Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dari Berbagai Perspektif


A.  ­CSR dari Perspektif Filosifis

Filosofis adalah berpikir hakikat, sedangkan hakikat merupakan kenyataan dalam arti yang sebenar-benarnya. Hakikat adalah kenyataan di hadapan Allah SWT, yang apabila ingin mencapainya, maka harus melewati yang namanya syariat. Syariat adalah metode (cara) atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan sebenarnya. Hakikat adalah maksud dan tujuan sebenarnya.[1]

Fiosofis atau filsafat secara harfiah berarti cinta terhadap kebijaksanaan. Refleksi rasional tentang prinsip-prinsip umum dengan tujuan mencari pemahaman lebih mendalam tentang segala hal. Studi filsafat di sekolah biasanya melatih orang untuk melakukan analisis secara tertib dan untuk mengklasifikasikan berbagai teori, metode, argumen, ungkapan, dan konsep. Tujuan utama filsafat adalah memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dunia, kendati pada abad ke-20 filsafat cukup banyak menyibukkan diri untuk menyelidiki prosedur prosedurnya.[2]

Filosofi CSR (Corporate Social Responsibiliy) tentunya melihat lebih jauh lagi tentang hakikat CSR, di mana banyak perusahaan besar di dunia sekarang ini seolah ”berlomba-lomba” melakukan kegiatan CSR. Bahkan di Indonesia, setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diwajibkan untuk menyelenggarakan kegiatan CSR.

Terlepas karena kewajiban atau karena kesadaran sendiri, ada yang mengatakan bahwa CSR itu adalah ”zakatnya” perusahaan. lstilah zakat ini, bagi penganut agama Islam, adalah bahwa seseorang yang memiliki kelebihan harta dengan kesadarannya diwajibkan mengeluarkan zakat. Begitupun perusahaan yang memiliki kelebihan keuntungan seyogianya memiliki kesadaran mengeluarkan atau berbagi sedikit dan kelebihannya dengan stakeholder (publik pemangku kepentingan atau publik terkait).[3]

Filsafat CSR adalah: Pertama, CSR yang filantropi (betul-betul dilandasi kedermawanan atau tanpa ada unsur lain). Kedua, CSR yang promosi (selain filantropi ada unsur lain, yaitu untuk membentuk, meningkatkan atau memelihara citra dan reputasi perusahaan).

Corporate philanthropy (filantropi korporat) adalah suatu kontribusi langsung dan korporat atau perusahaan untuk sebuah charity or cause (kegiatan atau sesuatu tujuan tertentu). Wujudnya sangat sering dalam bentuk kegiatan hibah tunai, donasi dan/atau dalam bentuk pelayanan pelayanan. Meskipun hal ini bersifat tradisional, karena semuanya adalah inisiatif korporat, namun secara historis menjadi sarana untuk mendukung kesehatan komunitas dan agen-agen pelayanan kemanusiaan, pendidikan dan seni, sebagaimana halnya organisasi yang memiliki misi untuk melindungi lingkungan.[4]

Adapun tipe-tipe program filantropi adalah:

  1. Providing cash donation (pembenian donasi tunail
  2. Offering grants (pemberian hibah);
  3. Awarding scholarship (pemberian beasiswa);
  4. Donating product (donasi produk, misalnya memproduksi sepatu dan bahan baku daur ulang);
  5. Donating services (donasi pelayanan, misalnya mendinikan pusat informasi);
  6. Providing technical expertise (pemberian keterampilan teknis, misalnya peninjauan materi pendidikan kesehatan bagi pedoman nutrisi);
  7. Allowing the use of facilities and distribution channel (pemberian penggunaan fasffitas dan saluran distribusi, misalnya dealer mobil membuat ruangan untuk meneliti jok mobil;
  8. Offering the use of equipment (pemberian penggunaan peralatan), misalnya peralatan medis untuk memelihara kesehatan.[5]

Definisi filantropi adalah perusahaan melakukan tindakan-tindakan kedermawanan. Hal ini sangat berbeda dan CSR, sebab dalam filantropi tindakan kedermawanan belum tentu terkait dengan harapan-harapan masyarakat.[6] Pengertian lain dan filantropi adalah bertujuan untuk mencintai rasa kemanusiaan secara praktik perbuatan khusus kedermawanan pada skala besar.[7]

Definisi filantropi perusahaan adalah suatu cara memberikan dukungan sesuatu kepada komunitas lokal, peningkatan kualitas hidup para karyawan, dan praktik kewarganegaraan sebuah perusahaan.[8]

Corporate Cause Promotion (korporat untuk tujuan promosi) adalah menyediakan dana sebagai bentuk kontribusi untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian tentang tujuan sosial tertentu. Komunikasi persuasif adalah fokus utama untuk inisiatif kegiatan ini, dengan tujuan membangun kesadaran dan perhatian terhadap sebuah isu sosial dari atau untuk membujuk para donatur potensial dan sukarelawan untuk berkontribusi atau berpartisipasi dalam mendukung suatu tujuan tertentu.[9]

CSR yang bertujuan promosi dibedakan dari filantropi:

  1. Hal ini dibedakan dan tujuan yang berkaitan dengan marketing yang berkontribusi dan mendukung, bukan menjual produk tertentu dari perusahaan;
  2. Hal ini dibedakan dari marketing sosial yang fokusnya bukan memengaruhi perubahan perilaku individu. Meskipun tujuan kampanye promosi adalah mengundang orang bertindak, hampir semua mereka secara bersama-sama di daerah itu memberikan kontribusi uang atau waktu;
  3. Hal ini dibedakan dari filantropi yang melibatkan lebih banyak perusahaan, sebagai kampanye promosional yang sering kali melibatkan permintaan dan distribusi material, serta partisipasi dalam kegiatan public relations (Humas), dan mencakup kelayakan sponsor perusahaan;
  4. Walaupun sebuah tujuan promosi dapat saja mencakup sukarelawan, yang berada di belakang untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan impelentasi material promosional;
  5. Hal ini dibedakan dan praktik bisnis yang bertangung jawab secara sosial yang memokuskan terutama pada komunikasi eksternal, kebalikan terhadap operasional internal, dan target khalayak bagi promosi di luar organisasi.[10]

Fiosofis CSR terdiri dari CSR yang berorientasi filantropi (kedermawanan, suka menderma atau cinta sesama manusia) dan CSR yang beronientasi promosi (memperkenalkan sesuatu). Tujuan CSR yang kedua ini berbeda. Jika orientasi CSR filantropi lebih mengarah pada adanya sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa tanggung jawab) terhadap stakeholder perusahaan, maka yang kedua ini diikuti dengan agenda tersembunyi untuk mempromosikan sesuatu yang diperoleh dengan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab ini.

Dewasa ini, isu kedermawanan sosial perusahaan mengalami perkembangan pesat sejalan dengan berkembangnya CSR. Salah satu ide pokoknya terkait dengan mandat dunia usaha untuk tidak sematamata mencari keuntungan, tetapi harus pula bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial. Di antaranya, yang lazim dilakukan perusahaan, adalah menyelenggarakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta kegiatan karitatif.[11]

Program-program tersebut dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dan kepedulian dan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat, yang merupakan pihak paling potensial terkena dampak operasi perusahaan. Mereka menyadari bahwa masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting, turut memengaruhi misi dan eksistensi perusahaan dalam jangka panjang. Sehingga bagi perusahaan, implementasi program sosial dipandang sebagai aspek strategis, setidaknya untuk meningkatkan citranya sebagai pihak yang peduli dan tanggap terhadap lingkungan sosial. Dalam konteks ini, tanggung jawab sosial merupakan salah satu dari empat pilar tanggung jawab yang dimiliki oleh perusahaan, seperti tanggung jawab ekonomi, di mana perusahaan harus menghasilkan keuntungan, tanggung jawab menari hukum, dan tanggung jawab etis.[12]

Menurut studi yang dilakukan oleh Jung, kedermawanan sosial perusahaan pada umumnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Faktor pertama menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan, di mana perusahaan besar dan mapan cenderung lebih potensial memberi sumbangan daripada perusahaan kecil yang belum mapan. Kedua, regulasi dan sistem perpajakan yang dibuat pemerintah. Semakin buruk penataan pajak dalam negeri akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Ketiga, bentuk kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Kepemilikan dan pengelolaan perusahaan
yang terpisah cenderung memiliki prakarsa untuk mendirikan yayasan sosial.[13]

Penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (2003) untuk kasus Indonesia menunjukkan hal yang serupa. Sebagai contoh, rata-rata sumbangan perusahaan multinasional adalah Rp236 juta per tahun. Angka ini jauh di atas rata-rata sumbangan perusahaan nasional dan lokal yang hanya sebesar Rp.45 juta dan Rp16 juta. Studi ini juga menghasilkan temuan bahwa 37 persen responden menyatakan secara tegas akan menaikkan jumlah sumbangan sosial mereka kepada masyarakat jika ada kebijakan pengurangan pajak (tax deduction) dan pemerintah.[14]

Karena kegiatan CSR filantropi lebih terstruktur dan sistematis di mana mereka melakukan programnya betul- betul berkesinambungan sehingga dan kegiatan tersebut stakeholder memiliki nilai tambah dalam jangka waktu panjang. Sebagai contoh bagaimana mendidik peternak domba agar bisa memenuhi pasokan ketika hari raya Idul Qurban tiba. Selama ini, domba untuk kebutuhan tersebut belum dapat terpenuhi karena tingkat produktivitas peternak sangat rendah. Melalui CSR filantropi peternak diajari cara beternak yang baik sehingga produknivitasnya naik. Contoh lain adalah membuka pasar yang lebih luas. Dengan CSR filantropi, misalnya, kelompok pengusaha home industri (perajin) diajari membuka internet atau membuat situs perdagangan (cyber communication atau cyber marketing). Melalui pemasaran online  ini akan mengundang pembeli bukan hanya dan lokal tapi juga dan manca negara.[15]

Lain halnya dengan CSR promosi yang lebih banyak bertindak seperti Sinterklas yang membagi-bagikan hadiah pada hari Natal kepada anak- anak. Dewasa ini CSR promosi banyak merebak. Di Indonesia, misalnya, setiap ada bencana alam, maka banyak partai politik atau organisasi massa yang melakukan CSR promosi. Mereka membagi-bagikan makanan dan pakaian kepada korban bencana, sambil membawa wartawan cetak atau elektronik untuk meliputnya, seakan-akan organisasi itu dermawan, padahal mereka punya tujuan lain, yakni menarik simpati dan korban bencana untuk mendukung mereka dalam pemilihan umum mendatang. CSR yang demikian hanya bersifat sporadis, tidak terstruktur, tidak sistematis, bahkan tidak berkesinambungan.[16]

Kegiatan CSR merupakan sesuatu yang penting bagi setiap organisasi, baik perusahaan maupun organisasi yang nirlaba. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus ada persiapan yang baik dan matang, dan perlu membentuk jalinan komunikasi agar dapat menjamin komunikasi antar manusia untuk mengatasi ruang dan waktu.[17]

Hubungan yang erat dalam sebuah korporat atau organisasi dapat membawa keberhasilan program CSR. Tujuan dan pembinaan publik eksternal adalah untuk mengeratkan hubungan dengan orang-orang di luar lembaga/organisasi sehingga terbentuk opini publik yang favourable terhadap korporat atau organisasi yang pada akhirnya akan membangkitkan simpati dan kepercayaan publik terhadap lembaga/organisasi. Salah satu jalinan hubungan eksternal tersebut adalah membina hubungan dengan komunitas lokal. Asal kata komunitas berasal dan bahasa Yunani, oikos, yang berarti rumah atau rumah tangga, sama dengan ekologi (sistem lingkungan) atau ekonomi (oikosnomos), sehingga komunitas dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal pada daerah yang sama. Dan definisi awal inilah asal mula hubungan komunitas menjadi titik perhatian para ahli ilmu sosial, khususnya public relations untuk lebih dalam mempelajari manfaat ilmu sosial untuk diterapkan pada masyarakat. Oleh sebab itu, diadopsilah makna komunitas yang berasal dan ilmu biologi tersebut, yang intinya mempelajari bagaimana suatu keseimbangan ekosistem dapat berjalan dengan harmonis apabila di antara komunitas terjalin interaksi yang baik, yang diterapkan pada sebuah perusahaan guna memperoleh keuntungan baik secara material maupun immaterial.[18]

Membuat program CSR perlu memperhatikan:

  1. Pemahaman norma yang berlaku di lingkungan setempat (nilai, kepercayaan, aturan dan agama);
  2. Siapa pemimpinnya (pengukuhan hubungan penting untuk memahami struktur kepemimpinan komunitas);
  3. Siapa yang paling berpengaruh (saluran informal & formal, bisa sama atau beda untuk setlap persoalan);
  4. Siapa ”penjaga gawang” (individu yang punya posisi strategis dan peduli dengan ide perusahaan);
  5. Siapa yang seharusnya diajak bekerja sama. Untuk mencapai program CSR yang ideal dengan indikator penilaian dasar:
    • a.   Hubungan bersifat timbal balik. Artinya, hubungan yang baik itu akan menghasilkan keuntungan bersama atau mutualisme dan segi material maupun immaterial di antara kedua belah pihak;
    • b.   Keterbukaan. Artinya, sebuah program hubungan yang dikatakan harmonis antara kedua belah pihak bila terjalin komunikasi yang sifatnya terbuka akan kritik, saran, dan pendapat yang sifatnya positif maupun negatif dengan mengindahkan batas-batas norma yang telah disepakati;
    • c.   Ekspektasi yang realistik dan menjanjikan. Sebuah hubungan yang dapat diukur tingkat keberhasilan ataupun kegagalannya yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam pengembangan jalinan hubungan selanjutnya;
    • d.   Persamaan. Artinya di antara komunitas yang mengadakan jalinan hubungan sebaiknya tanda atau signal determinasi dikesampingkan, dengan harapan agar jalinan komunikasi yang lebih terbuka dan menghasilkan sesuatu yang sifatnya ”radikal” untuk kesejahteraan bersama;
    • e.   Terstruktur, mengindikasikan bahwa jalinan hubungan yang dilakukan tidak sembarangan tetapi menyangkut sifat yuridis matapun defacto dan sebuah komunitas yang lebih terorganisir dalam merencanakan pembangunannya.[19]

Aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dapat meningkatkan hubungan perusahaan dengan para tetangga dalam komunitas korporat atau oranisasi. Suatu korporat atau organisasi mempunyai kewajiban sosial sebagai warga perusahaan untuk membantu kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan di daerah perusahaan tersebut melakukan aktivitasnya. Lebih dari 40 persen bantuan perusahaan diilhami oleh keinginan untuk mengembalikan sesuatu (cash back) kepada komunitas yang telah membantunya. Aksi kemanusiaan perusahaan untuk kebutuhan umum diarahkan pada pemberian bantuan kesejahteraan sosial dan ekonomi komunitas yang mereka hadapi. Sedangkan sumbangan untuk kesejahteraan komunitas meliputi bantuan pelayanan sosial, kesehatan, kebudayaan, peningkatan asosiasi kemasyarakatan dan rekreasi, dan gerakan kewarganegaran yang baik. Sehingga bantuan aktivitas ini menimbulkan citra reputasi perusahaan sebagai “perusahaan yang baik untuk tempat bekerja,” membina identitas lokal untuk pabrik lokal, dan menghapusan ketidak percayaan komuitas terhadap kepemilikan perusahaan.[20]

Program CSR, yaitu sebagai salah satu bentuk penanggulangan manajemen krisis. Krisis adalah masa gawat atau saat penting, di mana situasi tersebut dapat merupakan titik baik atau sebaliknya. Oleh karena itu, masa krisis adalah momen-momen tertentu. Apabila krisis ditangani dengan baik dan tepat waktu, momen mengarah pada situasi membaik, dan sebaliknya apabila tidak segera ditangani, krisis mengarah kepada situasi memburuk, bahkan dapat berakibat fatal.[21]

Sebagai contoh cara penanggulangan krisis bencana lumpur Lapindo di Porong, Jawa Timur di Indonesia. Idealnya tiada lain harus melalui penanganan manajemen krisis yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan kepada komunitas lokal yang dirugikan melalui program CSR yang akan mengembalikan citra perusahaan PT Lapindo apabila semua program cash back-nya berjalan dengan baik dan lancar. Adapun aspek penilaian suatu program CSR dikatakan berhasil apabila program tersebut memiliki keuntungan bagi komunitas, memiliki kesejalanan dengan nilai-nilai yang ada di komunitas perusahaan dan program tersebut memiliki relevansi tinggi dengan misi perusahaan.[22]

Konsep CSR, di masa lalu, korporat lebih banyak mengupayakan keuntungan bagi mereka sendiri dengan kewajiban melakukan recovery terhadap lingkungan. Hal ini terkait dengan posisi mereka yang berada di remote area. Dalam kondisi ini, tanggung jawab sosial perusahaan terhadap komunitas yang ada di sekitarnya lebih banyak bersifat charity. Hal ini ditambah lagi dengan adanya kecenderungan memisahkan pemukiman karyawan dari komunitas lokal. Kecenderungan pemisahan ini didorong juga adanya pola hidup yang berbeda antar masing-masing komunitas. Kondisi ini kemudian memunculkan banyak kecemburuan sosial dan komunitas lokal terhadap perusahaan. Kecemburuan sosial ini dapat memuncak dan akhirnya meletus menjadi konflik. Potensi ini terjadi apabila terdapat kesalahan pengelolaan oleh perusahaan terhadap lingkungannya yang mengakibatkan kerugian pada komunitas lokal. Karena itu, perusahaan kemudian dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya bahwa perusahaan harus mempunyai kewajiban sosial terhadap komunitas lainnya sebagai sesuatu yang berdiri sejajar dan saling membutuhkan.[23]

Di era tahun 1970-an dan 1980-an, kebanyakan perusahaan tidak begitu peduli dengan komunitas yang ada di sekitar wilayah perusahaan, terutama komunitas yang pola hidupnya sangat jauh berbeda dengan perusahaan. Banyak perusahaan yang ‘memaksakan’ komunitas lokal untuk mengikuti ukuran-ukuran nasional. Berbeda halnya dengan komunitas lokal yang menggunakan ukuran-ukuran mereka sendiri dalam menanggapi keberadaan perusahaan. Perbedaan persepsi ini banyak mengakibatkan ketidak pedulian di antara keduanya. Adanya aktivitas perusahaan yang terkadang menimbulkan dampak sosial negarif (misalnya alkoholisme, kejahatan, dan kondisi yang tidak sehat lainnya) tidak mendapat perhatian dari perusahaan (diadaptasi dari Nugraha, dalam Ardianto. 2009: 269-270).

Program CSR sering kali kurang memperhatikan komunitas perusahaan dan hanya menguntungkan perusahaan saja. Pengeluaran biaya untuk program CSR terkadang hanya bersifat formalisme tanpa dilandasi semangat memandirikan masyarakat dan hanya bersifat charity saja.

Pada era 1990-an hingga sekarang mulai tampak adanya kepedulian perusahaan terhadap komunitas di sekitarnya, dan hal ini banyak disebabkan oleh adanya tekanan komunitas perusahaan. Perusahaan diwajibkan untuk selalu mengikuti perkembangan sosial komunitas perusahaan. Program CSR yang dilakukan merupakan perhatian untuk mengatasi tuntutan dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan hak-hak komunitas lokal.

Keberhasilan CSR perusahaan pada masa sekarang ditentukan oleh adanya perhatian terhadap lingkungan sosial. Artinya, bahwa sukses komersial perusahaan dilihat juga dan bagaimana perusahaan mengelola CSR.[24]

B.  CSR dari Perspektif Sosiologis

Sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang di dalam masyarakat tersebut, sosiologi memegang peranan penting dalam membantu memecahkan masalah-masalah sosial, termasuk di dalamnya kemiskinan, konflik antar-ras, delinkuensi anak-anak, dan lain-lain. Dalam hal ini sosiologi memang tidak terlalu menekankan pada pemecahan atau jalan keluar dari masalah tersebut, namun berupaya menemukan sebab-musabab terjadinya masalah itu. Usaha-usaha untuk mengatasi masalah sosial hanya mungkin berhasil apabila didasarkan pada kenyataan dan latar belakangnya. Di sinilah peranan sosiologi. Namun, peranan itu tidak akan terwujud tanpa didasari teori dan pemahaman akan ilmu sosiologi itu sendiri.[25]

Program CSR tentunya memerlukan pendekatan sosiologi, sehingga dapat menemukan sebab-sebab mengapa suatu masyarakat atau komunitas memerlukan program CSR, sehingga program yang akan dibuat lebih mengena atau berhasil. Artinya need and want (kebutuhan dan keinginan) program CSR seperti apa lebih terdeteksi dengan pendekatan sosiologi.

Sosiologi jelas merupakan iimu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah:

  1. Bersifat empiris, yang berarti bahwa iimu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat speku1atif;
  2. Bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dan hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan.-hubungan sebab-akibat, sehingga menjadi teori;
  3. Bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam anti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama;
  4. Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah baik buruknya fakta tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.[26]

Sosiologi struktural fungsionalis Parson menyatakan, bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Menurut perspektif tersebut, power masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif. Logikanya, pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial. Kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Hal inilah yang oleh Schumacher disebut pemberdayaan.[27]

 CSR dan pemberdayaan akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum, maksudnya proses pemberdayaan itu dibarengi oleh adanya power kelompok terhadap kelompok lainnya. Weber mendefinisikan power sebagai kemampuan seseorang/individu/ kelompok untuk mewujudkan keinginannya, kendatipun terpaksa menentang yang lainnya. Jika keadaan seperti itu, istilah pemberdayan yang disamakan dengan power harus dinegosiasikan sebagai strategi untuk mengadakan reformasi sosial.[28]

Craig dan Mayo menyatakan perspektif marxis terhadap power dalam masyarakat kapitalis tidak dapat dipisahkan dari kekuatan ekonomi. Power ini bersinggungan erat dengan kepentingan-kepentingan  kapitalis lewat kerja sama trans-nasional yang berskala global. Dalam keadaan semacam itu, pemberdayaan masyarakat miskin dibatasi oleh gerakan-gerakan kapitalis. Kanena itu, masyarakat miskin dan sangat miskin, harus diberdayakan untuk dapat berpartisipasi lebih efektif dalam proyek dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Kemampuan tawar-menawar (bargainning position) dan pelayanan terhadap masyarakat miskin pun semakin meningkat. Namun demikian, keadaan ini tidak terlepas dari masalah untung-rugi dalam pasar global.[29]

Perspektif marxis terhadap power of ideas adalah proses setting ideologi dan konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci untuk menganalisis kerangka kerja ekonomi dan kekuatan politik. Keduanya dimanfaatkan sebagai alat legitimasi dan contestable yang efektif dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi, politik, dan transformasi sosial.[30]

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat dihubungkan dengan konsep mandini, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menunut Rappaport, pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hakhaknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan ”keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber Iainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan eksternal. Namun demikian, Mc Ardle mengimplikasikan Hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.[31]

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuannya berpartisipasi.

Menurut Chairil N. Siregar, program CSR merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan di Indonesia sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan adanya undang-undang ini, maka industri atau korporasi wajib untuk melaksanakan, tetapi kewajiban tersebut bukan merupakan beban yang memberatkan. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi juga aspek sosial dan aspek lingkungan yang biasa disebut Triple bottom line. Sinergi tiga elemen: profit-people-planet ini, merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.[32]

Konsep CSR telah dikenal sejak awal 1970, yang secara diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Corporate Social Reponsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Masih banyak perusahaan yang tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (cost center). CSR tidak memberikan hasil, demikian mereka berkilah.[33]

Bila dilihat dari belum jelasnya aturan mengenai pelaksanaan CSR perusahaan ini dapat menimbulkan penafsiran sendiri. Perlu diketahui bahwa yang terpenting dalam pelaksanaan CSR adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable). Melakukan program CSR berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaatnya lebih besar baik bagi perusahaan maupun stakeholder. Sebagai contoh program CSR berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah pengembangan bio-energi, perkebunan rakyat, dan pembangkit listrik tenaga air. Program CSR berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan CSR melibatkan semua pihak yang secara terus-menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan sehingga akhirnya kemandirian masyarakat yang terlibat dalam program akan terwujud. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menurut mereka, di dalam masyarakat terdapat stratifikasi sosial, dan stratifikasi ini dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau yang membutuhkan proses belajar. Agar masyarakat terstimulasi mengubah stratifikasi, maka perlu ada pemberdayaan agar mereka sadar dan bangkit dan keterpurukannya. Kondisi ini dapat diatasi melalui program yang bersifat holistik yang dapat membangun tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat. Untuk itu perlu dukungan program CSR yang berkelanjutan.[34]

Menurut B. Tamam Achda, perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat itulah yang kemudian di Indonesia memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan garis tuntunan (guideline) bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja (selfish) sehingga mereka teralienasi atau terasing dan lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR menjadi basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretis, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholder-nya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai “agen moral”. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan, dalam pandangan CSR, adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai hasil terbaik dengan paling sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar scseorang ”memperlakukan orang lain sama seperti bagaimana ia mengharapkan diperlakukan oleh orang lain”.[35]

Perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etika akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Karena itu, CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggung-jawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Tanggung jawab perusahaan mencakup empat jenjang yang merupakan satu kesatuan, yaitu; ekonomis, hukum, etis, dan filantropis Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun dalam tujuan mencari laba, sebuah perusahaan juga hanus bertanggung jawab secara hukum dengan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku. Secara etis perusahaan juga bertanggung jawab mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma-norma kemasyarakatan. Tanggung jawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya. Melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa “keberterimaan” masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis pada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti ini, dapat dikatakan bahwa CSR adalah prasyanat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologis kultural yang kuat dan masyarakatnya.[36]

C.  CSR dari Perspektif Antropologis

Antropologi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk mempenoleh pengertian yanglengkap tentang keanekanagaman manusia. Ahli antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis, melacak perkembangan manusia menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya di dalam jenis (species). Ahli antropologi budaya meletakkan perhatiannya pada kebudayaan manusia atau cara hidupnya di dalam masyarakat. Dalam bidang antropologi budaya, para ahli arkeologi mencoba menerangkan perilaku manusia dengan mempelajari objek material, biasanya yang berasal dan kebudayaan masa lampau, ahli bahasa mempelajari bahasa sebagai wahana untuk melestarikan dan meneruskan kebudayaan kepada generasi Berikutnya; ahli etnologi mempelajari kebudayaan sepanjang dapat dihayati dan didiskusikan dengan orang-orang yang kebudayaannya dapat dipahami.[37]

Kemudian dalam hal ini dapat dilihat kaitan budaya perusahaan dan CSR. Budaya perusahaan adalah “perekat”, yang menahan suatu perusahan agar bersatu. Budaya korporat menggabungkan nilai-nilai organisasi, norma-norma berperilaku, kebajikan, dan prosedur-prosedurnya. Pengaruh yang paling penting pada budaya perusahaan adalah budaya nasional suatu negara di mana perusahaan berlokasi. ini kelihatannya jelas, namun ada faktor-faktor lain yang juga membantu membentuk budaya korporat, yaitu pandangan dan interaksinya dengan “dunia luar”. Struktur kepemilikan perusahaan berperan pula dalam mendefinisikan budaya perusahaan. Misalnya, budaya perusahaan keluarga kemungkinan akan sangat berbeda dengan perusahaan publik.

Esensi dari konsep budaya perusahaan di atas terlihat baik dan bagus. Tapi, apakah konsep tersebut memiliki dampak yang dapat diukur pada perilaku staf perusahaan? Memang ada kendati dampak tersebut sulit dikuantitatifkan. Memiliki budaya perusahaan yang kuat akan menciptakan identitas yang jelas bagi staf mengklasifikasi perilaku dan harapannya, dan biasanya proses pengambilan keputusan akan mudah karena begitu banyak yang telah didefinisikan. Orang tahu di mana mereka berdiri dan apa yang diharapkan dari mereka. Meskipun demikian, budaya perusahaan yang kuat juga memiliki kelemahan. Perusahaan yang memiliki budaya yang telah mapan akan sulit berubah. Ketidakmampuan untuk bersikap fleksibel, bertindak cepat, dan berubah secara cepat, merupakan kelemahan kompetitif dalam ekonomi pasar global. Budaya perusahaan yang lemah hanya akan berpengaruh sedikit pada perilaku karyawan.

Jika berbicara mengenai hasil akhir, adalah penting bagi suatu perusahaan untuk memiliki budaya yang bertanggung jawab. Dengan budaya pertanggung jawaban yang kuat, sebuah perusahaan tidak perlu menerapkan sistem pemantauan yang mahal, yang sering kali melukai moral karyawan dan mengurangi produktivitas. Kini banyak ekonomi pasar yang sedang tumbuh, mendesak perusahaan asing untuk memberikan kontribusi nyata bagi komunitas lokal, sebagai bagian dan syarat masuk ke pasar yang baru.

Apakah urusan bisnis hanya bisnis? Pernyataan itu bisa benar beberapa tahun yang lalu. Namun pada era globalisasi sekarang, pernyataan itu sangat salah. Pandangan ekonomi tradisional telah mendefinisikan tanggung jawab perusahaan sebagai tangggung jawab meningkatkan kemampuan memperoleh keuntungan dan meningkatkan produktivitas. Kelemahan pandangan ini adalah tidak mempertimbangkan hubungan antara tindakan perusahaan dengan situasi sosial di mana perusahaan berada. Pandangan ini mengabaikan “Corporate Social Responsibi1ity” atau ”Corporate citienship” (kewarganegaraan perusahaan) yang didefinisikan sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh perusahaan terhadap karyawan, pemegang saham, konsumen, pemasok, dan komunitas stakeholder di mana perusahaan menjalankan bisnis dan melayani pasar. Konsep ini paling tidak menuntut pengamatan hukum, regulasi, dan praktik-praktik bisnis yang dapat diterima di tempat perusahaan beroperasi. Inti dan corporate citienzenship adalah membangun hubungan dengan komunitas. Bisnis di seluruh dunia berakar pada komunitas yang dilayaninya. Bisnis yang sehat bergantung pada komunitas yang sehat dan begitu pula sebaliknya. Corporate citisznship melambangkan paduan antara keinginan perusahaan dengan keinginan publik.[38]

Ada empat level dasar corporate citizenship yang dioperasikan semua perusahaan secara terus-menenus. Level di mana perusahaan berpartisipasi sering kali ditentukan oleh harapan masyarakat dalam suatu budaya tertentu. Misalnya di Jepang, pemerintah telah lama menjadi sumber utama pendanaan dalam pengembangan sosial. Oleh kanena itu sedikit sekali perusahaan Jepang yang melibatkan diri dalam level corporate citizenship yang lebih tinggi, hanya karena orang-orang Jepang tidak mengharapkannya dari bisnis. Pada tingkatan tertentu hal yang sama juga berlaku di Eropa, sebagai akibat dari sejarah masyarakatnya.[39]

Di Amerika Serikat berlaku hal yang sebaliknya. Perusahaan perusahaan Amerika Serikat menghadapi harapan yang tinggi agar terlibat dalam komunitas, dan sebagai hasilnya, perusahaan cenderung untuk lebih terlibat dalam isu-isu corporate citizenship dibandingkan perusahaan perusahaan di negara lainnya. Perusahaan asing yang ingin melakukan bisnis di Amerika Serikat menemukan bahwa keterlibatan corporate citizenship yang tidak memadai telah menimbulkan kritik. Kasus perusahaan minyak BP (British Petroleum) yang bocor dan mencemari laut teluk Meksiko beberapa waktu lalu, merupakan contoh konkret betapa tingginya tuntutan terhadap perusahaan untuk berperilaku ”good corporate citizenship”, sampai-sampai Presiden Amerika Serikat Barack Obama turun tangan untuk menekan perusahaan Inggris itu agar melakukan segala dayanya untuk mengatasi pencemaran laut tersebut. BP (British Petroleum) nyaris mengalami kebangkrutan karena terpaksa menjual sebagian asetnya dengan harga miring guna menutupi biaya besar akibat pencemaran tersebut. Akibat rentetan kasus tersebut, CEO perusahaan kondang tersebut dicopot dari posisinya.[40]

Empat level dasar corporate citizenship yang diidentifikasikasi oleh periset di bidang ini adalah:

  1. Kebaikan umum. Di luar tujuan dan tanggung jawab moral, perusahaan melibatkan diri dalam serangkaian besar proyek hanya karena budaya korporatnya mengabdikan diri pada “kebaikan umum,”;
  2. Kepentingan pribadi. Memberi dukungan program-program seperti pendidikan dan pelatihan, yang mendukung minat jangka panjang serta kesuksesan perusahaan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan perangkat lunak komputer mendanai fakultas teknik komputer di sebuah universitas, dengan harapan universitas tersebut akan menjadi pemasok insinyur-insinyur perangkat lunak di masa mendatang;
  3. Keuntungan langsung. Mendapatkan hasil yang baik dengan melakukannya secara baik. Sebagai contoh, perusahaan Inggris, the Body Shop, yang terlibat dan mendukung kampanye yang berkaitan dengan lingkungan, dan selanjutnya menggunakan dukungan tersebut untuk memasarkan produknya;
  4. Kepentingan pribadi komersial. Perusahaan terlibat dalam kegiatan sosial untuk memenuhi tuntutan hukum.[41]

Studi Kasus corporate citizensip. The Boston College Center for Corporate Gommuni Relations melakukan studi pada perusahaan perusahaan multinasional Amerika Serikat dan menunjukkan bahwa konsep corporate citizenship semakin dipertimbangkan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Studi tersebut menemukan bahwa 67 persen eksekutif multinasional Amerika Serikat melaporkan perusahaan mereka telah memasukkan hubungan masyarakat dalam perencanaan strateginya, 73 persen menyatakan bahwa program hubungan masyarakat tersebut memiliki kebijakan yang tertulis atau pernyataan misi, dan 56 persen mengatakan bahwa mereka memiliki suatu perencanaan strategis mengenai hubungan masyarakat.[42]

Jadi, apakah corporate citizenship memiliki dampak pada hasil akhir perusahaan? Kelihatannya demikian. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Institute of Global Ethics pada tahun 1996 silam, 55 persen konsumen di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka selalu mempertimbangkan etika dan nilai-nilai perusahaan ketika membeli produk atau jasa dari perusahaan itu. Dalam bisnis global, jelas bahwa reputasi menentukan apakah konsumen akan membangun dan mempertahankan hubungannya dengan suatu perusahaan, atau beralih kepada pesaing. Oleh karena itu, mengelola reputasi perusahan melalui partisipasi dalam program corporate citizenship adalah penting, karena menjadi sarana untuk meraih bangsa pasar dan mencapai sasaran bisnis.

Perusahaan semakin menyadari tanggung jawab sosial guna menunjang berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat baik yang formal maupun informal, seperti sektor kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan. Reputasi perusahaan mewujudkan perkiraan umum dan stake holder perusahaan seperti karyawan, konsumen, pemasok, distributor, pesaing, dan masyarakat. Reputasi terdiri dar persepsi bagaimana orang lain meihatnya, sehingga reputasi tidak di bawah kendali siapa pun, dan sangat sulit untuk dimanipulasi.

Corporate citizenship yang ideal. Akhir April 2006, media nasional Indonesia melaporkan rencana Pemerintah Daerah D.I. Yogyakarta untuk membuat rencana induk (masterplan) kota lingkungan melalui peraturan daerah lingkungan hidup. Pelestarian suatu kehidupan kota memang sangat bergantung pada survival (ketahanan hidup) dan daya sangga lingkungan. Maka pilihannya tidak lain dari model ecocity. Banyak yang percaya ecocity adalah jaminan bagi lestarinya kehidupan kota. Karena itu, para pecinta lingkungan hidup, misalnya, sangat yakin bahwa kota-kota di dunia saat ini sangat terpolusi dan tidak ramah lingkungan.[43]

Di awal abad 21, tidak ada pilihan bagi perancang kota dunia kecuali membangun model ecocity sebagai bentuk program corporate citizenship kepada komunitasnya dengan melibatkan berbagai unsur publik khususnya pemerintah. Sebab pemerintah mempunyai kebijakan atau regulasi untuk menentukan sebuah perencanaan kota. Sekarang ini sejumlah kota di Indonesia mulai merancang model-model kota semacam ini, seperti yang dilakukan dijakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta, yang mulai mengembangkan konsep pemulihan kualitas udara yang sehat. Ada pula kota yang mengembangkan inovasi baru, seperti sampah kota yang didaur-ulang dan diolah menjadi sumber energi.[44]

Perencana kota dapat bekerja sama dengan pelaku pasar, khusus investor guna mendaur ulang sampah dan mengolahnya menjadi sumber energi alternatif sebagai implementasi perkembangan corporate citizenship yang lebih modern dan berdaya guna tinggi. Ada sisi-sisi khas dari model ideal ecocity, misalnya, model ecocity mesti mengurangi waktu yang dihabiskan untuk berkeliling dan bepergian dalam kota; ecocity berupaya memudahkan tenaga kerja perkotaan mencapai tempat-tempat kerja; ecocity meningkatkan level kepadatan penduduk kota, karena tempat kerja cenderung di pusat kota, dan dikelilingi oleh city living tanpa menimbulkan masalah lingkungan, limbah, pembuangan sampah, parit mampet, polusi yang membuat udara tidak sehat, dan kemacetan yang menghabiskan banyak waktu.[45]

Stakeholder perlu dilibatkan dalam rancang-bangun ecocity, seperti pecinta lingkungan hidup, pengembang, pembuat kebijakan kota, pakar atau kalangan universitas dan peneliti, serta masyarakat. Salah satu contoh menarik adalah proyek yang dikembangkan oleh Universitas Columbia, Amerika Serikat, yakni Vertical Farm Project, sebuah areal pertanian yang dibangun di pinggiran kota untuk kebutuhan ekosistem lingkungan hidup.[46]

Baca juga:

Pengertian dan Definisi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Model Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Teori-Teori Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dari Berbagai Perspektif


[1] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011, hal. 80.

[2] Bryan Magee, The Story of Philosophy, Kisah Tentang Filsafat,  Penerjemah: Marcus Widodo dan Hardono hadi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008.

[3] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 81.

[4] Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Rerponsibility, Hoboken New Jersey: John Wiley & Sons, 2005, hal. 144.

[5] Ibid., hal. 145-146.

[6] Ralph Tench dan Liz Yeomans, Exploring Public Relations, Prentice Hall, London, 2006, hal. 98.

[7] Ibid., hal. 100.

[8] Cutlip, Center dan Broom, dalam Ralph Tench dan Liz Yeomans, op. cit., hal. 100.

[9] Ralph Tench dan Liz Yeomans, op. cit., hal 49-50.

[10] Ibid., hal. 50.

[11] Fajar Nursahid, Tanggung Jawab Sosial BUMN, Primamedia. Depok, 2006, hal. 1.

[12] Ibid., hal. 1-2.

[13] Ibid., hal. 2.

[14] Ibid., hal. 2-3.

[15] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 84-85.

[16] Ibid., hal. 85.

[17] Nugraha, dalam Elvinaro Ardianto, Public Relations Praktis. Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hal. 263.

[18]  Ibid., hal. 264.

[19] Nugraha, dalam Elvinaro Ardianto, op. cit., hal. 265.

[20] H. Frazier Moore, Hubungan Masyarakat Prinsip, Kasus, dan Masalah, Penyunting; Onong Uchjana Effendy, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 638-639.

[21] Soleh Soemirat dan Ardianto, Elvinaro, Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, hal. 181-182.

[22] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 87-88.

[23] Nugraha, dalam Elvinaro Ardianto, op. cit., hal. 269.

[24] Nugraha, dalam Elvinaro Ardianto, op. cit., hal. 270.

[25] Sulistiowaty, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. v.

[26] Ibid., hal. 13.

[27] Thomas, dalam Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora, Bandung, 2004.

[28] Craig dan Mayo dalam Harry Hikmat, op. cit.,

[29] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 91.

[30] Craig dan Mayo, dalam Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora, Bandung, 2004.

[31] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz,op. cit., hal. 91-92.

[32] Chairil N. Siregar, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Resbonsibility Pada Masyarakat Indonesia”,Artikel, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 12, Tahun 6 Desember 2007.

[33] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 93.

[34] Chairil N. Siregar, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Resbonsibility Pada Masyarakat Indonesia”,Artikel, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 12, Tahun 6 Desember 2007.

[35] B. Taman Achda, “Konteks Sosiologi Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Implementasinya di Indonesia”, Makalah, Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Suistainable CSR, Jakarta, 23 Agustus 2006.

[36] B. Taman Achda, “Konteks Sosiologi Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Implementasinya di Indonesia”, Makalah, Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Suistainable CSR, Jakarta, 23 Agustus 2006.

[37] William A Haviland, Antropologi, Alih Bahasa R.G. Soekadjijo, Erlangga, Jakarta, Jilid I, 1988, hal. 7.

[38] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 96.

[39] Ibid., hal. 97-98.

[40] Ibid., hal. 98.

[41] Ibid., hal. 98.

[42] Ibid.,, hal. 99.

[43] Ibid., hal. 99-100.

[44] Ibid., hal. 100.

[45] Ibid., hal. 100.

[46] Ibid., hal. 100.