Artikel ini memuat isi:
- A. Pengertian Tatakelola Perusahaan (Corporate Governance)
- B. Sejarah Perkembangan Tatakelola Perusahaan (Corporate Govenance)
- C. Model Corporate Governance
- D. Teori Corporate Governance
- E. Tanggungjawab Sosial Perusahaan dalam Kerangka Tatakelola Perusahaan Yang Baik
- F. Penutup
A. Pengertian Tatakelola Perusahaan (Corporate Governance)
Ahmad syakhroza mengutip pendapat Blair yang memberikan pengertian tatakelola perseroan sebgai suatu kesatuan yang menyeluruh mencakup aspek budaya, hukum, dan kelengkapan isntitusional lainnya berupa mekanisme yang didasarkan pada konsep pengendalian korporasi dan sistem akuntabilitas dari pihak yang memegang kendali.[1] Dalam Wikipedia Encyclopedia, tatakelola perseroan diartikan:
Corporate governance is the set of processes, customs, policies, laws, and institutions affecting the way a corporation (or company) is directed, administered or controlled. Corporate governance also includes the relationships among the many stakeholders involved and the goals for which the corporation is governed.”
(Tata kelola perusahaan adalah serangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, hukum, dan lembaga mempengaruhi cara sebuah perusahaan (atau perusahaan) diarahkan, diberikan atau dikendalikan. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para stakeholder yang terlibat dan tujuan perusahaan yang telah diatur).
Gabrielle O’Donovan dalam bukunya A Board Culture of Corporate Governance, mendefinisikan:
Corporate governance as an internal system encompassing policies, processes and people, which serves the needs of shareholders and other stakeholders, by directing and controlling management activities with good business savvy, objectivity, accountability and integrity.[2]
(Tata kelola perusahaan sebagai sistem internal meliputi kebijakan, proses dan orang, yang melayani kebutuhan shareholder (pemegang saham) dan stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya, dengan mengarahkan dan mengendalikan kegiatan manajemen dengan bisnis yang baik cerdas, objektivitas, akuntabilitas dan integritas).
Mas Ahmad Daniri memberi pengertian tatakelola perseroan dalam kaitan dengan sifat baik (good) dalam konsep Good Corporate Governance (GCG) sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perseroan (Direksi, Dewan Komisaris, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham serta berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandasan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.[3]
Mas Ahmad Daniri menyimpulkan bahwa tatakelola perseroan yang baik merupakan:
- Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum Pemegang Saham dengan stakeholders lainnya.
- Suatu system check and balance yang mencakup perimbangan kewenangan atas pengendalian perseroan yang dapat membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan asset perseroan.
- Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perseroan, pencapaian, dan pengukuran kinerjanya.[4]
Tatakelola perseroan yang baik, yang secara konseptual telah dikemukakan pada bagian terdahulu memiliki 5 (lima) pilar, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness. Kelimanya diakronimkan sebagai TERIF.[5]
Transparency (keterawangan) diartikan sebagai keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material yang relevan mengenai perseroan. Accountability (akuntabilitas) adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perseroan sehingga pengelolaan perseroan terlaksana secara efektif. Responsibility (pertanggungjawaban) perseroan adalah kesesuaian (kepatuhan) didalam pengelolaan perseroan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Independency (kemandirian) adalah suatu keadaan dimana perseroan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan (conflict of interest) dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Fairness (kesetaraan dan kewajaran) merupakan perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundang yang berlaku.[6]
B. Sejarah Perkembangan Tatakelola Perusahaan (Corporate Govenance)
Tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya penggunaan terma corporate governance dikaitkan dengan munculnya mega krisis yang menimpa beberapa perseroan berkelas dunia. Amburaknya Enron dan Worldcom di Amerika Serikat, HIH dan One-Teldi Australia, merupakan contoh mutakhir dari krisis korporasi yang disebabkan oleh karena misgovernance, telah menjadi pemicu kajian terhadap perseroan secara intens.[7]
Dari kilas balik terhadap kajian corporate governance, Adam Smith (1776) melalui karyanya yang klasik The Wealth of Nation dianggap sebagai philosof peletak dasar dalam upaya formalisasi konsep corporate governance. Namun orang yang dianggap sebagai pengguna terma corporate governance adalah Robert I. Tricker (1984).[8] Tricker memandang tata kelola perseroan memiliki 4 kegiatan utama sebagai berikut:
- Direction, formulating the strategic direction from the future of the enterprise in the long term;
- Executive action, involving in the crucial executive decitions;
- Supervision, monitoring and oversight of management performance; and
- Accountability, is recognizing responsibilities to those making legitimate demand for accountability. [9]
Menurut Denis dan Mc. Connel konsep corpraate governance telah mengalami 2 (dua) tahapan perkembangan. Pada generasi pertama konsep corporate governance dibidani oleh Aldolf Augustus Barle, Edwin Dodd, dan Gardiner C. Means, yang biasa disebut Barle and Means dalam bukunya The Modern Corporation and Private Property (1932). Generasi kedua ditandai oleh karya Rafael La Porta[10] dan koleganya dalam bukunya Investor Protection and Corporate Governance (1999).
Pada generasi pertama, corporate governance lebih menekankan pada konsekuensi dari terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan control atas suatu perseroan modern (the modern corporation). Menurut Barle dan Means, sejalan dengan berkembangnya perseroan menjadi semakin besar, maka pengelolaan perseroan yang semula dipegang oleh pemilik (owner manager) harus diserahkan kepada kaum professional. Dalam kaitan ini isu yang dianggap dominan adalah perlunya suatu mekanisme untuk menjamin bahwa manajemen (agent) yang merupakan orang gajian pemilik modal (principal) akan mengelola perseroan sesuai dengan kepentingan pemilik. Dengan penyerahan pengelolaan perseroan, sebenarnya potensi benturan kepentingan menjadi ancaman yang ada dibalik hubungan antara principal dan agen. Pada generasi pertama ini, sumbangan pemikiran dari Michael Jansen dan William Meckling (agency theory) menjadi penanda berkembangnya kajian cooperate governance.
Pada generasi kedua, tonggak pemikiran La Porta, Lopes de Silanes, Shleifer dan Vishny yang memperkenalkan dan mempopulerkan pendeketan legal-keuangan (legal and financial approach) terhadap corporate governance menjadi penandanya. Menurut eksponen ini, penerapan tatakelola perseroan di suatu Negara sangat dipengaruhi oleh kondisi perangkat hukum di Negara tersebut dalam upaya melindungi kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan perseroan, terutama pemilik minoritas. Jika pada generasi pertama potensi konflik terjadi antara pemilik (principal) dengan pengelola (agent), pada generasi kedua potensi konflik terjadi antara pemilik mayoritas dan pemilik minoritas. Jika pada generasi pertama potensi konflik terjadi antara pemilik (principal) dengan pengelola (agent), pada generasi kedua potensi konflik terjadi antara pemilik mayoritas dan pemilik minoritas.
Pada corporate governance generasi pertama sangat kuat dipengaruhi oleh perspektif shareholder theory, pada generasi kedua sangat dipengaruhi oleh perspektif stakeholder theory. Secara sederhana perspektif shareholder theory memumpunkan kegiatan perseroan untuk memenuhi kepentingan pemegang saham. Pemilik adalah orang yang telah berani mengambil resiko untuk menginvestasikan kekayaannya untuk kekayaannya. Oleh karenanya, kalau perseroan melakukan kegiatan usaha harus diorientasikan untuk meningkatkan value (nilai) pemilik. Tujuan utama perusahaan menurut pespektif ini adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham.[11]
Sementara itu perspektif teori pemangku kepentingan (stakeholders theory) memandang bahwa perseroan merupakan organ (locus) yang hidup dalam lingkungan tertentu. Pemangku kepentingan sejatinya adalah lingkungan yang memungkinkan perseroan eksis. Tanpa lingkungan tersebut, perseroan tidak mungkin dapat eksis. Oleh karena itu, keberadaan perseroan eksis. Tanpa lingkungan tersebut, perseroan tidak mungkin dapat eksis. Oleh karena itu, keberadaan perseroan harus diorientasikan untuk kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders). Perspektif ini menekankan perlunya korporasi untuk memperhatikan kesejahteraan para pemangku kepentingan yang berhubungan dengan perseroan.[12]
C. Model Corporate Governance
Kalau dicermati, ada 2 (dua) model corporate governance yang dikenal di dunia ini, yaitu model governance yang ditemukan di Negara-negara yang menganut tradisi hukum kebiasaan (common law) Anglo-Saxon dan corporate governance yang dianut Negara-negara yang memiliki tradisi hukum sipil (civil law) Eropa Kontinental. Andaikata ditemukan varian yang sedikit berbeda pada masing-masing Negara, namun dasariah model governance-nya dapat dijumbuhkan dengan dua model besar tersebut. Kedua model corporate governance tersebut adalah:
- Single board system/single tier board system/one tier board system/unitary board system, yang dianut di Negara yang memiliki tradisi Common Law.
- Dual board System/dual tiers board system/two tiers board system/binary board system, yang dianut di Negara yang memiliki tradisi civil Law.[13]
Dari kedua sistem tersebut, pada bagian berikut akan dijelaskan sebagai berikut:
1 Unitary Board System
Pada single board system ini secara kelembagaan tidak ada pemisahan antara organ yang mempunyai tugas pengawasan dan orang yang mempunyai tugas pengurusan/pengelolaan perseroan. Kedua fungsi tersebut dipegang oleh satu organ yang disebut Board of Director (Dewan Direksi). Dalam tradisi hukum perseroan Amerika Serikat, dalam board of director dibedakan antara fungsi direktur eksekutif dan non direktur eksekutif. Direktur eksekutif mempunyai fungsi untuk memimpin perseroan. Sedang direktur non eksekutif mempunyai fungsi melakukan pengawasan jalannya perseroan. Pada sistem ini sejatinya menimbulkan kesulitan yang bersumber dari kerancuan fungsi yang seharusnya dibedakan secara tegas tetapi dalam kenyataannya ada pada satu organ. Sherindan dan Kendall (1992) mengkritisi bahwa merupakan hal yang sangat tidak wajar satu kelompok direktur yang bertugas untuk mengawasi dan mengontrol jalannya perseroan disatukan dengan kelompok direktur lainnya yang bertugas memimpin jalannya perseroan.[14]
Mas Achmad Daniri berpendapat bahwa idealnya dalam one board system, diharapkan adanya dominasi para direktur non eksekutif karena beberapa alasan antara lain, kedalaman pengetahuan dan luasnya pengalaman yang mereka miliki bahkan berbagai hubungan dan jaringan yang mereka miliki dapat mendukung perseroan jika mengalami kendala dalam hal pasokan sumber daya dibutuhkan dan juga bisa membantu tugas pemasaran. Kemandirian terhadap Corporate Executive Officer (CEO) memungkin adanya penilaian yang cermat dan objektif serta mampu menghidupkan mekanisme check and balances yang efektif. Selain itu, praktek tatakelola perseroan dapat dilakukan dengan benar dan konsisten oleh perseroan. Dengan demikian dapat disimpulkan komposisi board yang didominasi oleh direktur eksekutif tidak direktur non eksekutif lebih dominan dalam komposisi board maka akan lebih menjamin jalannya mekanisme pengawasan. Penilaian terhadap perseroan menjadi lebih mandiri, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.[15]
Harisson (1987)[16] sebagai seorang ahli perseroan menyarankan agar perseroan dapat dikelola dengan baik, pada unitary board system dibentuk komite, yaitu yang dihubungkan dengan pengelolaan perseroan (management support committee) dan komite yang berhubungan dengan pengawasan (monitoring/ oversight committee).
Dalam struktur kepemimpinan, sistem unitary board dimungkinkan diangkat seorang Corporate Executive Officer (CEO) yang pada suatu saat berperan sebagai direktur eksekutif, yang bertanggungjawab atas kelancaran pelaksanaan perseroan sehari-hari. Tetapi, pada saat yang bersamaan ataupun pada saat sehari-hari. Tetapi, pada saat yang bersamaan ataupun pada saat berbeda CEO bisa juga diminta memenuhi tanggungjawabnya sebagai pemimpin pada semua aspek pengelolaan, termasuk aspek pengawasan. Dengan kata lain, CEO diberikan jabatan formal yang luar biasa pengaruh dan wewenangnya dalam memimpin perseroan. Kondisi ini memungkinkan pada suatu saat timbul penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Problematika yang terakhir ini disebut agency problems.
Agency cost ini mencakup biaya-biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal, serta biaya-biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikikan pemegang saham sebagai bentuk “bonding expenditure” yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham.
One board banyak dipergunakan dinegara-negara yang memiliki sejarah panjang sistem mekanisme pasar, dimana segala latar belakang budaya dan sejarah yang mereka alami ternyata menunjukkan bahwa sistem ini justru mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan perseroan-perseroan multi nasional hingga merambah sampai pelosok dunia.[17]
2. Binary Board System
Model ini secara umum dianut dan diterapkan di Negara-negara yang menganut tradisi Civil Law. Menurut Bacon and Brown, karakteristik utama two board, yaitu:
- Struktur two boards secara tegas memisahkan antara fungsi, wewenang dan tugas dewan pengelola perseroan dengan dewan pengawasan perseroan. Di Negara yang menganut single board, walaupun fungsi keduanya dipisah, keduanya tetap mempunyai tugas dan tanggungjawab pengelolaan dan pengawasan perseroan yang sama, sehingga hasilnya dapat melemahkan proses corporate governance itu sendiri.
- Pemisahan secara fisik antara tugas dan wewenang kedua dewan ini dapat menghidari campur tangan dan tugas ganda.
- Dalam two boards ini, dewan pengawas sama sekali tidak diberi wewenang untuk campur tangan dalam pengelolaan perseroan. Dewan pengawasan perseroan benar-benar didorong untuk melaksanakan tugas utamanya, yakni memberi pengawasan dan saran bagi direktur lainnya.[18]
Menurut Cadbury (1995), ada 3 (tiga) perbedaan utama antara one board dan two boards, yaitu:
- Pada sistem unitary board, meskipun banyak dihadirkan direktur non eksekutif sebagai orang luar perseroan, seluruh fungsi pengawasan dalam menjalankan perseroan tidak dipisahkan. Seluruh direksi baik yang bertugas sebagai pengelola atau pengawasan perseroan mendapat tugas dan tanggung jawab yang sama dari perseroan. Dewan pengawasan perseroan harus memberikan persetujuan berbagai tindakan manajemen meskipun kadang-kadang beresiko tinggi karena fungsinya hanya sebatas monitoring saja. Sebaliknya dalam system two boards system, kedua dewan-dewan pelaksanaan atau dewan pengawas dipisahkan dengan tegas baik dalam tugas, wewenang dan tanggung jawab.
- Chief Executive Officer, hanya ada pada unitary board, dimana tugas utamanya adalah memimpin para executive directors maupun non executive directors. Sedang, pada two boards tidak ditemukan jabatan CEO. Sebab kedua dewan tersebut benar-benar terpisah dan dipimpin oleh orang yang berbeda.
- Kualifikasi orang-orang yang masuk pada non executive directors (pada one board) mungkin saja berbeda latar belakang. Hal ini terjadi karena dalam one board bisa saja mereka yang ditunjuk berasal dari karyawan. Sedang, dewan pengawas pada two boards haruslah orang-orang yang memenuhi persyaratan dan criteria perekrutan yang berat.[19]
D. Teori Corporate Governance
Menurut Mas Achmad Daniri,[20] terdapat 2 (dua) teori utama yang berkaitan dengan corporate governance. Kedua teori tersebut adalah Stewardship Theory dan Agency Theory. Teori Stewardship dibangun di atas philosofi mengenai sifat manusia yang pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki intergritas dan jujur terhadap orang lain. Kondisi demikianlah yang pada hakekatnya melahirkan hubungan fiducia (fiduciary relationship).
Akhmad Syakhroza berpendapat ada 2 (dua) perspektif untuk memahami corporate governance, yang diberikan derajat paradigm. Kedua Paradigma tersebut adalah perspektif pemegang saham (shaleholders) dan perspektif pemangku kepentingan (stajeholders), yang memiliki perbedaan secara prinsipil. Perspektif shareholders/teori shareholders dapat dianggap sebagai cara pandang korporasi secara tradisionil, yang berlandaskan pada argument bahwa perseroan didirikan yang dioperasionalkan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham per-se sebagai akibat investasi yang dilakukannya. Persfektif stakeholders/teori stakeholders memposisikan sudut pandang yang kontras dengan pespektif tradisional. Dari sudut pandang stakeholding, perseroan dilihat sebagai organ (locus) yang berhubungan dengan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan lainnya berada baik di dalam perseroan maupun di luar perseroan. Eksponen yang menganut teori ini memandang bahwa hubungan yang berbasis pada kepercayaan (trust) dan etika bisnis merupakan prasyarat utama sebagai acuan dalam setiap pengambilan keputusan melalui proses stakeholding management.[21]
E. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Kerangka Tatakelola Perusahaan Yang Baik
Pada dasarnya CSR mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance), yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, taat hukum, dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip tata kelola yang baik tidak hanya berlaku bagi perusahaan namun bagi semua pihak.
Di tingkat internasional ada beberapa alat yang dikembangkan untuk mendukung para pihak dalam menerapkan CSR (seperti global reporting initiative, global compact, UN Conference on Trade and Development). Unsur yang dicantumkan di dalamnya meliputi: Menghargai hak azasi manusia; melindungi hak buruh dan kondisi kerja yang layak; tidak terlibat dalam korupsi; memperhatikan aspek lingkungan hidup dalam beroperasi; serta bertanggung jawab atas produk dan teknologi yang digunakan. [22]
Ada pula pengembangan alat CSR per sektor industri, misalnya sertifikasi oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk industri perkayuan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk industri kelapa sawit, Equator Principle untuk sektor perbankan. Pedoman untuk sektor ini lebih terinci, dan biasanya aspek interaksi perusahaan dengan lingkungan sosial dan alam di sekitarnya lebih menonjol.[23]
Satu hal yang menarik adalah bahwa seringkali kepatuhan pada hukum dicantumkan sebagai salah satu prinsip CSR. Kenyataan bahwa diperlukan penegasan seperti ini, menunjukkan bahwa banyak pihak belum bertanggung jawab, karena itu seyogyanya semua pihak harus mematuhi peraturan yang berlaku. [24]
Berdasarkan acuan ini dan pengalaman di lapangan Center for International Forestry Research (CIFOR)[25] diidentifikasi prinsip-prinsip berikut yang penting dalam mengembangkan tanggung jawab sosial:
- mematuhi peraturan yang berlaku;
- akuntabilitas;
- transparansi;
- berperilaku etis (ethical behavior);
- mengikuti norma dan konvensi internasional;
- menghargai hak azasi manusia;
- menghargai dan memperhatikan kepentingan pihak lain;
- inklusif, melibatkan pihak-pihak dalam pelaksanaan CSR;
- adaptif, menyesuaikan pelaksanaan CSRdengan kondisi;
- profesional dalam melaksanakan CSR.
Agar pengembangan Tanggung Jawab Sosial mencapai dampak yang diharapkan tidaklah cukup dengan hanya menerapkan prinsip-prinsip ini di lingkungan kerja saja. Prinsip ini juga perlu diterapkan di lingkungan sekitar tempat kerja, baik lingkungan hidup di sekitarnya maupun lingkungan sosial. Selain itu juga perlu memberlakukan prinsip-prinsip ini bagi konsumen/pengguna produk atau jasa yang dihasilkan.[26]
1. Pengaruh Tanggungjawab Sosial Perusahaan Terhadap Hubungan Antar Unit di Dalam Sebuah Perusahaan
Struktur tatakelola perusahaan (corporate governance) dalam sebuah korporasi dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama teori korporasi yang dianut, budaya, dan sistem hukum yang berlaku. Beberapa teori mengenai korporasi telah dikembangkan selama ini, di antaranya yang paling terkemuka adalah agency theory dan stewardship theory. Teori-teori ini merupakan turunan dari beberapa teori di atasnya, yang berkembang sejalan dengan perkembangan korporasi dari waktu ke waktu. Teori-teori ini dapat membantu untuk memahami berbagai model dan karakter interaksi antara fungsi pengawasan, pengelolaan, dan kepemilikan dalam suatu korporasi.[27]
Teori yang merupakan induk teori dari teori korporasi yang berkembang dari waktu ke waktu adalah equity theory. Teori ini merupakan teori korporasi yang menjadi landasan dari berbagai teori korporasi yang ada. Teori ini pada intinya menjelaskan tentang model hubungan antara perusahaan dan pemilik. Teori ini lahir pada saat timbulnya revolusi industri di Inggris. Sejak timbulnya revolusi industri pada awal abad ke-19, perkembangan dunia industri melaju sangat pesat baik dalam hal teknologi maupun sistem manajemennya. Pada awalnya, bisnis hanya melibatkan individu tertentu sebagai pengelola sekaligus pemilik bisnis. Pada tahap yang masih sangat sederhana ini, belum banyak benturan kepentingan. Hubungan yang ada baru sebatas hubungan antara karyawan (employees) dengan pemilik (owners), yaitu pemilik yang sekaligus bertindak sebagai pengelola. Pemilik menguasai dan memiliki perusahaan serta bertanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas perusahaan. [28]
Konsep-konsep tentang hak kepemilikan (equalities) terus tumbuh dan berubah seiring laju pertumbuhan industri barang dan jasa serta perkembangan aspek-aspek sosial budaya yang semakin kompleks hingga melahirkan turunan teori-teori kepemilikan yang ada saat ini. Salah satu turunan teori adalah entity theory dan agency theory: [29]
Entity theory ini mengasumsikan terjadinya pemisahan antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (owners) dengan entitas bisnisnya (perusahaan). Pendekatan ini kemudian yang paling banyak dirujuk oleh praktik-praktik bisnis secara umum.
Dalam teori ini, sebuah entitas bisnis menjadi suatu bentuk personifikasi yang memiliki karakter tersendiri dan sama sekali tidak identik dengan pemilik. Bahkan suatu perusahaan dianggap memiliki eksistensi tersendiri yang lepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pemilik ekuitas, kreditur dan pemegang saham memiliki hak yang berbeda berkaitan dengan penghasilan, risiko, kendali, dan likuidasi. Pendapatan yang diperoleh adalah hak entitas yang kemudian didistribusikan ke shareholders sebagai dividen. Profit yang tidak didistribusikan dianggap sebagai hak entitas bisnis.[30]
Agency theory merupakan teori yang menjelaskan tentang hubungan kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu (principal/pemilik/pemegang saham) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent/direksi/manajemen). Agency theory memfokuskan pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen.[31]
Teori agensi memberikan pandangan yang terbaru terhadap Good Corporate Governance (GCG), yaitu para pendiri perseroan dapat membuat perjanjian yang seimbang antara principal (pemegang saham) dengan agen (direksi). Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional (disebut agents) yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Teori ini muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan, terutama pada perusahaan-perusahaan besar yang modern.[32]
Tujuan dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional.
Para profesional atau agen menjalankan tugasnya demi kepentingan perusahaan dan mereka memiliki keleluasaan dalam menjalankan manajemen perusahaan. Semakin besar perusahaan memperoleh laba, semakin besar pula keuntungan yang didapatkan agen. Sementara pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas untuk mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen untuk memastikan bahwa mereka bekerja hanya demi kepentingan perusahaan semata.
Para profesional, dalam hal ini direksi dan manajer dalam teori klasik di atas memiliki fiduciary duty dan duty of care dan bertanggungjawab kepada perusahaan dan para pemegang saham.[33] Dalam pandangan teori korporasi yang klasik di Amerika Serikat, CSR dimaknai sebagai tanggung para manajer dan direksi kepada pemegang saham. Pandangan tradisional ini tidak mencakup kewajiban manajemen untuk memperhatikan kepentingan konstituen perusahaan yang lain. Hal ini membatasi penerapan CSR dalam perusahaan di mana perusahaan seolah-olah hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri.[34]
Belakangan terjadi perluasan terhadap ruang lingkup tanggung korporasi dari hanya tanggung jawab korporasi kepada pemegang saham tetapi juga kepada stakeholder. Perubahan ini seiring dengan adanya pembaruan corporate governance. Pembaharuan corporate governance bermula sebuah buku yang berjudul The Modern Corporation and Private Property. Buku ini dibuat oleh Adolf Berle and Gardiner Means dan dipublikasikan pertama kali tahun 1932. Isi buku ini secara garis besar memuat tentang pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Dengan demikian, pemegang saham yang memiliki perusahaan dan juga memiliki kekayaan yang sangat besar dalam perusahaan tidak lagi mengendalikan dan mengelola kekayaan mereka yang ada dalam perusahaan. Kekayaan tersebut telah menjadi asset perusahaan dan dikendalikan oleh seseorang yang dipercaya untuk mengelolanya demi kepentingan mereka. Keadaan demikian dikenal dengan nama “separation ownership from control.” Dalam pembaharuan corporate governance memuat tentang prinsip keterbukaan kepada publik dan kewajiban bagi perusahaan untuk menjalankan perusahaannya dengan tidak merugikan publik. Jadi secara tidak langsung konsep CSR juga sebenarnya telah termuat dalam pembaharuan corporate governance. [35]
Konsep CSR itu sendiri juga telah mengalami perubahan. Konsep CSR yang lama menyatakan bahwa perusahaan hanya mempunyai tanggung jawab kepada pemegang saham perusahaan saja. Sedangkan konsep CSR yang baru menyatakan bahwa perusahaan juga harus mempunyai tanggung jawab kepada pekerja, pemasok, masyarakat, dan lingkungan di mana perusahaan itu menjalankan kegiatannya.
Menarik, apa yang ditemukan dan dikemukakan dua peneliti Corporate Social Responsibility (CSR) baru-baru, Yohanes E. Riyanto (Universitas Nasional Singapura) dan Linda A. Tooselma (Groningen Universitas) (2007), dalam abstrak penelitiannya mengungkapkan bahwa CSR dapat memengaruhi hubungan antarunit di dalam sebuah entitas bisnis. Kedua peneliti ini menganalisis bagaimana CSR dan perlakuan terhadap aktivitas stakeholder dapat memengaruhi upaya manajemen dan pemegang saham, serta menggambarkan munculnya indigenous (penduduk pribumi) dalam konteks ini. Kegunaan CSR bagi pemegang saham antara lain adalah: dapat meningkatkan pengawasan yang kurang, sekaligus meningkatkan usaha-usaha manajemen, dan memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pemegang saham dari program CSR adalah berbeda, yakni timbulnya rasa tanggung jawab sosial. Mereka dapat menemukan
cara untuk mensponsori aktivitas sosial dan CSR untuk mengurangi adanya tekanan.[36]
Kesimpulan penelitian CSR di atas menggambarkan bagaimana tanggung jawab sosial shareholder (pemegang saham) dan perlakuan ditekan oleh aktivis yang memengaruhi upayanya sampai tingkat manajemen dan pemegang saham. Sejak CSR digulirkan, maka pemegang saham harus komit untuk melakukan upaya pemantauan sampai tingkat bawah.
Kesimpulan lainnya, mencoba menganalisis interpretasi dan bentuk-bentuk CSR serta mendiskusikan bagaimana melahirkan dalam konteks struktur secara prinsip. Pertama, interpretasi CSR sebagai implementasi yang dihadapi secara langsung yang mengacu pada proyek para aktivis, dan menunjukkan bahwa secara maksimal bagi manajemen atau pemegang saham untuk mengimplementasikan proyek ini sejak permulaan atau sebagai sebuah respons terhadap tekanan para aktivis. Kedua, tanggung jawab secara sosial atau pemegang saham melakukannya ke dalam sejumlah masalah negarif secara eksternal dan tingkat usahanya dalam menyampaikan untuk menurunkan harapan secara eksternal. Ketiga, pemegang saham memahami secara optimal dan komit terhadap tindakan jika secara sosial menjadi tanggung jawabnya dan adanya perhatian terhadap hal negatif secara eksternal. Keempat, menunjukkan bahwa pemegang saham memiliki keuntungan dari perlakukan tekanan oleh aktivis dan di sana memahami secana optimal dukungan para aktivis. Kelima, menggambarkan bahwa terdapat dua tipe pemegang saham, satu tipe memiliki tanggung jawab secara sosial, dan satu lagi tipe tanggung jawab sosial yang memantau kepemilikan dan masalah perusahaan.[37]
2. Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Sebagai Suatu Pandangan
a. Pengertian etika bisnis
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari ambruknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakukan manusia. Situasi itu juga berlaku pada zaman sekarang. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.[38]
Dalam konteks yang umum, hubungan bisnis sebenarnya adalah hubungan antar manusia. Bisnis adalah suatu interaksi yang terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak dapat diperoleh sendiri oleh individu. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia dikaruniai banyak kelebihan (akal, perasaan dan naluri), dalam kenyataannya banyak memiliki kekurangan. Kekurangan itu makin dirasakan justru ketika akal, perasaan, dan naluri menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya, kebutuhan manusia kian berkembang dan kompleks sehingga tak terbatas. Melalui interaksi bisnis inilah manusia saling melengkapi pemenuhan kebutuhan satu sama lain.[39]
Etika harus dibedakan antara etika dalam bisnis (ethics in business) dan etika bisnis (ethics of business). Kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Etika dalam bisnis terkait dengan etika yang bersinggungan dengan bisnis sedangkan etika bisnis terkait dengan etika pada umumnya. Dalam dunia perbankan misalnya, etika dalam bisnis harus dinilai sesuai dengan perspektif profit maximisation sebagai filosofi yang mendasari perbankan tanpa memperhatikan apakah etika tersebut sesuai dengan etika umum.[40]
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yang fair (jujur), transparent (terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan yang termasuk dalam kategori unethical conduct misalnya memberikan informasi yang tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.
Dalam kenyataannya, sangatlah tidak mungkin ada suatu ethical code dalam bisnis. Di satu pihak telah terbiasa secara keliru menganggap bahwa kegiatan bisnis sebagai permainan tipu menipu, tetapi di lain pihak para pelaku usaha itu sendiri sering menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak baik. Karena itu, sebenarnya secara tanpa sadar semua pihak mengakui secara diam-diam bahwa perlu ada suatu etika bisnis.
Pada dasarnya, bisnis perlu dijalankan secara etis, karena bagaimana pun juga bisnis menyangkut tentang kepentingan siapa saja dalam masyarakat. Entah dia berperan sebagai penjual, produsen, pembeli, perantara, dan apa pun perannya, hampir semuanya tersangkut dalam bisnis ini. Hal itu berarti bahwa semua pihak, berdasarkan kepentingan masing-masing, menghendaki adanya agar bisnis itu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, semua pihak menghendaki agar bisnis dijalankan secara etis sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Untuk itulah dibahas mengenai bagaimana etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam dunia bisnis modern atau tidak.[41]
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip dalam etika bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Dan karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, di sini akan dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis, yaitu:[42]
1) Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Orang yang otonom adalah orang yang tahu aturan dan tuntutan sosial, tetapi bukan orang yang sekedar mengikuti begitu saja apa yang berlaku dalam masyarakat atau mengikuti begitu saja apa yang dilakukan orang lain.
Untuk bertindak secara otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan itu. Dalam kerangka etika, kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak secara etis. Hanya karena ia mempunyai kebebasan maka ia dituntut untuk bertindak secara etis. Namun kebebasan saja belum menjamin bahwa orang bisa bertindak secara otonom dan etis. Otonomi mengandaikan juga adanya tanggung jawab. Jadi orang yang otonom adalah orang tidak hanya sadar akan kewajibannya dan bebas ,mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan kewajibannya, melainkan juga orang yang bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya, serta dampak dari keputusan dan tindakan itu.
2) Prinsip kejujuran
Dalam dunia bisnis kejujuran menemukan wujudnya dalam tiga aspek, yaitu: Pertama, kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran menemukan wujudnya dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu yang baik. Ketiga, kejujuran menyangkut pula hubungan kerja dalam perusahaan. Dalam ketiga aspek wujud kejujuran tadi terkait dengan erat dengan kepercayaan, karena kepercayaan yang dibangun di atas prinsip kejujuran merupakan modal dasar usaha yang akan mengalirkan keuntungan yang berlimpah. Keuntungan merupakan simbol kepercayaan dan tanda terima kasih masyarakat dan mitra bisnis atas kejujuran kegiatan bisnis.
3) Prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan Prinsip berbuat baik (beneficence)
Perwujudan kedua prinsip ini mengambil dua bentuk. Pertama, prinsip berbuat baik menuntut agar secara aktif dan maksimal kita semua berbuat hal yang baik bagi orang lain. Kedua dalam wujudnya yang minimal dan pasif, sikap ini menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain. Maksud dari kedua prinsip di atas adalah bahwa secara maksimal orang bisnis dituntut untuk melakukan kegiatan yang menguntungkan bagi orang lain (atau lebih tepat, saling menguntungkan), tapi kalau situasinya tidak memungkinkan, maka titik batas yang masih ditoleransi adalah tindakan yang tidak merugikan pihak lain.
4) Prinsip keadilan
Prinsip ini menuntut agar diperlakukan orang lain sesuai dengan haknya. Hak orang lain perlu dihargai dan jangan sampai dilanggar, persis seperti seseorang mengharapkan agar haknya dihargai dan tidak dilanggar. Prinsip ini mengatur agar seseorang bertindak sedemikian rupa sehingga hak semua orang terlaksana secara kurang lebih sama sesuai dengan apa yang menjadi haknya tanpa saling merugikan.
5) Prinsip hormat kepada diri sendiri
Prinsip ini bukan bersifat egoistis, melainkan ingin menunjukkan bahwa tidak etis jika membiarkan diri sendiri diperlakukan secara tidak adil, tidak jujur, ditindas, diperas dan sebagainya. Jadi, sebagaimana sepantasnya tidak boleh memperlakukan orang lain secara tidak adil, tidak jujur dan sebagainya, setiap orang berhak untuk memperlakukan diri sendiri dan diperlakukan secara baik. Seseorang wajib membela dan mempertahankan kehormatan dirinya, jika martabatnya sebagai manusia dilanggar.
b. Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Dalam Kegiatan Perusahaan
Meski Ky. Bhanu Munthy (Universitas New Delhi) (2007) dalam abstrak penelitiannya menyebutkan “etika bisnis” dan “CSR” tidak berkaitan, namun demikian dirasakan perlu adanya pengembangan kerangka yang berkaitan antara etika bisnis dan CSR. Dengan demikian dapat ditemukan korelasi atau setidaknya sebuah perspektif baru dalam hal etika bisnis dan CSR. Perspektif baru itu tendiri dari: (a) good governance (tata kelola penusahaan/pemerintahan yang baik), (b) CSR, dan (c) akuntabilitas atau tanggung jawab lingkungan. Hal yang perlu didiskusikan adalah peranan top manajemen dalam pencapaian CSR melalui transformasi organisasional. Hal ini adalah pendekatan terpadu terhadap tanggung jawab perusahaan yang membutuhkannya untuk bisa tergabung dalam standar-standar internasional CSR. Tendapat tiga isu sentral standar CSR internasional: (1) ditenimanya tiga aspek pendekatan, yaitu good governance, responsibility (rasa tanggung jawab), accountability (akuntabilitas/keadaan dapat dimintai pertangunggjawaban), (2) Pendekatan metode untuk pengukuran adalah resolved (memecahkan masalah), (3) bersifat perintah lawannya sukarela terhadap isu-isu yang dapat dipecahkan hanya isu-isu yang dapat diukur dan aplikasinya universal yang dapat dipecahkan.[43]
Kesimpulan penelitian CSR di atas mengandung sebuah kontroversi atas keperluan etika bisnis. Kontrovensi tersebut tekanannya pada salah penempatan. Kini banyak argumen merasakan adanya dimensi berbeda atas apa yang dinamakan CSR, akuntabilitas lingkungan dan governance (tata kelola pemerintahan yang baik, kalau ada istilah good corporate governance: tata kelola perusahaan yang baik), dan disarankan harus berada di bawah payung etika bisnis. Top manajemen harus membawa transformasi organisasional sebagai pendekatan aspek yang berkelanjutan. Walaupun tantangan utamanya adalah mengupayakan sebuah strategi menurunkan standar yang memperhatikan isu-isu utama dan menyediakan standar-standar yang bisa diukur, objektif dan universal.[44]
Etika dibutuhkan dalam bisnis ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis justru telah menyebabkan manusia semakin tersisih nilai-nilai kemanusiaannya (humanistic). Sehingga, di kalangan pelaku bisnis muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis. Bisnis hanyalah mengabdi pada keuntungan sebanyak-banyaknya (profit oriented). Dalam kaitan ini Richard T De George (1986) menyebutnya sebagai mitos bisnis amoral. Telah bergulir suatu image, bahwa bisnis tidak boleh (jangan) dicampuradukkan dengan moral.[45]
Karena tuntutan publik dan hukum itulah, maka bisnis saat ini harus memberlakukan “being ethical and social responsibility”. Dengan berlaku etis dan mempunyai tanggung jawab sosial, bisnis akan langgeng dan akan terjadi hubungan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok, dan pihak lainnya. Pelanggan akan membeli produk sebuah perusahaan yang mempunyai reputasi terbaik dalam tanggung jawab sosial bilamana kualitas, pelayanan, dan harga sama di antara para pesaing.[46]
Etika bisnis mempunyai pengaruh lebih luas daripada peraturan formal. Melanggar atau melupakan masalah etika akan menghancurkan kepercayaan. Kegiatan untuk mencari etika bisnis tersebut menyangkut empat macam kegiatan, yaitu:
- Menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada khususnya atau praktek-praktek khusus dalam bisnis menyangkut apa yang dinamakan meta-etika.
- Menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya.
- Meluas melampaui bidang etika,
- Menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Seperti yang diketahui bahwa dunia etika adalah dunia filsafat, nilai dan moral. Sedangkan dunia bisnis adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika berkenaan dengan persoalan baik atau buruk, sedangkan bisnis adalah dunia konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua orang yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain. Sikap dan perbuatan yang seperti itu tidak akan menghasilkan situsai “win-lose”, tetapi akan menghasilkan situasi “win-win”. Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesutau, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan oleh pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada budaya masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia. Selain itu, etika bisnis juga membatasi keuntungan, sebatas tidak merugikan masyarakat. Kewajaran merupakan ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan.[47]
Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi penggunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekitar. Jadi etika bisnis yang didambakan bagi para pelaku usaha tidak akan dipraktikkan dengan sendirinya oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya “aturan main” yang jelas bagi dunia usaha itu sendiri. Jika tidak menjalankan etika bisnis, taruhannya adalah reputasi dan kepercayaan, sedangkan dalam berbisnis kedua hal tersebut merupakan faktor utama. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat menjaga kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Karena Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan stakeholder-nya. Etika bisnis tidak bisa terlepas dari etika personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi. Memahami teori etika pada dasarnya berguna untuk merumuskan dan mengambil nilai-nilai kebenaran, yang oleh individu ataupun masyarakat menjadi dasar bertindak. Tetapi, di sisi lain, pemahaman terhadap etika bisa juga berfungsi untuk menggeledah nilai-nilai kebenaran yang selama ini dianggap sudah mapan. Apapun fungsinya yang diambil, pastilah akan menemukan kenyataan bahwa nilai-nilai kebenaran itu ternyata beragam.
Oleh karena itu maka manusia diharapkan dapat bijaksana dalam menerapkan ragam kebenaran secara profesional. Sehingga dalam dunia bisnis, otonomi, aspek kebebasan dan tanggung jawab menjadi titik pangkal dan landasan operasi bagi bisnis. Hal tersebut tentunya dilakukan prakteknya menggunakan etika dalam berbisnis sebagaimana mestinya, karena semua itu berhubungan dengan manusia baik secara individual maupun kelompok dalam hal ini terjadi interaksi antar manusia dalam berbisnis. Atas dasar itu, etika dan tanggung jawab sosial sudah menjadi bagian dari proses perencanaan strategis perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan terkemuka sekarang ini sudah mempunyai code of conduct dan juga sudah mempunyai kode etika perusahaan yang dipatuhi oleh semua karyawan.
Misalnya, penerapan prinsip etis oleh karyawan perusahaan dapat dicontohkan sebagai berikut: norma sopan santun masyarakat Indonesia cukup beragam, tercermin dalam peribahasa “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Karena itu, untuk bisa berperilaku etis setiap pihak perlu memahami kondisi khas daerah, selain tatakrama yang berlaku secara umum. Perusahaan harus mempunyai rumusan tentang etika bisnis yang bertanggungjawab sosial yang dijabarkan dalam ”nilai-nilai perusahaan”, misalnya adanya kode etik bagi para pelaksana program CSR, yakni pedoman pelaksanaan program CSR yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Pelaksanaan etika bisnis tersebut harus berkesinambungan dan tercermin dalam budaya perusahaan. [48]
Adapun kesulitan dalam penerapan prinsip etis ini adalah:
- Penafsiran tentang apa makna perilaku yang etis tidak selalu mudah. Misalnya kesetaraan, secara umum orang bisa mengharap ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun mungkin budaya setempat punya pandangan yang berbeda.
- Adanya oknum karyawan suatu perusahaan yang bersikap dan berperilaku angkuh dan sombong dalam bergaul dengan masyarakat di sekitarnya. Walaupun ini tindakan karyawan di luar lingkungan kerja, namun sering menyebabkan kurang baiknya hubungan antara masyarakat dengan perusahaan.
- Dalam melaksanakan kegiatan pendampingan masyarakat, perusahaan (tanpa sadar) menggunakan pendekatan seolah-olah menempatkan masyarakat sebagai pihak lemah, tidak berdaya, tertinggal dan sebagainya. Pendekatan ini bisa mengakibatkan masyarakat memposisikan diri sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya dan menciptakan “budaya mengemis”, minta-minta (berdasarkan keinginan) dan hubungan yang tidak setara.[49]
Namun demikian, walaupun ada kesulitan dalam penerapan prinsip etis tersebut, tetapi ketika prinsip berperilaku etis tidak diterapkan, maka akan berdampak:
- Pandangan negatif terhadap perusahaan.
- Penilaian dan pandangan masyarakat terhadap perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja, akan menjadi negatif.
- Tuntutan terhadap perusahaan.
- Perilaku tidak etis karyawan bisa mengakibatkan tuntutan kepada perusahaan.
- Hubungan tidak setara dan tidak harmonis.[50]
Perilaku tidak etis karyawan bisa mengakibatkan tuntutan kepada perusahaan. Misalnya, sebuah perusahaan yang beroperasi di daerah terpencil, menerapkan kebijakan agar karyawan mencari tempat tinggal di kampung dekat daerah operasinya. Strategi ini diharapkan akan membuat hubungan antara masyarakat dengan perusahaan dan karyawannya lebih harmonis. Namun ada karyawan yang tidak menyesuaikan diri dengan tatakrama setempat, sehingga oleh warga dinilai angkuh, dan berulang kali menimbulkan permasalahan sosial. Untuk menyelesaikan masalah, masyarakat sering mengadu ke perusahaan dan mereka tidak bisa menerima jawaban dari perusahaan bahwa itu urusan pribadi karyawan bersangkutan. Di satu sisi perilaku karyawan di luar lingkungan kerja memang bukan tanggung jawab perusahaan, selama karyawan tidak melanggar hukum. Namun karena kondisi sosial, warga kadang-kadang tidak membedakan antara tanggung jawab karyawan sebagai bagian dari perusahaan dan tanggung jawab pribadinya (di luar lingkungan kerja).[51]
Untuk mengantisipasi kejadian ini sebaiknya perusahaan meningkatkan pemahaman pihak-pihak di sekitar perusahaan tentang peraturan yang berlaku bagi karyawan di dalam lingkungan kerjanya, serta standar perilaku yang diharapkan (perilaku etis) yang bukan tanggung jawab perusahaan. Juga perlu dilakukan pendekatan ke tokoh masyarakat setempat untuk mendapatkan bahan pembahasan tentang tata krama dan kebiasaan setempat dan sekaligus juga agar para tokoh masyarakat bisa ikut berperan dalam menangani kasus karyawan yang berperilaku tidak etis.[52]
Masyarakat bisa menjadi merasa minder terhadap karyawan, sehingga juga akan menjaga jarak terhadap perusahaan, atau menimbulkan perasaan tidak bersimpati terhadap karyawan. Selain itu bisa mengakibatkan masyarakat memandang perusahaan sebagai tempat untuk datang dan minta bantuan. [53]
Beberapa cara menerapkan prinsip etis ini:
1) Mempelajari dan memahami kebiasaan setempat.
Untuk lebih memahami kebiasaan setempat dan apa yang dianggap etis atau tidak, semua pihak perlu mendalami kebiasaan setempat. Untuk itu perusahaan dapat menjalin kerja sama dengan tokoh masyarakat setempat untuk lebih memahami tata krama setempat dan dapat melibatkan mereka dalam memberi penjelasan kepada karyawan.
2) Memberi contoh di lingkungan perusahaan.
Agar menjadi kebiasaan, berperilaku etis perlu dipraktekkan di lingkungan perusahaan sendiri. Perusahaan dapat memberikan pembekalan kepada karyawan tentang prinsip berperilaku etis dan bermasyarakat demi menjaga nama baik perusahaan. Pihak manajemen sendiri harus memberi contoh dalam membina hubungan dengan stafnya dan berinteraksi dengan pihak lain. Kesetaraan dan keakraban antara staf dan manajemen tidak berarti tidak ada perbedaan kewenangan dan tanggung jawab.
3) Menciptakan hubungan yang lebih akrab dengan masyarakat.
Perlu ada upaya untuk mempererat hubungan antara perusahaan/karyawan dengan masyarakat di sekitarnya. Melakukan kegiatan bersama-sama dengan masyarakat membuat hubungan dengan masyarakat lebih akrab, sehingga masyarakat merasakan adanya kebersamaan dan kedekatan dengan karyawan. Ini bisa misalnya melalui kegiatan olah raga, ikut serta dalam gotong royong atau kegiatan sukarela yang dilakukan oleh karyawan di tengah masyarakat.[54]
F. Penutup
Pada dasarnya CSR mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance), yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, taat hukum, dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik tidak hanya berlaku bagi perusahaan namun bagi semua pihak. Tatakelola perseroan dalam kaitan dengan sifat baik dalam konsep Good Corporate Governance (GCG) sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perseroan guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham (shareholder) serta berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandasan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Di tingkat internasional ada beberapa alat yang dikembangkan untuk mendukung para pihak dalam menerapkan CSR (seperti global reporting initiative, global compact, UN Conference on Trade and Development). Unsur yang dicantumkan di dalamnya meliputi: menghargai hak azasi manusia; melindungi hak buruh dan kondisi kerja yang layak; tidak terlibat dalam korupsi; memperhatikan aspek lingkungan hidup dalam beroperasi; serta bertanggungjawab atas produk dan teknologi yang digunakan. Ada pula pengembangan alat CSR per sektor industri, misalnya sertifikasi oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk industri perkayuan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk industri kelapa sawit, Equator Principle untuk sektor perbankan. Pedoman untuk sektor ini lebih terinci, dan biasanya aspek interaksi perusahaan dengan lingkungan sosial dan alam di sekitarnya lebih menonjol. Satu hal yang menarik adalah bahwa seringkali kepatuhan pada hukum dicantumkan sebagai salah satu prinsip CSR. Kenyataan bahwa diperlukan penegasan seperti ini, menunjukkan bahwa banyak pihak belum bertanggung jawab, karena itu seyogyanya semua pihak harus mematuhi peraturan yang berlaku.
CSR dapat memengaruhi hubungan antarunit di dalam sebuah entitas bisnis, karena CSR dan perlakuan terhadap aktivitas stakeholder dapat memengaruhi upaya manajemen dan pemegang saham, serta menggambarkan munculnya indigenous (penduduk pribumi) dalam konteks ini. Kegunaan CSR bagi pemegang saham (shareholder) antara lain dapat meningkatkan pengawasan yang kurang, sekaligus meningkatkan usaha-usaha manajemen, dan memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pemegang saham dari program CSR adalah berbeda, yakni timbulnya rasa tanggung jawab sosial, sehingga dapat ditemukan cara untuk mensponsori aktivitas sosial dan CSR untuk mengurangi adanya tekanan. Hal ini menggambarkan tanggung jawab sosial shareholder (pemegang saham) dan perlakuan ditekan oleh aktivis yang memengaruhi upayanya sampai tingkat manajemen dan pemegang saham. Sejak CSR digulirkan, maka pemegang saham harus komit untuk melakukan upaya pemantauan sampai tingkat bawah. CSR sebagai implementasi yang dihadapi secara langsung yang mengacu pada proyek para aktivis, dan menunjukkan bahwa secara maksimal bagi manajemen atau pemegang saham untuk mengimplementasikan proyek ini sejak permulaan atau sebagai sebuah respons terhadap tekanan para aktivis. Tanggung jawab secara sosial atau pemegang saham melakukannya ke dalam sejumlah masalah negarif secara eksternal dan tingkat usahanya dalam menyampaikan untuk menurunkan harapan secara eksternal. Pemegang saham memahami secara optimal dan komit terhadap tindakan jika secara sosial menjadi tanggung jawabnya dan adanya perhatian terhadap hal negatif secara eksternal, yang menunjukkan bahwa pemegang saham (shareholders) memiliki keuntungan dari perlakukan tekanan oleh aktivis dan di sana memahami secana optimal dukungan para aktivis. Jadi, terdapat dua tipe shareholder, satu tipe memiliki tanggung jawab secara sosial, dan satu lagi tipe tanggung jawab sosial yang memantau kepemilikan dan masalah perusahaan.
Kemudian, walaupun etika bisnis dan CSR tidak berkaitan, namun demikian dirasakan perlu adanya pengembangan kerangka yang berkaitan antara etika bisnis dan CSR, sehingga dapat ditemukan korelasi atau setidaknya sebuah perspektif baru dalam hal etika bisnis dan CSR. Perspektif baru itu tendiri dari: tata kelola perusahaan, CSR, dan akuntabilitas atau tanggung jawab lingkungan. Hal yang perlu didiskusikan adalah peranan top manajemen dalam pencapaian CSR melalui transformasi organisasional. Hal ini adalah pendekatan terpadu terhadap tanggung jawab perusahaan yang membutuhkannya untuk bisa tergabung dalam standar-standar CSR internasional tersebut. Tendapat tiga isu sentral standar CSR internasional: diterimanya tiga aspek pendekatan, yaitu: Pertama, good governance, responsibility, accountability, Kedua, pendekatan metode untuk pengukuran adalah resolved (memecahkan masalah), dan ketiga, bersifat perintah lawannya sukarela terhadap isu-isu yang dapat dipecahkan hanya isu-isu yang dapat diukur dan aplikasinya universal yang dapat dipecahkan. Dengan demikian, CSR mengandung sebuah kontroversi atas keperluan etika bisnis. Kontrovensi tersebut tekanannya pada salah penempatan, karena kini banyak argumen merasakan adanya dimensi berbeda atas apa yang dinamakan CSR, akuntabilitas lingkungan dan governance (tata kelola pemerintahan yang baik, kalau ada istilah good corporate governance: tata kelola perusahaan yang baik), dan disarankan harus berada di bawah payung etika bisnis. Top manajemen harus membawa transformasi organisasional sebagai pendekatan aspek yang berkelanjutan. Walaupun tantangan utamanya adalah mengupayakan sebuah strategi menurunkan standar yang memperhatikan isu-isu utama dan menyediakan standar-standar yang bisa diukur, objektif dan universal. Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi penggunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekitar. Jadi etika bisnis yang didambakan bagi para pelaku usaha tidak akan dipraktikkan dengan sendirinya oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya “aturan main” yang jelas bagi dunia usaha itu sendiri. Jika tidak menjalankan etika bisnis, taruhannya adalah reputasi dan kepercayaan, sedangkan dalam berbisnis kedua hal tersebut merupakan faktor utama. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat menjaga kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Karena Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan stakeholder-nya. Etika bisnis tidak bisa terlepas dari etika personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi. Memahami teori etika pada dasarnya berguna untuk merumuskan dan mengambil nilai-nilai kebenaran, yang oleh individu ataupun masyarakat menjadi dasar bertindak. Tetapi, di sisi lain, pemahaman terhadap etika bisa juga berfungsi untuk menggeledah nilai-nilai kebenaran yang selama ini dianggap sudah mapan. Apapun fungsinya yang diambil, pastilah akan menemukan kenyataan bahwa nilai-nilai kebenaran itu ternyata beragam. Oleh karena itu maka manusia diharapkan dapat bijaksana dalam menerapkan ragam kebenaran secara profesional. Sehingga dalam dunia bisnis, otonomi, aspek kebebasan dan tanggung jawab menjadi titik pangkal dan landasan operasi bagi bisnis. Hal tersebut tentunya dilakukan prakteknya menggunakan etika dalam berbisnis sebagaimana mestinya, karena semua itu berhubungan dengan manusia baik secara individual maupun kelompok dalam hal ini terjadi interaksi antar manusia dalam berbisnis. Atas dasar itu, etika dan CSR sudah menjadi bagian dari proses perencanaan strategis perusahaan, bahkan beberapa perusahaan terkemuka sekarang ini sudah mempunyai code of conduct dan juga sudah mempunyai kode etika perusahaan yang dipatuhi oleh semua karyawan.
[1] Ahmad Syakhroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perseroan, BUMN, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 5.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_governance
[3] Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, PT Ray Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 8
[4] Ibid., hal. 8.
[5] Ibid., hal. 9.
[6] Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, hal.129-130.
[7] Ibid., hal.130.
[8] Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal.4.
[9] Ibid., hal.4.
[10] Rafael La Porta, Florencio Lopez de Silanes, Andrei Shleifer dan Robert W. Vishny, Investor Protection and Corporate Governance, working paper, 1999, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=183908.
[11] Tri Budiyono, op. cit., hal.132.
[12] Ibid., hal.132-133.
[13] Tri Budiyono, op. cit., hal. 133.
[14] Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 25.
[15] Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 25.
[16] Harrison, dalam Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 26-27.
[17] Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 30.
[18] Bacon and Brown, dalam Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 27-28.
[19] Cadbury, dalam Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 27-28.
[20] Mas Ahmad Daniri, op. cit., hal. 5.
[21] Tri Budiyono, op. cit., hal. 142.
[22] Godwin Limberg, dkk., Bukan hanya laba, Prinsip-prinsip bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial, Diterbitkan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor Barat-Indonesia, 2009, hal. 7.
[23] Ibid., hal. 7.
[24] Ibid., hal. 7.
[25] Center for International Forestry Research (CIFOR) memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan dan praktek kehutanan di negara berkembang. CIFOR merupakan salah satu dari 15 pusat penelitian dalam Kelompok Konsultatif bagi Penelitian Pertanian International (Consultative Group on International Agricultural Research– CGIAR). CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
[26] Godwin Limberg, dkk., op. cit., hal. 19.
[27] Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan, PT Indeks, Jakarta, 2004, hal. 3.
[28] Ibid., hal. 3.
[29] Ibid., hal. 3-5.
[30] Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder, dan Dari Etika Bisnis ke Norma Hukum, WORKSHOP Tanggungjawab Sosial Perusahaan diselenggarakan Norsk Senter for Menneskerettigheter Norwegian Centre for Human Rightsbekerjasama dengan PUSHAM-UII (Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 6 – 8 Mei 2008, hal. 6.
[31] Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan, PT Indeks, Jakarta, 2004, hlm 6.
[32] Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm 27-28.
[33] Cynthia A. William, Corporate Social Responsibility in an Era of Economic Globalization, 35 University of California Davis Law Review, 2002, hlm 707.
[34] Gary von Stange, Corporate Social Responsibility through Constituency Statutes: Legend or Lie ?, 11 Hofstra Labour Law Journal, 1994, hal.465.
[35] Ibid., hal. 466.
[36] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011, hal. 118.
[37] Ibid., hal. 118-119.
[38] Franz Magniz Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987, hal. 15.
[39] Redi Panuju, Etika Bisnis, PT Grasindo, Jakarta, 1995, hlm 42.
[40] Charles Chatterjee, “The Corporate Social Responsibility of Banks”, International Company and Commercial Law Review 1996, 7 (11), hlm 399.
[41] Charles Chatterjee, dalam Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder, dan Dari Etika Bisnis ke Norma Hukum, WORKSHOP Tanggungjawab Sosial Perusahaan diselenggarakan Norsk Senter for Menneskerettigheter Norwegian Centre for Human Rightsbekerjasama dengan PUSHAM-UII (Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 6 – 8 Mei 2008, hal. 3.
[42] A. Sony Keraf, Etika Bisnis, edisi baru, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm 74- 81.
[43] Elvinaro Ardianto dan Dindin M Machfudz, op. cit., hal. 119.
[44] Ibid., hal. 119-120.
[45] Redi Panuju, Etika Bisnis, PT Grasindo, Jakarta, 1995, hal. 7.
[46] Soeharto Prawirokusumo, “Perilaku Bisnis Modern- Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No 4, Tahun 2003, hal. 83.
[47] A. Sony Keraf-Robert Haryono Imam, Etika Bisnis, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Kedua, 1993, hal. 59-60.
[48] Godwin Limberg, dkk., op. cit., hal. 19.
[49] Ibid., hal. 19-20.
[50] Ibid., hal. 20.
[51] Ibid., hal. 20.
[52] Ibid., hal. 20.
[53] Ibid., hal. 21.
[54] Ibid., hal. 21.