadinya konflik saat rapat umum pemegang saham, maka Notaris berupaya memberikan solusi yang mudah dapat ditempuh, dengan melakukan penundaan rapat umum pemegang saham tersebut untuk 14 belas hari (2 minggu) ke depan, mencari sumber konflik agar dapat menyelesaikan perdamaian, atau jika sangat perlu menghadirkan orang-orang yang disegani atau oleh pihak atau badan arbitrase pengacara tersebut, walaupun pada dasarnya Notaris bukanlah pelaku rapat hanya pembuat akta dari apa yang dibicarakan dalam rapat itu.

Karena Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan masing-masing pihak dalam rapat umum pemegang saham dan inti tugas notaris adalah mengatur secara mufakat para pihak yang di dalam rapat tersebut. Sehingga Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang:mempunyai integritas moral yang mantap, harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual), sadar akan batas-batas kewenangannya, serta tidak semata-mata berdasarkan uang.

Dalam menjalankan tugas profesinya, Notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan. Notaris harus jujur tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya dalam pembuatan berita acara rapat tersebut. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris.

Notaris harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional apabila seorang notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta berita acara rapat dari perseroan tersebut akan kehilangan daya autentiknya.

Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan imbalan jasa, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan itu. Notaris harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, artinya tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan dalam pembuatan berita acara rapat.

Sehingga, dalam menjalankan tugasnya Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris, yang telah menetapkan kaidah yang harus dipegang oleh notaris, selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004.

Dalam kode etik jabatan notaris kepribadian notaris dijabarkan dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. Memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional, terutama sekali dalam bidang hukum. Berkepribadian dan baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan notaris, baik di dalam maupun di luar tugas jabatannya.

Dalam menjalankan tugas, notaris harus menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Hubungan notaris dengan klien harus berlandaskan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya, memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya. Selain itu Notaris dengan sesama rekan notaris haruslah hormat-menghormati dalam suasana kekeluargaan, tidak melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama, serta saling menjaga dan membela kehormatan dan korps notaris atau dasar solidaritas dan sifat tolong-menolong secara konstruktif.

Notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa berpedoman kepada kode etik profesi sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM R.I, bahwa masih ada resistensi dari suatu instansi pemerintah dalam pelaksanaannya, oleh karena itu perlu disampaikan di sini bahwa undang-undang adalah berlaku untuk semua warga negara dan pemerintah. Semua warga negara dan instansi pemerintah atau bahkan semua institusi yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tunduk dan patuh kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk harus tunduk dan patuh kepada semua materi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pra Kongres ini mengusung topik “Melalui Implementasi Undang-undang Tentang Jabatan Notaris Pada Era Reformasi, Kita Tingkatkan Pelayanan Kepada Masyarakat”. Topik ini sangat pantas dan sesuai dengan tantangan kebutuhan masyarakat saat ini karena Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi pejabat umum yang profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas, baik kualitas ilmu, kualitas amal, maupun kualitas moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran martabat Notaris, sehingga dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat senantiasa berpedoman kepada kode etik profesi dan berdasarkan Undang-undang tentang Jabatan Notaris, yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.[10] 

Menteri Hukum dan HAM juga berharap kepada Organisasi Ikatan Notaris Indonesia dapat menjadi organisasi yang semakin solid, dengan melakukan konsolidasi dan menegakkan Kode Etik Notaris dalam upaya pembinaan terhadap anggota-anggotanya, sehingga dapat senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat,[11] demikian halnya dalam pembuatan berita acara rapat umum pemegang saham perseroan terbatas.

D.  Tanggungjawab Notaris dalam Pembuatan Berita Acara RUPS

Pasal 7 ayat (1) UUPT menyatakan “Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”. Sejalan dengan itu dalam Pasal 1 Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dinyatakan, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut.

Ketentuan itu menegaskan bahwa otentisitas akta Notaris mempunyai peran yang cukup sentral di dalam bidang hukum perusahaan. Peran Notaris tersebut mulai terlihat pada proses pendirian Perseroan Terbatas dalam pembuatan akta pendirian perseroan sampai dengan proses permohonan pengesahan badan hukum perseroan terbatas kepada Menteri Hukum dan HAM, bahkan hingga proses pembubaran perseroan terbatas.

Dengan demikian yang memberikan roh kehidupan pada suatu perseroan terbatas adalah Notaris, sedangkan Menteri Hukum dan HAM adalah lembaga negara penentu status badan hukum perseroan terbatas yang didirikan tersebut. Setelah perseroan terbatas diberi roh kehidupan oleh Notaris, statusnya baru sebatas subyek hukum, sedangkan kemandirian tanggung jawab hukum sama sekali belum ada. Kemandirian tanggung jawab hukum baru diperoleh ketika disahkan oleh Menteri.[12]

Dalam suatu perseroan terbatas sesuai Pasal 1 butir 4 dan Pasal 75 UUPT dinyatakan, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ PT yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. RUPS mempunyai segala kewenangan yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan atau Anggaran Dasar.

Dalam setiap pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham wajib dibuat akta risalah RUPS, beserta hal-hal yang diputuskan oleh RUPS. Isi dan bentuk akta risalah harus bisa menggambarkan jalannya acara pelaksanaan RUPS. Hal ini dikarenakan akta tersebut bersifat verbal akta atau dinamakan akta berita acara RUPS. Artinya jenis akta yang dibuat oleh Notaris berisi gambaran suatu kejadian yang disaksikan oleh Notaris.[13]

Notaris yang dihadirkan di dalam forum RUPS oleh pemegang saham bertugas untuk membuat Berita Acara RUPS dalam kedudukannya sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UUJN bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat  akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Menurut Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecuali kepada pejabat atau orang lain.

Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum dan alat pembuktian. Walaupun mempunyai bermacam-macam fungsi, akan tetapi fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah sebagai alat pembuktian. Juga dapat diketahui bahwa suatu akta itu dapat merupakan beberapa fungsi yang tergabung menjadi satu di dalamnya, yaitu satu akta di samping menyatakan adanya suatu perbuatan hukum juga sekaligus mempunyai fungsi sebagai alat pembuktian dan sebaliknya.[14]

Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal 1681, 1682, 1683 KUH Perdata (tentang cara menghibahkan), Pasal 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk akta otentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam pasal-pasal 1610 KUH Perdata (tentang pemborongan kerja), 1776 KUH Perdata (tentang meminjamkan uang dengan bunga), 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi akta di sini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.

Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 150 KUH Perdata (tentang perjanjian kawin) dan pasal 258 KUH Dagang (tentang asuransi). Jadi di sini akta memang dengan sengaja sejak semula adanya itu dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari.

Menurut Pasal 165 HIR/285 RBg akta otentik ialah suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga segala hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok  yang disebut dalam akta itu.

UUJN memberikan hak istimewa kepada Notaris sebagai Pejabat Umum yang khusus atau satu-satunya berwenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. Semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dengan demikian terlihat bahwa Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam pembuatan akta otentik yang bukan kewenangan pejabat lain, demikian juga halnya dalam pembuatan Berita Acara RUPS dari suatu perseroan terbatas. Namun demikian dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris tetap mempunyai batasan wilayah jabatannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 17 UUJN bahwa notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya.

Sebagai pejabat umum, maka Berita Acara RUPS yang dibuat Notaris itu harus mempunyai kekuatan pembuktian otentik. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta notaris itu, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui, atau tidak menyetujui isi akta otentik yang akan ditandatanganinya.

Sebagai pejabat umum, maka Berita Acara RUPS yang dibuat Notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian otentik dengan sendirinya meski para pemegang saham yang hadir dalam rapat tidak menandatanganinya. Namun, hal itu tidak berarti bahwa para pemegang saham yang telah hadir dalam rapat mutlak tidak perlu menandatangani Akta Pernyataan Keputusan RUPS yang dibuat oleh Notaris. Penandatangan Berita Acara RUPS tetap perlu, kecuali ada alasan-alasan tertentu yang menyebabkan para pemegang saham tidak dapat menandatangani Berita Acara RUPS tersebut. Akan tetapi, alasan-alasan tersebut tetap harus dijelaskan oleh Notaris di dalam Berita Acara RUPS, dan hal itu tidak berarti mengurangi otentisitas Akta Berita Acara RUPS.

Memang undang-undang mengharuskan bahwa akta-akta partij, dengan diancam akan kehilangan otentisitasnya atau dikenakan denda, harus ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan atau setidak-tidaknya di dalam akta itu diterangkan apa yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya, dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tanda tangan (surrogaat tanda tangan). Dengan demikian untuk akta partij penanda tanganan oleh para pihak merupakan suatu keharusan (Pasal 18 Peraturan Jabatan Notaris).[15]

Sedangkan untuk akta relaas tidak menjadi soal, apakah orang-orang yang hadir itu menolak untuk menandatangani akta itu. Apabila misalnya pada pembuatan Berita Acara RUPS dalam perseroan terbatas orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup notaris menerangkan di dalam akta, bahwa para yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik.[16]

Pembebadaan yang dimaksud di atas, dalam kaitannya dengan pemberian pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran isi dari akta pejabat (ambtelijke akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu. Pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh akan kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan ada diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta itu, akan tetapi keterangan itu adalah tidak benar. Artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenakan pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).[17]

Kekuatan pembuktian akta otentik, dengan demikian juga akta notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada Notaris. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada Notaris itu dan pemberian kekuatan pembuktian  pada akta-akta yang mereka buat. Sebab jika tidak demikian untuk apa menegaskan kepada mereka untuk “memberi keterangan dari semua apa yang mereka saksikan di dalam menjalankan jabatan mereka” atau untuk “merelatir secara otentik semua apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris, dengan permintaan agar keterangan-keterangan mereka itu dicantumkan dalam suatu akta” dan menugaskan para Notaris untuk membuat akta mengenai itu.[18] Demikian halnya dalam Berita Acara RUPS.

Notaris berwenang dan wajib memeriksa notulen rapat umum pemegang saham, tentang kesesuaian tata cara mengadakan rapat tersebut sesuai dengan undang-undang perseroan, apabila notulen rapat tersebut ternyata tidak memenuhi ketentuan dalam anggaran dasar perseroan dan undang-undang, maka notaris berhak untuk menolak pembuatan berita acara rapat. Notaris bertanggung jawab sebatas tentang adanya notulen rapat dan penghadap yang memohon dibuat akta berita acara rapat tersebut. Sedangkan hasil keputusan rapat tersebut adalah tanggung jawab si penghadap sendiri.

Dengan kekuatan pembuktian formal oleh akta otentik dibuktikan, bahwa Notaris yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan ini, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh Notaris dalam akta itu sebagai yang dikabulkan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal, sepanjang mengenai Akta Berita Acara RUPS, akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum di dalam RUPS dalam menjalankan jabatannya.

UUJN mengatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga Akta Berita Acara  RUPS sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris harus mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para pemegang saham sendiri ataupun kepada pihak ketiga dari perseroan terbatas tersebut. Karena kedudukan akta Berita Acara RUPS sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, sehingga apa yang dinyatakan dalam Akta Berita Acara RUPS yang dibuat di hadapan Notaris tersebut harus diterima. Namun Notaris harus bertanggung jawab dalam hal adanya pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Sebagaimana amanat dari Pasal 16 ayat (1) UUJN yang menyatakan dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

E.  Penutup

Dalam suatu rapat umum pemegang saham perseroan dapat terjadi konflik, seperti: tidak ada kata sepakat dalam rapat, penerima kuasa dalam notulen rapat tidak sesuai dengan anggaran dasar (dilarang sebagai penerima kuasa), keabsahan notulen rapat dibawah tangan sering direkayasa, serta daftar hadir yang tidak sesuai, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak mendapat suara yang sama, oleh karenanya Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum pembuat akta dalam rapat harus mengatasi hal ini dengan memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak, pertimbangan-pertimbangan hukum, jalan keluar yang dapat ditempuh, musyawarah kembali. Apabila upaya ini ternyata gagal, maka notaris tidak wajib melanjutkan rapat tersebut, dan pimpinan rapat (direktur utama) harus menutup rapat karena konflik tidak dapat dihentikan. Namun demikian, Notaris tetap membuat berita acara rapat yang isinya adalah sama dengan apa yang dihadapinya saat itu yaitu kegagalan rapat mengambil keputusan sesuai acara rapat perseroan terbatas tersebut. Notaris dalam hal terjadinya konflik saat rapat harus memberikan solusi yang mudah dapat ditempuh, dengan melakukan penundaan rapat umum pemegang saham tersebut untuk 14 belas hari (2 minggu) ke depan sesuai ketentuan peraturan perundangan, dan berupaya mencari sumber konflik agar dapat menyelesaikan perdamaian, atau jika sangat perlu menghadirkan orang-orang yang disegani atau oleh pihak atau badan arbitrase pengacara dan sebagainya. Notaris bukanlah pelaku rapat, notaris hanya pembuat akta berita acara rapat dari apa yang dibicarakan dalam rapat itu. Notaris dalam pembuatan Akta Berita Acara RUPS mempunyai tanggungjawab atas kebenaran isi berita acara rapat yang dibuat dan menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para pemegang saham sendiri ataupun kepada pihak ketiga demi kelanjutan perseroan terbatas tersebut tanpa berpihak kepada siapapun.

Daftar Pustaka

Amanat, Anisitus, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas, 1995 dan Penerapannya Dalam Akta Notaris, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996).

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).

Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1984).

Lumbantobing, G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983).

Sambutan Menteri Hukum dan HAM yang dibacakan oleh Drs. Hasanuddin, Bc.IP, SH, Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, pada acara pembukaan Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Rasyid, H. Rustam Effendi, Notaris dan Akta, Bahan Diktat Kuliah, tt.

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992).

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).


[1] Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 59.

[2] Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1984), hal. 42.

[3] Lihat penjelasan umum UUJN.

[4] Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 55-63

[5] G.H.S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 55.

[6] Ibid., hal. 55

[7] Ibid., hal. 57

[8] Ibid., hal. 60.

[9] Ibid., hal. 60-61.

[10] Sambutan Menteri Hukum dan HAM yang dibacakan oleh Drs. Hasanuddin, Bc.IP, SH, Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, pada acara pembukaan Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan.

[11] Ibid.

[12] Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas, 1995 dan Penerapannya Dalam Akta Notaris, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hal. 172.

[13] H. Rustam Effendi Rasyid, Notaris dan Akta, Bahan Diktat Kuliah, tt., hal. 11. mengatakan, akta relaas: akta yang dibuat Notaris sebagai pejabat umum, yang menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris antara lain: berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel.

[14] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 46-47

[15] G.H.S. Lumbantobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 52.

[16] Ibid., hal. 53

[17] Ibid., hal. 53.

[18] Ibid., hal. 54