Kesadaran Hukum dan Fungsi Hukum Dalam Masyarakat


A. Pendahuluan

Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau rechtsbewustzijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum seringkali dikaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum, efektivitas hukum.

Kutchinsky mengemukakan suatu gambaran tentang keterkaitan tentang keterkaitan antara aturan-aturan hukum dengan pola perilaku dalam kaitannya dengan fungsi hukum dalam masyarakat. Perhatian mengenai Masalah-masalah yang berkaitan dengan kesadaran hukum, telah dimulai sejak lama, walaupun perhatian-perhatian tersebut telah lama ada, akan tetapi penelitian terhadap Masalah kesadaran hukum merupakan suatu usaha ilmiah yang relatif baru. Perkembangan selanjutnya tentang masalah kesadaran hukum terutama dilakukan di beberapa negara Eropa, berkaitan dengan tokoh-tokoh seperti A. Podgorecki (Polandia), P. Vinke (Belanda). dan juga B. Kutchinsky (Denmark).

Di dalam ilmu hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dengan kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai masyarakat tentang fungsi hukum dan bukan terhadap kejadian-kejadian yang kongkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila demikian, kesadaran hukum menekankan tentang fungsi apa yang dikehendakinya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa persoalannya disini kembali kepada masalah dasar dan validitas hukum yang berlaku, yang harus dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat. Kesadaran hukum seringkali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum dianggap variabel bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variabel tergantung.

Selain itu kesadaran hukum dapat merupakan variabel antara, yang terletak antara hukum dan dengan prilaku manusia yang nyata. Prilaku yang nyata terwujud dalam ketaatan hukum, Namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanyalah diperoleh, apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan, oleh karena kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kesadaran hukum di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dengan maksud untuk dapat menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengannya.[1]

Masalah kesadaran hukum, termasuk pula di dalam ruang lingkup persoalan hukum dan nilai-nilai sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul, adalah mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang dasar keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari pada dipatuhinya hukum tersebut.

B. Faktor-faktor Penyebab Masyarakat Mematuhi Hukum

Sosiologi hukum adalah disiplin yang masih baru di Indonesia. Baru pada tahun 60-an perlahan-lahan mencoba menemukan sudutnya sendiri dalam dunia akademis di negeri ini. Kehadiran sosiologi hukum di Indonesia memperkaya pemahaman masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang lazim disebut pemahaman hukum secara normatif. Berbeda dengan pemahaman hukum secara normatif, maka sosiologi hukum terutama sekali adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya.

Salah satu bentuk dari sosiologi hukum adalah tentang kesadaran hukum bagi masyarakat. Suatu konsepsi lain yang erat kaitannya dengan kesadaran hukum atau yang mencakup kesadaran hukum, adalah konsepsi mengenai kebudayaan hukum (legal culture). Konsepsi ini secara relatif baru dikembangkan, dan salah satu kegunaannya adalah untuk dapat mengetahui prihal nilai-nilai terhadap prosedur hukum maupun substansinya.[2] Apabila ajaran-ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan konsepsi kebudayaan hukum, konsepsi kebudayaan hukum lebih luas ruang lingkupnya. Hal ini disebabkan hukum terdapat di dalam setiap masyarakat manusia, betapa pun sederhana dan kecilnya masyarakat tersebut.

Tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, dapat dikemukan sebagai berikut:

Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan-harapan akan suatu imbalan dan suatu usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan atau apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan satu kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukuman akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.

Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada buruk baiknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses idetifikasi terhadapnya berjalan terus, dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai obyek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi. Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan menerima nilai-nilai penegak hukum.

Internalization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan, atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsil. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dan kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.

Di antara Keempat faktor tersebut di atas, dapat berdiri sendiri-sendiri, dapat pula merupakan gabungan dari keseluruhan atau sebagian dari keempat faktor di atas. Jadi seseorang mematuhi hukum dapat dikarenakan ia takut sanksi yang dikenakan apabila ia melanggar hukum. Atau mungkin juga seseorang mematuhi hukum karena kepentingan-kepentingannya terjamin oleh hukum, bahkan ia mungkin mematuhi hukum karena ia merasa mematuhi hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya.

Masalah kepatuhan hukum atau ketaatan terhadap hukum merupakan satu unsur saja dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran hukum. Dari berbagai arti hukum, salah satu diantaranya, hukum diartikan sebagai jaringan nilai-nilai yang merupakan refleksi dari suatu masyarakat. Masalah nilai-nilai dalam hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum. Hal itu dikarenakan kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki atau yang seharusnya ada.

Kesadaran hukum diartikan sebagai persepsi hukum individu atau masyarakat terhadap hukum. Persepsi itu mungkin sama mungkin juga tidak dengan hukum yang berlaku. Hukum dalam arti disini menunjuk pada hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan. Dengan demikian hukum disini meliputi baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat.

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:

  1. Pengetahuan hukum
  2. Pemahaman hukum
  3. Sikap hukum, dan
  4. Pola prilaku hukum.[3]

Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, seta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.

Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan yang tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.[4]

­Bila dianggap bahwa hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai. Jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila indikator-indikator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya terendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah.

Apabila dipandang secara sempit, konsepsi kesadanan hukum seakan mensyaratkan terdapatnya peraturan-peraturan hukum terlebih dahulu sebelum kesadaran hukum timbul. Pemikiran tersebut tentu tidak salah apabila memang suatu peraturan memang ada sebelumnya. Dalam sudut pandang yang lebih luas, konsepsi ini dapat diterapkan dari dua titik pusat. Apabila titik pusat dari kesadaran hukum adalah peratuan-peraturan hukum, melalui konsepsi ini dapat dilihat sampai sejauhmana efektivitas peraturan-peraturan hukum tersebut dalam masyarakat, sementara bila titik pusat kesadaran hukum adalah fakta-fakta sosial melalui konsepsi ini dapat dilihat proses pembentukan hukum dan fakta-fakta sosial tersebut.

C. Peranan Kesadaran Hukum dalam Pembentukan Hukum

Pembangunan di berbagai sektor yang sedang dilakukan di Indonesia mengakibatkan berbagai konsekuensi, salah satu diantaranya adalah di bidang hukum. Berkaitan dengan itu, peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut berlangsung secara tertib dan teratur, sehingga tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat atau produk-produk hukum yang mampu menunjukkan pembangunan.

Berbicara mengenai fungsi hukum dalam pembangunan, hal ini berarti hukum, di satu segi, harus mampu menciptakan pola prilaku masyarakat sehingga mampu mendukung keberhasilan pembangunan yang sedang dilaksanakan juga mampu memelihara dan menjaga pembangunan yang telah dilaksanakan.[5] Disamping itu, pembentukan hukum harus pula memperhatikan kesadaran hukum rakyat agar hukum yang dibentuk dapat berlaku efektif.

Di sisi lain, kesadaran hukum seringkali dikaitkan dengan efektivitas hukum. Dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis yaitu: kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.

Kesadaran hukum masyarakat bukanlah suatu hal yang statis, melainkan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sebagai akibat terjadinya berbagai perubahan di berbagai bidang. Oleh karena itu, para pembentuk hukum harus tanggap terhadap perkembangan kesadaran hukum masyarakat, sehingga tercipta berbagai produk hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Suatu hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa tidak setiap pembentukan hukum harus selalu didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat. Hal itu disebabkan karena kadangkala kesadaran hukum yang terdapat dalam masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan atau kondisi pada suatu saat tertentu, terutama bila dikaitkan dengan tahapan-tahapan pembangunan. Adakalanya kesadaran hukum masyarakat perlu diubah agar kesadaran masyarakat itu sesuai dengan kondisi yang diperlukan dalam menunjang pembangunan yang sedang dilaksanakan. Hal ini berakibat bahwa hukum lebih ditekankan fungsinya sebagai sarana perubahan masyarakat.

Fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat berarti hukum menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat. Pola-pola tersebut, tentu saja, harus mampu mendukung terciptanya suatu kondisi yang dapat menunjang pembangunan di berbagai sektor. Bila hal itu dikaitkan dengan pembentukan hukum, hal ini berarti produk hukum yang dikeluarkan kemungkinan akan mengubah kesadaran masyarakat yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Namun demikian, pembentukan hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat juga mempunyai arti penting. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan validitas berlakunya hukum dalam masyarakat dan efektivitas atau menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembentukan hukum harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat sehingga pada akhirnya menciptakan kesadaran hukum baru sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan.

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Unsur yang lain adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.[6] Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan, adil bagi Si Suto belum tentu dirasakan adil bagi Si Noyo.

Kalau dalam menegakan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu
selanjutnya. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).

Kalau berbicara tentang hukum pada umumnya maka hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi praktisi.[7] Undang-undang itu tidak sempuma, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tunitas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.

D. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam kacamata sosiologi hukum yang dipakai oleh Alvin S. Johnson tentang eksistensi dan peran hukum ditegaskan bahwa dalam kehidupan sosial yang nyata, hukum mempunyai daya mengatur, hanya jikalau sudah dipersatukan dalam suatu kerangka hukum, lebih-lebih dalam satu sistem hukum. Penjelmaan kenyataan sosial sebagai fakta normatif yang dapat melahirkan hukum, yakni menjadi sumber utama atau sumber materiilnya. Pada masyarakat-masyarakat maju, yang di dalamnya agama, moralitas, dan hukum cukup dibedakan satu sama lain, maka hubungan antara kenyataan hukum dan moralitas menjadi efektif.[8] Dalam hubungan antara hukum dan nilai kemanusiaan, Satjipto Rahardjo menyatakan hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit. Tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin ia menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak otonom dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.[9]

Studi hukum dalam masyarakat kiranya akan berkepentingan pula terhadap konsepsi mengenai fungsi hukum. Berdasarkan aksioma “segala yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya”, dan karena hukum tetap ada, maka dengan demikian hukum itu fungsional. Ada beberapa fungsi hukum yang disebutkan beberapa pakar hukum.

Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa hukum itu mempunyai tiga fungsi yaitu:

  1. Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
  2. Untuk menjaga kebutuhan masyarakat yang bersangkutan
  3. Memberikan pegangan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengadakan pengendalian sosial (social control).[10]

­­Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditegakkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Grechtigkeit).[11]

­Mochtar Kusumaatmaja, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, mengajukan pula beberapa fungsi hukum. Dinyatakan oleh Kusumaatmadja, bahwa di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Disamping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakatke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan, Disamping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.[12]

Atas dasar uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum tersebut, maka dapat disusun fungsi-fungsi hukum. Adapun fungsi hukum yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi:

  1. Memberikan Pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berprilaku.
  2. Pengawasan/pengendalian sosial (social control)
  3. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
  4. Rekayasa sosial (Social engineering)

Dibicarakannya fungsi hukum dalam studi hukum dalam masyarakat, mempunyai makna ganda. Fungsi hukum itu sendiri, pada dasarnya dapat menjadi suatu materi yang menarik untuk studi, Namun dapat pula menjadi bagian dari studi-studi hukum seperti: efektivitas hukum, dampak hukum, sebagaimana tersurat dalam uraian tema atau dapat pula disebut dengan pokok bahasan. Disamping itu, fungsi hukum dapat pula menjadi suatu kerangka pemikiran dalam studi hukum. Sekarang akan dibahas sepintas mengenai makna dari masing-masing fungsi hukum tersebut.

Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial, bermakna secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan-peraturan prilaku yang benar, dan setiap warga masyarakat mempunyai ide-ide tentang prilaku yang baik dan buruk. Semua masyarakat akan mengambil langkah-langkah untuk mendorong ke arah prilaku yang baik, dan memberikan sanksi negatif bagi prilaku yang buruk.

Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar berprilaku sesuai hukum.[13] Dengan kata lain, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun refresif. Prevensi merupakan suatu usaha untuk mencegah terjadinya prilaku menyimpang, sedangkan represi bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.

Pengendalian sosial (social control) dapat bersifat formal dan informal, dan pembedaan ini didasarkan pada subyek atau lembaga, yaitu siapa yang melakukan pengendalian itu. Pada pengendalian sosial, lembaga-lembaga hukum merupakan mesin yang penting. Dalam hal ini lembaga-lembaga hukum menerapkan peraturan-peraturan hukum melalui cara-cara tertentu.

Walaupun kedua sistem pengendalian sosial (social control) dapat dipelajari, Namun bagi studi hukum dalam masyarakat, kiranya cukup penting untuk memperhatikan gejala pengendalian sosial in-formal, dalam arti prevensi, oleh karena dapat mengukur kedalaman “pelembagaan” (merasutnya) hukum dalam masyarakat.

Berry mengatakan: “Bila norma-norma itu tidak dikenal sebagai suatu peraturan yang berlaku maka siapa yang tahu bahwa orang-orang mematuhinya? Norma itu harus dikenal oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kehidupan sosial dan norma itu hanya efektif bila ada desakan-desakan sosial. Bila aturan-aturan itu tidak dikuatkan oleh desakan sosial, maka Ia tidak dapat dianggap sebagai norma-norma sosial. Jadi, desakan-desakan sosial, dapat dijadikan ukuran “pelembagaan” hukum. Desakan-desakan sosial bukan sanksi, akan tetapi lebih mengacu pada suatu “kondisi” dalamnya pelembagaan. Desakan-desakan itu bersifat sosial, karena ia dilakukan oleh teman, tetangga, keluarga, bahkan kelompok maupun masyarakat pada umumnya.

Masyarakat menyediakan suatu mekanisme untuk menyelesaikan sengketa serta pemecahan perselisihan. Lembaga yang melakukan pekerjaan itu, cukup banyak bentuk dan gayanya. Dalam penyelesaian sengketa/perselisihan ini, segera terpikir suatu lembaga formal yang disebut pengadilan, Namun harus dipahami bahwa tidak semua sengketa/perselisihan selalu melalui lembaga formal ini. Dalam masyarakat manapun sebenamya banyak sengketa diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam proses penyelesaian sengketa, terutama di daerah pedesaan, sering terdapat beberapa tokoh yang diakui pengaruhnya oleh orang-orang sekitarnya dan mempunyai peranan lebih penting dibandingkan dengan orang-orang lain. Mereka itu pemimpin informal, dan diakui oleh masyarakat sekitarnya sebagai juru bicara yang dapat menyuarakan norma yang berlaku sehingga dapat mengukur, sampai berapa jauh terjadinya pelanggaran norma dan apa yang diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali.

E. Penutup

Hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-normanya yang mengatur pemerintah-pemerintah ataupun larangan-larangan, sedemikian rupa, sehingga warga masyarakat diberi petunjuk untuk bertingkah laku. Masing-masing Anggota masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat atau tidak diperbuat, sedemikian rupa sehingga sesuatunya bisa tertib dan teratur.

Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Bisa penjatuhan hukuman nyata dan takut berbuat yang merupakan kekangan. Daya mengikat dan bila perlu memaksa ini adalah watak hukum yang bisa menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan, menghukum yang bersalah, memutuskan agar yang hutang harus membayar dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga relatif dapat mewujudkan keadilan

Daftar Pustaka

Lili Rajidi dan I. B. Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Mulyana W. Kusuma dan Paul S. Baut. Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998.

Purnadi Pubacaraka, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum bagi Pendidikan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1964.

Soerjono Soekanto & Mustafa Abdullah, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1982.

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.


[1]. Lihat Soerjono Soekanto & Mustafa Abdullah, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hal. 208.

[2] Istilah budaya hukum digunakan untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan sebuah masyarakat hukum, Lili Rajidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 156.

[3] Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 140.

[4] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1964, hal. 20.

[5] Penemuan hukum adalah bukan suatu proses yang logis belaka melalui berbagai faktadan ketentuan undang-undang akan tetapi adalah juga penilaian daripada fakta untuk kemudian menemukan hukumnya. Undang-undang itu tidak selalu jelas, tidak selalu lengkap sedangkan fakta yang diajukan memerlukan penyelesaian menurut hukum. Jika interprestasi, penerapanundang-undang baik secara ekstensif maupun secara restriktif tidak mampu memberi sesuatu penyelesaian maka untuk menemukan hukumnya faktalah yang harus dinilai, Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 31.

[6] Mulyana W. Kusuma dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 9.

[7] Purnadi Pubacaraka, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum bagi Pendidikan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, haI. 32.

[8] Alvin Johnson S, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 2004, hal.191-192.

[9] Satjipto Rahardjo, ”Hukum Progresjf (penjelajahan Suatu Gagasan)”,Makalah yang disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 4 September 2004, hal.3.

[10] Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 32.

[11] Mulyana W. Kusuma dan Paul S. Baut, op. cii, hal. 9.

[12] Soerjono Soekanto, loc. cit.

[13] Daya paksa hukum merupakan penguji untuk membedakan hukum dengan hal-hal lain yang mempunyai kesamaan dengan hukum, tetapi bukan hukum.