Dasar Hukum dan Kewenangan Bank Indonesia dalam Merger Bank


Artikel ini memuat isi:

A.  Prinsip Dasar Penggabungan Badan Usaha

1.   Pengertian penggabungan Badan Usaha

Dalam dunia bisnis khususnya bisnis korporasi, istilah merger merupakan istilah yang tidak asing lagi. F.T. Davis. Jr, seorang praktisi hukum di suatu Firman Hukum Atlanta, Amerika Serikat, menyatakan bahwa merger merupakan transaksi hukum korporasi yang paling canggih dan dalam praktek, merger merupakan reorganisasi tipe ”A”. Sementara Puranam et.al., yang dikutip oleh Peter J. Buckley dan Pervez N. Ghauri mengungkapkan hal senada, yaitu bahwa merger dan akuisisi merupakan ”demontrasi visi dan strategi yang paling dramatis dalam dunia korporasi (corporate world) di mana dengan 1 (satu) gerakan saja, merger dan akuisisi dapat mengubah usaha perusahaan, karir para manajer, dan meningkatkan nilai pemegang saham. W.G. Byrnes dan B.K. Chesterton yang melihat dari sisi kualitas keputusan (decision) mengatakan bahwa merger pada dasarnya merupakan salah satu bentuk ”keputusan manajemen puncak” (top management) yang tipikal (khas) di samping akuisisi, investasi yang tipikal (khas) di samping akuisisi, investasi modal yang besar, diversifikasi, peluncuran produk baru, atau penanaman modal patungan (joint venture).[1]

Merger juga dikelompokkan sebagai salah satu bagian dari restrukturisasi perusahaan (corporate restructuring) di samping perubahan dalam struktur permodalan operasional atau kepimilikan yang dilakukan di luar kegiatan usaha yang normal.[2]

Adrian Sutedi mengemukakan: Menghadapi persaingan yang makin lama makin tajam di dunia bisnis, lebih-lebih memasuki era globalisasi pada saat ini, perusahaan-perusahaan besar berupaya mencari jalan untuk meningkatkan efisiensinya dan apabila mungkin, meningkatkan daya saing, size dan kinerjanya. Melakukan pengurangan biaya yang tidak sampai mengakibatkan penurunan pendapatan adalah salah satu jalan yang biasanya ditempuh. Menghadapi persaingan tajam pada akhir-akhir ini, cara tradisional yang demikian itu dianggap tidak cukup dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Upaya lain yang kemudian dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar adalah melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi.[3]

Penggabungan (merger) badan usaha secara umum dapat diartikan sebagai suatu transaksi yang menggabungkan dua atau lebih perusahaan, namun ada beberapa jenis penggabungan usaha (business combination) lainnya yang sering dianggap sebagai penggabungan, meskipun secara teknis bukanlah penggabungan.[4]

Merger menurut Black’s Law Dictionary adalah: fusion or absorbtion of one thing or right into another,[5] yang berarti fusi atau absorpsi tersebut dilakukn oleh suatu subjek yang kurang penting dengan subjek lain yang lebih penting. Subjek yng kurang penting tersebut kemudian membubarkan diri. Dengan demikian merger perusahaan berarti dua perusahaan melakukan fusi, di mana salah satu di antaranya akan lenyap (dibubarkan).[6]

Sedangkan akuisisi atau pengambilalihan diatur dalam Pasal 122 s/d 137 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan mengenai pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.  Di samping itu khusus mengenai perbankan akuisisi atau pengambilalihan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

Kedua undang-undang tersebut mengatur tentang akuisisi badan hukum. Tetapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) khusus mengatur akuisisi badan hukum Perseroan Terbatas, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatur juga akuisisi badan hukum selain Perseroan Terbatas. Hubungan antara kedua undang-undang tersebut pada kesamaan pengaturan Perseroan Terbatas, sehingga sejauh mengenai akuisisi pengambilalihan bank yang berbentuk perseroan terbatas berlaku juga ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya, kecuali jika diatur berlainan.[7]

Dalam penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017 Tahun 1993 dikemukakan dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan melikuidasi bank-bank lainnya. Konsolidasi (peleburan usaha) adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara mendirikan bank baru dan melikuidasi bank-bank yang ada. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, baik merger bank maupun konsolidasi yang terjadi adalah suatu perusahaan mengambilalih semua aktiva (assets) dan semua passiva (liabilities) dari perusahaan lain. Dengan demikian, merger dan konsolidasi akan menghasilkan suatu kombinasi baik aktiva maupun passiva dari perusahaan yang mengambilalih dan perusahaan yang diambilalih.[8]

Dalam Pasal 125 ayat (2) dikatakan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan, sedangkan ayat (3) mengatakan pengambilalihan adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan terbatas.

Menurut Munir Fuady, bahwa: Secara yuridis, pembelian saham dilakukan secara langsung antara pembeli dengan para pemegang saham dan bukan dengan direksi perusahaan tersebut. Namun hal ini harus dilakukan dengan bersahabat artinya dengan pendekatan direksi agar tidak terjadi hambatan. Jika proses akuisisi saham tanpa mendapat hambatan dari direksi maka hal ini disebut friendly takeover. Sebaliknya jika akuisisi saham akan merugikan kepentingan direksi perusahaan maka biasanya mendapat tantangan berupa adanya keberatan pembelian atas saham dari perusahaan itu. Akuisisi saham yang tidak bersahabat ini disebut unfriendly atau hostile takeover.[9]

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, merger atau konsilidasi ini dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Surat Keterangan Bank Indonesia yang juga mengatur tentang merger bank, antara lain sebagai berikut:

  1. Surat Keputusan Bank Indonesia No. 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum. Dalam aturan ini diatur penjabaran selanjutnya tentang merger, khususnya yang berkaitan dengan merger suatu bank umum (dan juga akuisisi dan konsolidasi).
  2. Surat Keputusan Bank Indonesia No. 32/52/KEP/DIR, tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat. Pengaturan merger (dan juga akuisisi dan konsolidasi) untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ini dilakukan untuk menjawab kenyataan bahwa Bank-Bank Perkreditan Rakyat pun membutuhkan adanya institusi hukum yang disebut dengan merger tersebut.[10]
  3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Syariah, menentukan warga negara/badan hukum asing maksimum dapat memiliki 99% dari modal disetor bank. Badan hukum dapat memiliki saham bank maksimum sebesar modal bersih badan hukum yang bersangkutan.[11]
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, yang menentukan bahwa merger atau konsolidasi antarbank hanya dapat dilakukan dengan ketentuan pada saat terjadinya merger atau konsolidasi, jumlah aktiva bank hasil merger tidak melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah aktiva (assets) seluruh Bank Umum di Indonesia.[12]

Undang-Undang Perseroan Terbatas memberikan definisi secara tegas tentang penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, tetapi hanya menjelaskan tentang tata cara atau mekanisme terjadinya restrukturisasi, yaitu satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan yang telah ada atau meleburkan dari dengan perseroan lain dan membentuk perseroan baru.

Mengenai peleburan terjadi pencampuran dua perseroan, yang kemudian membentuk satu perseroan yang baru. Dalam hal ini eksistensinya dari kedua perseroan itu telah melebur dalam perseroan yang baru. Semua hak dan kewajiban perusahaan yang dileburkan beralih kepada perusahaan baru hasil peleburan.

Dari sudut hukum penggabungan dan peleburan perusahaan dibedakan dengan tiga istilah yaitu merger, akuisisi, dan konsolidasi, sebagai berikut:[13]

Merger terjadi bila suatu perusahaan menggabungkan diri ke dalam perusahaan lain (melalui penjualan asetnya) dan perusahaan yang terakhir ini membubarkan diri (dilikuidasi). Umpamanya PT S merger ke dalam PT A dan PT S kemudian membubarkan diri (likuidasi). PT A mengeluarkan sahamnya atau membayar tunai kepada bekas pemegang saham PT S.

Akuisisi terjadi, dalam contoh di atas PT A membeli mayoritas saham dari saham PT S, baik dari PT S sendiri (saham-saham yang belum dikeluarkan) maupun dari para pemegang saham PT S. PT A kemudian mengeluarkan saham atau membayar tunai untuk saham PT S yang diambilalihnya tersebut. PT S kemudian menjadi anak perusahaan dari PT A.

Akibat praktis yang timbul dari transaksi kedua penggabungan di atas adalah perusahaan yang mengambil alih kemudian mengkontrol bisnis perusahaan yang diambil alihnya. Konsolidasi terjadi bila dua atau lebih perusahaan meleburkan diri menjadi satu perusahaan baru dan perusahaan-perusahaan lama yang bergabung membubarkan diri (likuidasi). Dalam contoh di atas, konsolidasi PT S dan PT A melahirkan, umpamanya PT SA.

Di dalam merger kegiatan usaha perusahaan, merger merupakan suatu cara pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Melalui merger, perusahaan-perusahaan menggabungkan dan membagi sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan bersama. Para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan yang bergabung tersebut sering kali tetap dalam posisi sebagai pemilik bersama entitas yang digabungkan. Dalam pelaksanaan merger, seluruh aset, hak dan kewajiban dari badan hukum yang bubar terrsebut tidaklah menjdi hilang sama sekali, melainkan diambil alih oleh perusahaan yang masih tetap ada.

Sejalan dengan ketentuan di atas, ketentuan Pasal 122 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan menentukan bahwa dalam hal terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (konsolidasi), maka perseroan yang menggabungkan diri atau meleburkan diri menjadi bubar. Selanjutnya di dalam ayat (2) ditentukan bahwa berakhirnya perseroan terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Berakhirnya perseroan tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu, adalah:

  1. aktiva dan passiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yan menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan.
  2. Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan, dan
  3. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hkum terhitun sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.

2.   Tujuan penggabungan Badan Usaha

Tujuan penggabungan antara suku perusahaan dengan perusahaan yang lain secara umum dilakukan sebagai upaya untuk restruksi perusahaan. Restruksi perusahaan tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan antara lain memperbaiki kinerja perusahaan, mengadakan persiapan untuk menghadapi kompetisi, memperkuat aset atau modal perusahaan, menghindari kerugian, menghindari kehancuran dan kebangkrutan, serta menambah modal karena adanya ketentuan yang baru.[14]

Penggabungan perusahaan merupakan suatu tindakan perseroan yang dapat mengakibatkan hapus atau berubahnya eksistensinya perusahaan itu sendiri. Tindakan ini juga mempengaruhi pihak lainnya baik di dalam maupun di luar perusahaan, meskipun demikian tindakan ini sering dilakukan untuk mengembangkan usaha perusahaan.

Menurut Zen Umar Purba, tujuan penggabungan badan usaha yaitu:

  1. Memperbaiki manajemen perusahaan sehingga dapat meningkatkan probility perseroan yang bergabung.
  2. Menghambat persaingan, yaitu jumlah perseroan yang bersaing berkurang sehingga kebijaksanaan dipegang oleh suatu kelompok tertentu yaitu perseroan yang mengambil alih.
  3. Mempertahankan kesinambungan usaha.
  4. Memperbesar bagian pangsa pasar kelompok perseroan.
  5. Memperkuat sumber pemasukan barang.
  6. Memperluas usahanya dalam bidang kegiatan yang telah tertutup atau akan ditutup.[15]

Tujuan umum penggabungan badan usaha umumnya lebih menguntungkan daripada mendirikan perusahaan yang baru sebagai suatu perusahaan usaha (konsolidasi). Hal ini dikarenakan lebih cepat pengembangan usaha dan lebih mudah pengelolaannya berkat adanya penyatuan modal, dan sumber daya, serta peralatan atau kantor cabang yang berasal dari perusahaan yang bergabung.

Menurut Rochmat Sumitro, sebagaimana dikutip Aniie Waworuntu, tujuan penggabungan badan usaha adalah:

  1. Memperkuat modal dan keuangan
  2. Memperkuat diri atau menjamin kelangsungan perusahaan.
  3. Mengurangi pengaruh persaingan.
  4. Menguasai pasaran.
  5. Menstabilkan kedudukan dalam pasaran, melepaskan kegiatan perusahaan yang mengalami kerugian.
  6. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas kerja.
  7. Mengurangi tarif progresif pajak.[16]

 Beberapa alasan dilakukan penggabungan menurut Retnowulan Sutanto, yaitu:

  1. Memperluas pangsa pasar sekelompok perusahaan (market share).
  2. Memperkuat sumber pemasokan yang dikuasai oleh penjual.
  3. Memperbesar penghasilan dan keuntungan perusahaan yang diambil alih.
  4. Memperluas usaha dalam bidang kegiatan yang telah tertutup.
  5. Membeli perusahaan (asset) dengan harga murah.
  6. Mengharapkan dengan penggabungan aktiva akan lancar.
  7. Dengan penggabungan perusahaan yang sejenis, mengakibatkan volume perusahaan yang lebih besar.
  8. Dengan penggabungan perusahaan yang lebih besar dan lebih sehat dapat terhindar dari kepailitan.[17]

Pengertian dan tujuan penggabungan di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan restrukturisasi perusahaan sangat baik dan tepat dilaksanakan dalam dunia usaha, hal ini dilakukan sebagai dinamika perluasan usaha. Sepanjang restrukturisasi berjalan wajar dan dilakukan dengan itikad baik, serta tindakan retrukturisasi itu tidak mengarah pada praktek monopoli, dan persaingan tidak sehat, tidak menjadi masalah, apalagi hal itu dilakukan atas dasar pertimbangan ekonomis yang memang diperlukan guna memperbaiki kinerja perusahaan tersebut.

3.   Macam-macam penggabungan Badan Usaha

Menurut Robert Short, proses penggabungan badan usaha ada lima jenis,  yaitu:

  1. Pure Merger, yaitu penggabungan suatu perusahaan ke dalam perusahaan lain yang lebih kuat, tanpa penciptaan perusahaan baru.
  2. Consolidation (Amalgation), yaitu penggabungan dua atau lebih kecil perusahaan dengan peleburan menjadi perusahaan yang baru sama sekali.
  3. Acquitision (Amalgation), yaitu penggabungan sehubungan pembelian seluruh ada sebahagian besar interest suatu perusahaan dalam bentuk saham dan selanjutnya perusahaan yang dibeli diberlakukan sebagai anak perusahaan.
  4. Sale os Aset (Acquitision Merger), yaitu terjadi karena sebuah perusahaan menutup usahanya setelah menjual semua hartanya kepada perusahaan lain tanpa ada petukaran interest dengan pembeli.
  5. Holding Company Acquitision, yaitu bentuk semua dari merger dimana transaksi menyangkut pembelian seluruh atau sebahagian besar saham suatu perusahaan lain yang tujuan utamanya adalah manajemen.[18]

Amerika Serikat melakukan penggabungan badan usaha ditujukan untuk mendapatkan monopoli tertentu atau melenyapkan pesaing serta memaksimalkan nilai saham. Sedangkan di Asia penggabungan badan usaha adalah untuk memaksimalkan bagian pasar (market share) atau meningkatkan penjualan.[19]

Bentuk lain penggabungan badan usaha menurut Sukanto Reksohandiprojo, yaitu:

  1. Merger statuta, yaitu badan usaha dikombinasikan sesuai dengan persyaratan, yaitu aktiva badan usaha yang dijual ditransfer pada pembeli.
  2. Merger berbalik, yaitu badan usaha yang dijual tetap, sedangkan badan usaha yang bergabung lenyap/tiada, karena aktiva badan usaha yang dijual tak dapat dialihkan karena hukum.[20]

Dari segi ekonomi dikenal beberapa macam penggabungan, badan usaha yaitu :

  1. Merger Horizontal (horizontal merger), yaitu yang bergabung bergerak dalam usaha yang sejenis atau tadinya bersaing dan perusahaan tersebut  sebagian besar mempunyai pasar pembelian dan penjualan yang sama.[21] tujuan utamanya yaitu untuk mewujudkan efisiensi dalam produksi, promosi dan memasuki pasar yang sudah mapan,  misalnya penggabungan bank BUMN atau bank swasta.
  2. Merger Vertikal (vertikal merger), yaitu penggabungan dan perusahaan dimana salah satu di antaranya sebelumnya merupakan langganan atau pemakai produk yang dihasilkan oleh pihak yang lain. Tujuannya yaitu menghilangkan kemungkinan perusahaan bekas langganan memperoleh suplai produk serupa dan pemasok lain dan karenanya dapat mempengaruhi tingkat persaingan (umumnya terjadi pada sektor distribusi), penggabungan usaha penjualan ban dengan produsen ban (pabrik) dan merger perkebunan karet dengan produksi ban pabrik.
  3. Merger Konglomerat (conglomerate merger), yaitu penggabungan beberapa perusahaan yang sebenarnya tidak bergerak dalam bidang usaha yang sama (bukan saingan). Tetapi berkaitan satu sama lain sebagai pemasok dan pemakai suatu barang atau jasa tertentu. Tujuannya yaitu untuk memperkecil resiko karena keharusan diversifikasi dan memperkecil ketergantungan perusahaan terhadap satu atau beberapa bidang produksi saja. Misalnya perusahaan perhotelan, atau bank dan toko/swalayan, melakukan merger.[22]

B.  Penggabungan Badan Usaha Menurut Perundang-Undangan

1.   Pengaturan Penggabungan Badan Usaha

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan pedoman bagi perseroan melakukan restrukturisasi melalui tindakan penggabungan (peleburan dan pengambilalihan) yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 198 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.   Dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditentukan bahwa satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan  yang telah ada, atau meleburkan diri dengan perseroan lain dan membentuk perseroan baru. Rencana penggabungan tersebut ditujukan dalam rancangan penggabungan yang disusun bersama oleh direksi dari, perseroan yang akan melakukan penggabungan yang memuat sekurang-kurangnya yaitu :

  1. Nama perseroan yang akan melakukan penggabungan.
  2. Alasan serta penjelasan masing-masing direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan.
  3. Tata cara konversi saham dari masing-masing perseroan yang akan melakukan penggabungan terhadap saham perseroan hasil penggabungan.
  4. Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil penggabungan apabila ada, atau rancangan Akta Pendirian Perseroan hasil peleburan.
  5. Neraca perhitungan laba rugi yang meliputi tiga tahun buku terakhir dari semua perseroan yang akan melakukan penggabungan.

Hal-hal yang perlu diketahui oleh pemegang saham masing-masing perseroan.

Penggabungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998, hanya dapat dilakukan apabila rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetujui oleh RUPS masing-masing perseroan[23] dalam hal ini sebagian besar pemegang saham dalam RUPS menyetujui rancangan itu maka penggabungan tidak mengalami kesukaran. Sebaliknya jika rencana penggabungan badan usaha tersebut ditolak maka pemegang saham berhak meminta perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar.[24]

Harga yang wajar tersebut dapat berupa harga pasar atau harga yang ditetapkan oleh ahli penilai harga sama yang tidak terikat pada perseroan,[25] dan undang-undang perseroan terbatas mengatur jangka waktu tiga puluh hari maka saham tersebut harus dibayar lunas, terhitung sejak penawaran dilakukan, jika tidak terjadi pembayaran oleh perseroan, maka pemegang saham mempunyai kebebasan untuk menawarkan saham tersebut kepada pihak lain. Pasal 126 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:

  1. perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, 
  2. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  3. masyaraka dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Ketentuan di atas menyatakan bahwa penggabungan badan usaha tidak dapat dilaksanakan kalau akan menimbulkan kerugian pihak-pihak tertentu, dan tindakan tersebut harus pula dicegah kemungkinan terjadinya monopoli, atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat. Korum yang diperlukan dalam pengambilan keputusan RUPS mengenai penggabungan badan usaha yaitu sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat[26] keputusan RUPS sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang dimiliki paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. [27]

Direksi berkewajiban mengumumkan dalam dua surat kabar harian mengenai rencana penggabungan perseroan paling lambat empat belas hari sebelum pemanggilan RUPS.[28] Maksudnya pengumuman tersebut yaitu untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui adanya rencana penggabungan apabila mereka merasa kepentingan dirugikan dengan rencana penggabungan apabila mereka merasa kepentinganya dirugikan dengan rencana tersebut, maka pemegang saham dapat mengambil langkah-langkah tertentu guna membela kepentingannya. Demikian juga setelah terjadi penggabungan dalam dua surat kabar direksi hasil penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam dua surat kabar harian paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak penggabungan selesai dilakukan.[29]

2. Organ Perseroan

Perseroan Tebatas sebagai salah satu bentuk usaha ekonomi memiliki organ- organ spesifik. Organ pertama disebut Rapat Umum Pemegang (RUPS), yang secara umum bertugas untuk menentukan segala kebijaksanaan umum perseroan. Organ kedua adalah Direksi yang bertugas menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan RUPS. Organ ketiga adalah Komisaris yang bertugas sebagai pengawas untuk dan atas nama pemegang saham.[30]

Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1 angka 4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dinyatakan: Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

Selanjutnya Pasal 1 angka 4 UUPT mengatur bahwa yang dimaksud dengan Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh untuk pengurusan perseroan[31] untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.

Adapun beberapa karakteristik pokok dari direksi perseroan adalah sebagai berikut:

  1. Direksi haruslah orang perorangan.
  2. Direksi bertugas untuk mewakili perseroan dan melaksanakan, mengurus dan mengarahkan kegiatan dari perseroan.
  3. Direksi bertanggung jawab untuk melaksanakan pengontrolan terhadap pegawai perseroan
  4. Direksi diangkat atau dipilih berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam hal ini Direksi diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tetapi untuk pertama kalinya Direksi diangkat oleh pendiri dan disebutkan dalam akta pendirian perusahaan.
  5. Direksi merupakan organ perseroan, di samping organ perseroan lainya berupa Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
  6. Kepengurusan dilaksanakan untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
  7. Direksi mewakili dan bertindak untuk dan atas nama perseroan.
  8. Direksi mewakili dan bertindak di dalam maupun di luar pengadilan.
  9. Direksi melaksanakan tugasnya sesuai dengan perundang-undangan
    yang berlaku dan ketentuan dalam anggaran dasar dari perseroan
    tersebut.[32]

Menurut sifatnya, Direktur perseroan dapat diklasifikasikan atas 4 (empat), yaitu sebagai berikut:

  1. Direktur biasa, yakni Direktur yang dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau oleh anggaran dasar. Inilah Direktur yang paling lazim dan banyak sekali terdapat dalam praktek.
  2. Direktur de facto, yaitu Direktur yang tidak dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau anggaran dasar.
  3. Direktur substitusi atau Direktur alternative, yaitu Direktur penggangti yang sifatnya sementara atau yang ditugaskan khusus untuk perbuatan tertentu.
  4. Direktur bayangan (shadow director), yaitu Direktur yang bertugas hanya menjadi pajangan belaka, dimana setiap pekerjaan dilakukan atas suruhan pihak lain, atau bahkan pihak lain yang melakukan tugas – tugas Direksi. Misalnya Direksi yang diangkat dengan perjanjian trustee, yang dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai “Direktur boneka”.[33]

Keempat jenis direktur pambagian direktur tersebut di atas tidaklah dapat diidentifikasi secara yuridis namun seringkali ditemukan dalam kenyataannya. Secara yuridis yang diketahui dan diakui hanyalah satu jenis direktur saja yakni direktur biasa sebagaimana dijelaskan diatas.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan pengertian Komisaris sebagai organ yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan.[34] Berdasarkan Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perserorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

  1. dinyatakan pailit;
  2. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu  Perseroan dinyatakan pailit, atau
  3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Ketentuan persyaratan tersebut tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundangan-undangan (ayat 2). Pemenuhan persyaratan dimaksud dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh perseroan (ayat 3).

Beberapa prinsip yuridis yang berlaku untuk komisaris adalah sebagai berikut:

1..  Komisaris Merupakan Badan Pengawas.

Komisaris dimaksudkan sebagai badan pengawas (badan supervisi), baik mengawasi tindakan direksi. Yang mempunyai konsekuensi juga sebagai pengawas perseroan secara umum.

2.   Komisaris Merupakan Badan Independen[35]

Sama dengan direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada prinsipnya komisaris merupakan badan yang independent, tidak tunduk pada kekuasaan siapapun, dan harus melihat semata-mata kepentingan peseroan, meskipun sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat mengangkat dan memberhentikan komisaris.

3.   Komisaris tidak mempunyai Otoritas Manajemen (Non – executive)

Meskipun ada ditemukan yang namanya komisaris “pengambil keputusan” (decision maker), tetapi pada prinsipnya badan komisaris tidak memiliki otoritas manajemen (non executive). Yang diberikan tugas manajemen.eksekutif adalah direksi.

4.   Komisaris Tidak Biasa Memberikan Instruksi kepada Direksi

Meskipun tugas utama dari komisaris adalah untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas direksi, tetapi komisaris tidak berwenang untuk memberikan instruksi-instruksi langsung kepada direksi. Sebab, jika kewenangan ini diberikan kepada komisaris, posisinya akan berubah wajah, dari badan pengawas menjadi badan eksekutif. Karena itu, fungsi pengawasan dari komisaris dilakukan dengan jalan sebagi berikut :

  1. Menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang diambil direksi.
  2. Memberhentikan direksi untuk sementara.
  3. Memberi nasehat kepada direksi, diminta atau tidak, dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan.

5.   Komisaris Tidak Bisa Diinstruksikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Sebagai konsekuensi dari kedudukan komisaris yang independen, maka komisaris tidak bisa diinstruksikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), meskipun Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan. Dan, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat memberhentikan komisaris, dengan atau tanpa menunjukkan alasan pemberhentian (for cause or no cause).[36]

Meskipun komisaris pada prinsipnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap direksi dan jalannya perseroan, tetapi tingkat pengawasan yang dilakukannya berbeda-beda. Dilihat dari level pengawasan sebagai berikut:

1.   Komisaris Minimum

Yang dimaksud dengan komisaris minimum adalah bahwa komisaris tersebut dipergunakan karena disyaratkan oleh undang–undang dan anggaran dasar dari perseroan, padahal dia tidak melakukan apa–apa untuk perseroan. Jadi, keberadaan komisaris seperti ini hanya untuk memenuhi syarat yuridis formal.

2.   Komisaris Kosmetik

Yang dimaksud dengan komisaris kosmetik adalah komisaris yang hanya bertugas untuk melegitimasi segala putusan dari direksi. Jadi, fungsinya hanya sekedar stempel saja.

3.   Komisaris Pajangan

Yang dimaksud dengan komisaris pajangan adalah memasang orang-orang yang seram/ditakuti, disegani sebagai komisaris untuk menakut-nakuti jika ada pihak-pihak tertentu yang ingin memprotes kebijaksanaan perseroan. Pihak komisaris seperti ini sama sekali tidak bekerja dan sama sekali tidak mengawasi jalannya perseroan.

4.   Komisaris Oversight

Yang dimaksud dengan komisaris Oversight adalah komisaris yang berfungsi semata-mata mengawasi kegiatan dan kebijaksanaan dari direksi dan perseroan. Sebetulnya, inilah fungsi yang sebenarnya dari komisaris menurut Undang-undang Perseroan Terbatas.

5.   Komisaris Independen

Yang dimaksud dengan komisaris independent adalah komisaris yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan bisnis dengan direksi maupun pemegang saham. Karena tidak ada hubungan seperti itu, maka komisaris independent ini diharapkan dapat bertindak objektif dan dapat melihat persoalan perseroan secara lebih jernih. Beberapa jenis perseroan mensyaratkan adanya komisaris independent ini, misalnya untuk perseroan terbatas terbuka.

6.   Komisaris Pengambil Keputusan

Yang dimaksud dengan komisaris pengambil keputusan (decision maker) adalah konsep komisaris di mana di samping dia mengawasi hal-hal tertentu, terutama dalam hal-hal penting, diajak pula untuk mengambil keputusan (misalnya dengan format surat persetujuan komisaris) untuk kegiatan-kegiatan tertentu dari perseroan. Kegiatan-kegiatan penting tersebut misalnya:

  1. Mengambil loan dari bank
  2. Meminjamkan aset perseroan
  3. Menjual aset-aset penting dari perseroan
  4. Merger, akuisisi atau konsolidasi
  5. Go public
  6. Likuidasi
  7. Mengeluarkan dana melebihi jumlah tertentu
  8. Memberhentikan direksi untuk sementara waktu
  9. Mengubah anggaran dasar. [37]

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perseroan terbatas memiliki tiga organ yakni Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris. Perseroan terbatas mempunyai alat yang disebut organ perseroan, gunanya untuk menggerakkan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan
tujuannya.

Berdasarkan teori organisme dari Otto von Gireke, pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ seperti kaki, tangan, panca indera dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, berarti setiap gerakan atau aktivitas pengurus badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga pengurus adalah personafikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya menurut Paul scholten dan Bregstein, pengurus mewakili badan hukum. Berdasarkan analog pendapat Gierke dan Paul Schoulten maupun Brengstein tersebut, direksi bertindak mewakili perseroan sebagai badan hukum. Hakikat dari perwakilan bahwa seseorang melakukan melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang itu.[38]

Ketiga organ dan perseroan tersebut memiliki tugas dan wewenang yang berbeda satu sama lain. Namun, perbedaan dimaksud memiliki fungsi yang terkait dengan tujuan untuk menjalankan perseroan dengan sebaik-baiknya. Direksi kedudukannya sebagai eksekutif dalam perseroan, tindakannya dibatasi oleh Aggaran Dasar perseroan. Apabila dalam pengurusan perseroan bertindak melampui wewenangnya, maka berdasarkan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, direksi yang demikian bertanggung jawab penuh secara pribadi. Sedangkan komisaris merupakan organ yang mempunyai tugas melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi  dalam menjalankan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut komisaris juga dibatasi oleh anggaran dasar. Komisaris yang melakukan kesalahan dapat digugat ke Pengadilan oleh pemegang saham atas nama perseroan. 

C.  Dasar Hukum dan Kewenangan Bank Indonesia Dalam Merger Bank

Dilihat dari segi tujuannya, terdapat dua macam merger bank,[39] pertama, merger dalam rangka Rescue Program, yakni merger dengan atau antara bank yang kurang/tidak sehat. Kedua, merger dalam rangka improving business, yakni merger antara bank-bank yang sehat.

Menurut Baradita Katoppo (Presiden Direktur IB AS Research), terdapat dua model yang umum dilakukan dalam suatu merger bank, yaitu:  Pertama, merger yang menghasilkan new entity. Kedua, merger yang menghasilkan surviving entity, Dalam model yang menghasilkan new entity, semua bank peserta merger dilikuidasi dan suatu perusahaan baru diciptakan untuk mengambil alih seluruh aktiva dan pasiva bank-bank tadi. Contoh model ini adalah penggabungan empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri (Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Megara, Bank Bumi Daya, dan Bank Ekspor Impor). [40]

Komplikasi dari model ini adalah bila salah satu atau lebih dari bank peserta merger adalah perusahaan “terbuka”, maka status perusahaan “terbuka” akan hilang dalam proses likuidasi. Juga dalam proses ini perusahaan pemerintah harus mcng-go private-kan (kebalikan dari go public) bank-bank peserta merger dengan membeli saham publik yang ada di bank-bank bersangkutan. Atau apabila menginginkan status perusahaan publik agar memudahkan proses divestasi di kemudian hari, bank baru tersebut harus kembali melewati proses dan persyaratan go public yang ketat di pasar modal. Masalah divestasi ini penting untuk dipertimbangkan, karena seharusnya salah satu tujuan akhir rencana merger ini adalah agar pemerintah dapat memperoleh kembali uang negara yang telah dikeluarkan untuk merekapitalisasi kelima bank, yang saat ini sedang diprogramkan untuk merger, yakni Bank Universal, Bank Bali, Bank Prima Express, Bank Patriot, dan Bank Artamedia, selain biaya-biaya yang teiah keluar selama bank-bank tersebut berada di bawah kendali pemerintah.[41]

Kelemahan dari model hii adalah bahwa bank-bank tersebut harus mere-posisikan dirinya lagi, harus membangun image, yang memerlukan waktu dan membutuhkan biaya lagi.

Di sisi lain, model ini tentu ada keuntungannya. Pertama, penciptaan suatu new entity berarti tidak memberikan preferensi kepada salah satu bank. Dengan demikian tidak ada di antara bank peserta merger yang dapat merasa superior atau merasa sebaliknya inferior. Keuntungan lain diciptakan suatu new entity adalah bersih dari catatan lama yang buruk. Akan tetapi, di lain pihak bagi bank yang memiiiki prestasi yang baik, sejarahnya pun akan hilang. Dalam model merger yang menghasilkan surviving entity, salah satu bank dipilih untuk melakukan pembelian atau akuisisi atas bank-bank lain peserta merger. Dengan demikian, kemungkinan besar, surviving bank yang dipilih tersebut akan memperoleh hak istimewa terhadap kontrol yang lebih ketat. Di sisi lain peserta yang tidak menjadi surviving entity kemungkinan akan kehilang-an kontrol, contohnya adalah Bank Danamon yang mengakuisisi delapan bank Bank Take Over (BTO).[42]

Dalam hal restrukturisasi perbankan oleh pemerintah, maka tujuan utama restrukturisasi yang melibatkan program merger kelima bank (Bank Universal, Bank Bali, Bank Prima Express, Bank Patriot, dan Bank Artamedia) adalah pengembalian investasi negara. Untuk itu perlu dilakukan divestasi penjualan saham. Penjualan Sahara lebih mudah bila suatu perusahaan sudah go public, karena sudah ada harga pasar yang bisa digunakan sebagai acuan. Selain itu menjual saham akan lebih mudah jika perusahaan memiliki track record atau catatan sejarah, baik keuangan maupun non keuangan yang baik. Adanya track record akan memudahkan seseorang calon pembeli untuk menilai (melakukan due diligence) apa yang akan ia beli. Untuk itulah maka dalam model surviving entity beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah pertama sudah go public, memiliki catatan prestasi yang baik, mampu meningkatkan shareholders, value di masa depan.[43]

1.   Dasar Hukum Merger Bank

Undang-Undang Perbankan mengenal dua macara merger saham bank, yaitu yang sukarela dan imperatif. Merger sukarela adalah merger yang dilakukan secara sukarela oleh masing-masing pemegang saham bank yang akan melakukan merger atau sukarela dilakukan oleh pemegang saham bank yang akan diakuisisi sahamnya dan oleh pihak yang akan melakukan akuisisi saham bank tersebut, yaitu dalam rangka ekspansi usaha dari bank tersebut. Adapun yang dimaksudkan dengan merger yang imperatif adalah merger yang merupakan pelaksanaan dari perintah Bank Indonesia dalam rangka menyelamatkan suatu bank yang bermasalah.[44]

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan), mengatur mengenai merger sukarela, sedangkan Pasal 37 ayat (2) mengatur mengenai merger imperatif.

Menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Perbankan dinyatakan bahwa merger, konsolidasi dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia. Mengingat ketentuan Pasal 10 jo. Pasal 7 huruf b dan c Undang-Undang Perbankan, bank hanya boleh melakukan merger dan konsolidasi dengan perseroan yang berupa bank saja dan hanya boleh melakukan akuisisi perseroan bank dan perusahaan lain sepanjang usahanya di bidang keuangan (seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, perusahaan asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyirapanan). Dari ketentuan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perbankan itu dapat diketahui bahwa pelaksanaan akuisisi oleh suatu bank terhadap saham bank lain atau terhadap saham perusahaan lain di bidang keuangan hams dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Di samping harus dilaksanakan dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perbankan yang merupakan ketentuan khusus, juga harus diperhatikan ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40  Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menurut ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat, antara lain, melakukan tindakan agar bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain atau bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank tersebut.

Di samping harus memperhatikan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perbankan dan Ketentuan-Ketentuan Pasal 103 sampai dengan 109 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, merger saham bank hams pula memperhatikan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konso­lidasi, dan Akuisisi Bank, yang membawa konsekuensi hukum sebagai berikut.

  1. Pemegang saham bank yang melakukan merger demi hukum (by the operation of law) menjadi pemegang saham bank hasil merger.
  2. Aktiva dan pasiva bank yang melakukan merger beralib karena hukum kepada bank hasil merger.

Undang-Undang Perbankan memungkinkan dilakukannya merger antarbank, tetapi pemerintah tidak menginginkan bahwa merger tersebut akan menghasilkan berdirinya suatu bank baru yang sangat besar dilihat dari segi asetnya. Hal tersebut diatur oleh ketentuan Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, yang menentukan bahwa merger atau konsolidasi antarbank hanya dapat dilakukan dengan ketentuan pada saat terjadinya merger atau konsolidasi, jumlah akiva bank hasil merger tidak melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah aktiva (assets) seluruh Bank Umum di Indonesia.

Selain itu mengenai tata cara pelaksanaan/prosedur merger bank, telah diatur dalam dua buah surat keputusan Bank Indonesia, yakni Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum, serta Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 32/52/KEP/DIR tanggal 14Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.

2.   Kewenangan Bank Indonesia dalam Merger Bank

Sehubungan dengan keengganan para pemilik bank untuk memenuhi seruan Bank Indonesia mengenai merger, sedangkan di pihak lain Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank ternyata belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan untuk mengambil langkah penyehatan atau penyelamatan perbankan secara optimal, khususnya dalam keadaan tertentu yang memerlukan penanganan dengan cepat, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pem­bubaran dan Likuidasi Bank. Terakhir telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank tersebut, Bank Indonesia diberi kekuasaan untuk meminta Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan yang memberi kewenangan kepada Bank Indonesia untuk melaksana-kan kewenangan pemegang saham dalam mengambil langkah-langkah bagi penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank tanpa melalui RUPS. Bank Indonesia dapat melakukan kekuasaannya itu apabila karena sebab-sebab ter­tentu RUPS yang disyaratkan untuk tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tidak dapat diselenggarakan, atau syarat-syarat yang ditetapkan untuk sahnya atau diambilnya keputusan RUPS tidak dapat dipenuhi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai berikut:

  1. agar bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain atau,
  2. agar bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank tersebut atau,
  3. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain,
  4. menjual seluruh harta dan kewajiban bank kepada bank Iain, dan
  5. menjual sebagian harta bank kepada bank atau pihak lain.[45]

Langkah-langkah tersebut memang sangat diperlukan mengingat situasi dan kondisi saat ini, banyak bank yang direkapitalisasi, namun belum menunjukkan kesehatannya, selain itu dalam rangka penyelesaian masalah bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan/atau membahayakan sistem perbankan.

Daftar Pustaka

Amanat, Anisitus, Pembahasan Undang – undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam Akta Notaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal.103, dikutip dari Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta: Bina Aksara, 1985).

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dicitionary, Sixth Edition, (St. Paul Minnessota: West Publishing Co., 1991).

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Cetakan I (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999).

______, Hukum tentang Akuisisi, Takeover dan LBO, (Bandung: Citra Aditya, 2001).

______, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya, 1999).

______, Perseroan Terbatas – paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003)

Hartono, Sri Rezeki, Aspek Hukum Penggabungan, Peleburan, dan Pengambialihan PT, Makalah Seminar Nasional, Sosialisasi Undang-Undang Nomor  Tahun 1996.

Katoppo. Baradila, “Mcmilih Surviving Entity Dari Merger Lima Bank”. Kompas, 14 Descmber 2001.

Mantayborbir, S., Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004).

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1999).

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library,  2007).

Purba, Zen Umar, ”Pokok-pokok pikiran mengenai Pengaturan Persaingan Sehat Dalam Bisnis”, Majalah Hukum dan Pembangunan,  (Tahun XXV Nomor 1 Tahun 1995, FH-UI).

Short, Robert, Business Merger, How Ang Wen To Transact Them, dikutip dari Tono Sulistiono dkk., “Merger dan Akuisisi, Antar Konsep dan Kenyataan”, Manajemen dan Usahawan Indonesia, (Nomor 2 Tahun XIX Pebruari 1990).

Simanjuntak, Cornelius, Hukum Merger Perseroan Terbatas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004)

Sjahdeini, Sutan Remy, Merger Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Makalah, tt,Tidak dipublikasikan.

Sutanto, Retnowulan, Holding Company, Merger dan lain-lain Bentuk Kerjasama Perusahaan, Makalah Seminar IKANED-IBBI, Jakarta 1992.

Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan, Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: Alumni, 2004).

Waworuntu, Annie, ”Merger, Konsolidasi Dan Akuisi Serta Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995”, Makalah seminar Antisipasi berlakunya UU Nomor 1 Tentang PT Terhadap Perkembangan Dunia Usaha (Bandung: FH-UNPAD, 1955).


[1] Cornelius Simanjuntak, Hukum Merger Perseroan Terbatas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 1.

[2] Ibid., hal. 2.

[3] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan, Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 83-84.

[4] Penyebutan merger, konsilidasi dan akuisisi, dikenal dalam Undang-Undang Perbankan (Pasal 28) dan SK. Menkeu Nomor 222/KMK.017/1993 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Sedangkan penyebutan Penggabungan, Peleburan dan Pengambilahlihan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 125). Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Pasal 28) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilahlian Perseroan Terbatas.

[5] Henry Campbell Black, Black’s Law Dicitionary, Sixth Edition, (St. Paul Minnessota: West Publishing Co., 1991), hal. 682., dalam Adrian Sutedi, op. cit., hal. 84.

[6] Ibid., hal.94.

[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1999), hal. 131-132.

[8] Sutan Remy Sjahdeini dalam S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 66-68.

[9] Munir Fuady, Hukum tentang Akuisisi, Takeover dan LBO, (Bandung: Citra Aditya, 2001), hal. 4.

[10] Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya, 1999), hal. 73-74.

[11] Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 13 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Syariah

[12] Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank.

[13] Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library,  2007), hal. 167-168.

[14] Sri Rezeki Hartono, Aspek Hukum Penggabungan, Peleburan, dan Pengambialihan PT, Makalah Seminar Nasional, Sosialisasi Undang-Undang Nomor  Tahun 1996, hal. 5.

[15] Zen Umar Purba A, ”Pokok-pokok pikiran mengenai Pengaturan Persaingan Sehat Dalam Bisnis”, Majalah Hukum dan Pembangunan,  (Tahun XXV Nomor 1 Tahun 1995, FH-UI), hal. 9.

[16] Annie Waworuntu, ”Merger, Konsolidasi Dan Akuisi Serta Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995”, Makalah seminar Antisipasi berlakunya UU Nomor 1 Tentang PT Terhadap Perkembangan Dunia Usaha (Bandung: FH-UNPAD, 1955), hal. 8-9.

[17] Retnowulan Sutanto, Holding Company, Merger dan lain-lain Bentuk Kerjasama Perusahaan, Makalah Seminar IKANED-IBBI, Jakarta 1992, hal. 12-13.

[18] Robert Short, Business Merger, How Ang Wen To Transact Them, dikutip dari Tono Sulistiono dkk., “Merger dan Akuisisi, Antar Konsep dan Kenyataan”, Manajemen dan Usahawan Indonesia, (Nomor 2 Tahun XIX Pebruari 1990), hal. 63.

[19] Ibid., hal. 64.

[20] Annie Waroruntu, Op. Cit., hal. 11.

[21] Ibid., hal. 11.

[22] Joko Proyono, Op. Cit., hal. 89-93.

[23] Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[24] Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas..

[25] Penjelasan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[26] 67 ayat (1), Pasal 89 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[27] Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[28] Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[29] Pasal 133 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[30] Anisitus Amanat, Pembahasan Undang – undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam Akta Notaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal.103, dikutip dari Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal.35-36.

[31] Munir Fuady, Perseroan Terbatas – paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 51, dikatakan, “Karena direksi merupakan organ yang mengurus kegiatan perseroan (karena itu disebut juga dengan istilah “pengurus”), maka setiap perseroan terbatas “wajib” memiliki direksi, minimal 1 (satu) orang. Akan tetapi, beberapa jenis perseroan wajib memiliki minimal 2 (dua) orang direksi yakni perseroan-perseroan sebagai berikut: Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat; Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan hutang; Perseroan terbuka.”

[32] Ibid., hal. 50 – 51.

[33] Ibid., hal. 51 – 52.

[34] Selanjutnya lihat juga Ibid., hal. 106, dikatakan, “Setiap perusahaan wajib memiliki seorang komisaris. Bahkan terhadap perusahaan terbatas tertentu wajib memiliki sedikit – dikitnya 2 (dua) orang komisaris, yang dalam hal ini akan menjadi suatu majelis (dewan), yaitu terhadap perusahaan terbatas sebagi berikut: (1) Perusahaan yang mengerahkan dana masyarkat; (2) Perusahaan yang menerbitkan surat hutang; (3) Perusahaan terbuka.”

[35] Selanjutnya lihat juga Ibid., hal.107, dikatakan, “Meskipun kedudukan komisaris adalah mandiri dan terlepas dari kekuasaan direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tetapi tidak ada larangan jika yang menduduki jabatan komisaris adalah pihak pemegang saham itu sendiri. Hanya untuk perusahaan terbuka, perundang – undangan di bidang pasar modal mengharuskan perusahaan untuk memiliki yang namanya “komisaris independent” yakni yang tidak terafiliasi dengan pihak direksi maupun pemegang saham.”

[36] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru…,Op. Cit., hal. 110 – 112

[37] Ibid., hal 115-116.

[38] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 164

[39] Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Cetakan I (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 177.

[40] Baradila Katoppo. “Mcmilih Surviving Entity Dari Merger Lima Bank”. Kompas, 14 Descmber 2001, hal. 15.

[41] Adrian Sutedi, cp.cit., hal. 110.

[42] Ibid., hal. 110.

[43] Ibid., hal. 111.

[44] Sutan Remy Sjahdeini, Merger Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Makalah, tt,Tidak dipublikasikan, hal. 15, dalam Ibid., hal. 111.

[45] Ibid., hal. 113-114.