Kategori: Hukum Perusahaan

Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Perkebunan Terhadap Masyarakat Sekitar


A.  Pengertian Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab moral perusahaan baik terdapat karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan  (eksternal).[1] Jadi, dengan kata lain bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi tujuan  sosial adalah dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis.[2]

Perusahaan adalah pemegang peran kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual di pasar untuk konsumen. Kinerja pelaku (behavior), kebiasaan dan keputusan dalam produksi merupakan faktor yang menentukan apabila tercapainya efisiensi atau alokasi sumberdaya yang optimal memang secara alami pera pelaku ekonomi selalu akan berupaya mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya. Sebagaimana dalam tiori tentang harga bahwa perusahaan memang bermaksuk mendapat keuntungan yang maksimum atau maksimumkan keuntungan.[3] Secara moral dan sosial keuntungan adalah hal yang baik, karena antara lain punya akibat yang berguna bagi banyak orang lian misalnya keuntungan merupakan semacan upah, atau imbalan, seperti halnya semua pekerja atau karyawan yang menyumbangkan tenaga dan pikirannya mendapat upah atau imbalan untuk itu. Sebab dengan upah karyawan dapat memperbaiki kondisi hidupnya, demikian pula dengan keuntungan pemilik modal memperbaiki kondisi hidupnya adalah wajar dan normal. Oleh sebab itu mengejar keuntungan harus dianggap sebagai hal yang baik karena juga berkaitan dengan kewajiban si pemilik modal untuk mempertahankan, atau memperbaiki kondisi hidupnya sebagaimana halnya semua orang lain punya kewajiban moral untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi hidupnya.[4]

Sehubungan dengan hal di atas tidak mengherankan bila dalam kenyataannya bahwa keuntunganlah yang ;menjadi satu-satunya motivasi dasar orang berbisnis. Menurut Milton Friedman, mencari keuntungan bukanlah hal yang jelek sebab orang memasuki bisnis selalu punya motivasi dasar yaitu mencari keuntungan.[5]

Pandangan ini pada saat sekarang tidaklah dapat dipertahankan lagi sebab tujuan bisnis (perusahaan) bukanlah semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, mensejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih rnanusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kehidupan manusia, dalam bisnis perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Matshushita dalam bukunya yang berjudul Not for Bread Alone, bahwa yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnisnya bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu secara baik dan dari sanalah memperoleh keuntungan tersebut.[6]

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya mengacu pada kenyataan, bahwa perusahaan adalah badan hukum yang dibentuk oleh manusia dan terdiri dari manusia. Sebagaimana halnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, demikian pula perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan bisnis tanpa pihak lain. Ini menuntut agar perusahaan pun perlu dijalankan dengan tetap bersikap tanggap, peduli dan bertanggung jawab atas hak dan kepentingan banyak pihak lainnya. Dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi.[7]

Bagaimanapun di kalangan industri kini sudah sangat jauh berkembang kesadaran baru bahwa dalam usaha mencari laba mereka tidak hanya perlu memperhatikan kepentingan pemilik (owner), pemegang saham (stakeholder) ataupun pemodal (investor) semata-mata, tetapi juga wajib memikirkan pihak-pihak lain yang terkena dampak tersebut, yang lazimnya disebut stakeholder.[8]

Segala keputusan dan tindakan yang diambil oleh perusahaan harus membawa kebaikan bagi segenap perusahaan maupun masyarakat. Perusahaan juga harus mampu bertanggung jawab atas akibat yang timbul dari keputusan tersebut. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan juga merupakan salah satu tanggung jawab perusahaan. Oleh karena walaupun perusahaan adalah benda mati, namun perusahaan yang sebagai badan hukum harus memikul tanggung jawab moral. Maka tidak dapat disangkal bahwa perusahaan selain mempunyai tanggung jawab hukum juga mempunyai tanggung jawab moral adalah cerminan dari perusahaan tersebut.[9]

B.  Ruang Lingkup Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Dari pengertian tanggung jawab sosial perusahaan di atas, bagaimana sebenarnya ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Vernon A. Musseleman dan John H. Jackson bahwa istilah tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu ketika hanya berarti sumbangan financisla pada seni atau masyarakat setempat, dan mungkin perilaku etis.[10]

Sesuai dengan perkembangan jaman, sudah merupakan keharusan perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial, dan meskipun begitu ternyata masih tidak mudah untuk memberikan batasan atau ruang lingkup dari tanggung jawab sosial perusahaan tersebut.

Bahwa dari istilah tersebut di atas sesuai dengan perkembangan jaman mengalami penambahan arti, juga sekaligus merupakan ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan, seperti yang dikemukakan oleh Vernon A. Musselman dan John H. Jackson, bahwa tanggung jawab sosial perusahaan meliputi keprihatinan atas kesehatan, informasi konsumen, menyewa ahyli praktek, tidak menjalankan diskriminasi serta memelihata lingkungan fisik.[11]

A Sonny Keraf melihat ruang lingkup (isi) tanggung jawab sosial tersebut, dengan menyebutkan ada dua jaluar tanggung jawab sosial sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan dengan masyarakat, yaitu relasi primer dan relasi sekunder, dirumuskan sebagai berikut:

  1. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan perusahaan lain, memenuhi janji, membayar utang, memberi pelayanan pada konsumen dan pelanggan secara memuaskan, bertanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa kepada masyarakat dengan mutu yang baik, memperhatikan hak karyawan, kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningakatkan ketermpailan dan pendidikan karyawan, dan sebagainya.
  2. Terhadap relasi sekunder, bertanggung atas operasi dan dampak bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atau masalah-masalah sosial seperti: lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, pajak dan sebagainya.[12]

Jika dikaji lebih lanjut sebenarnya ada dua hal yang berkaitan dengan ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:

  1. Internal, merupakan tanggung jawab ke dalam perusahaan itu sendiri, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawannya, terhadap mutu bahan yang dipergunakan agar menghasilkan barang yang baik atau hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi.
  2. Eksternal merupakan tanggung jawab ke luar perusahaan, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap lingkungan yang berada di sekitar perusahaan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dibuat (dipasarkan) atau pasca produksi.[13]

Tanggung jawab perusahaan intern adalah tanggung jawab moral perusahaan terhadap karyawan, yaitu dengan membina hubungan kerja yang baik di berbagai tingkatan kedudukan mulai dari bawah sampai ke tingkat atasan. Menciptakan keterbukaan, baik dari masalah informasi peraturan perusahaan seluruhnya yang berkaitan dengan kemajuan dan kemunduran perusahaan. Sebab dengan keterbukaan (transparency} dapat memudahkan pengontrolan fungsi manajemen di mana karyawan dari jenjang kedudukan dapat ikut serta dalam pengawasan jalannya perusahaan. Hal ini juga berkaitan dengan pengungkapan (disclosure) terhadap semua kebijakan perusahaan. Dalam menjalankan roda perusahaan secara internal, juga berinteraksi dengan pihak-pihak luar perusahaan (eksternal), seperti pemerintah, pemasok dan masyarakat. Hubungan dengan pihak-pihak di luar perusahaan seperti dengan masyarakat dan stakeholder karena hubungan pihak-pihak di luar perusahaan adalah mempengaruhi aktivitas perusahaan.

Menurut I Nyoman Tjager, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menjalankan hubungan dengan stakeholder, pertama, perusahaan haruslah memberikan informasi yang benar dan jujur kepada investor, di mana informasi yang tidak benar akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan. Kedua, dalam mengadakan kerjasama kedua belah pihak harus mempunyai etikat baik dan kepercayaan, sehingga kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik serta menguntungkan kedua belah pihak.[14]

The Organisation for Economic Corporation and Development atau OECD merumuskan paling sedikit empat unsur penting dalam prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan (Good Corporate Governance atau GCG), yang semuanya bermuara pada prinsip keterbukaan (disclosure). Keempat prinsip tersebut adalah:

  1. Fairness (keadilan). Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
  2. Transparency (transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan
  3. Accountability (akuntabilitas). Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris.
  4. Responsibility (pertanggungjawaban) memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cermTnan dipatuhinya nilai-nilai sosial.[15]

Keempat prinsip di atas merupakan aturan yang harus diikuti dan dilaksanakan dengan baik oleh manajemen maupun karyawan perusahaan. Selain itu juga mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan perusahaan tentang masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan masyarakat luas.[16]

C.  Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Perkebunan Terhadap Masyarakat Sekitar Sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas

Undang-undang di Indonesia telah mengatur kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang di dalamnya diatur tentang kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas.

Secara formal tanggung jawab sosial perusahaan baru diatur pada tahun 2007 yaitu dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagai berikut:

  • (1)  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
  • (2)  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
  • (3)  Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • (4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan UUPT lebih tegas dan jelas dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, dan memberikan jawaban atas keraguan terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai sebuah tindak sukarela atau kewajiban hukum, yang terlihat dari bunyi Pasal 74 ayat (2), bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah suatu kewajiban dari perseroan terbatas. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Perseroan yang dimaksud adalah “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” yaitu Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Selain itu, juga “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” yaitu Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.[17] Dengan demikian, salah satu
bentuk perseroan yang diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan sesuai ketentuan UUPT adalah perusahaan di bidang perkebunan.

Perusahaan perkebunan sebagai salah satu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumberdaya alam, dan biasanya berbentuk perseroan terbatas terikat pada ketentuan UUPT mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Pada dasarnya sebelum diterbitkan UUPT (No. 40 Tahun 2007) perusahaan-perusahaan perkebunan telah mengembangkan berbagai program pengadaan plasma yang melibatkan masyarakat pekebun setempat,
hal mana dikukuhkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Program pengadaan plasma ini sebagai pelaksanaan tanggung-jawab sosial dan lingkungan perusahaan perkebunan tersebut.

Kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan termasuk perusahaan perkebunan diatur dalam Pasal 74 UUPT ayat (1) yang menentukan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pembiayaan bagi pelaksanaan kewajiban tersebut ditanggung sendiri oleh perseroan bersangkutan, sebagaimana tercantum dalam ayat (2) yang menyatakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Ketentuan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam UUPT ini diberlakukan dalam rangka mendorong perusahaan perkebunan agar dalam mengambil keputusan usaha dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk lingkungan hidup. Perusahaan perkebunan diharuskan menjaga keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak dimaknai sebagai sekadar kegiatan amal, tetapi semacam memberikan nurani kepada suatu entitas yang pada awalnya didirikan dengan satu-satunya tujuan yaitu mendapatkan profit sebesar-besarnya.

World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang khusus bergerak di bidang pembangunan berkelanjutan, memberikan suatu definisi yang sangat luas terhadap istilah tanggung-jawab sosial dan lingkungan, atau dalam istilah aslinya corporate social responsibility (CSR), sebagai suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan perkebunan berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan pola kemitraan inti-plasma, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/ OT.140/7/2006, dengan rincian sebagai berikut:

  • (1)  Memiliki perkebunan dan/atau fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan;
  • (2)  Melaksanakan pengembangan perkebunan petani peserta sesuai dengan petunjuk operasional dan standar teknis yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian cq. Direktur Jenderal Perkebunan;
  • (3)  Bertindak sebagai avalis untuk pembiayaan pengembangan perkebunan;
  • (4)  Mengikutsertakan pekebun secara aktif dalam proses pengembangan perkebunan;
  • (5)  Membina secara teknis dan manajemen para pekebun agar mampu mengusahakan kebunnya, baik selama masa pengembangan maupun selama tanaman menghasilkan serta memfasilitasi peremajaan tanaman;
  • (6)  Membeli hasil kebun dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku dan/atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dan pekebun;
  • (7)  Menyelenggarakan proses pelaksanaan dan pengembalian kredit pekebun.

Kewajiban-kewajiban tersebut dibebankan pada perusahaan perkebunan jelas dengan tujuan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat pekebun setempat yang pada gilirannya akan meningkatkan taraf hidupnya secara umum. Apabila sebuah perusahaan perkebunan dengan sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban-kewajibannya itu, dan sebagai dampat positifnya masyarakat setempat menjadi lebih baik dalam banyak hal, maka sebenarnya perusahaan itu sudah dapat dikatakan memenuhi kewajibannya dalam melaksanakan tanggung-jawab sosial dan lingkungan.

Terlepas dari motif pemerintah untuk mengukuhkan permasalahan tanggung-jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam tataran regulasi, ada baiknya jika pendefinisian dan perumusan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah tersendiri harus dilakukan dengan kajian yang memadai secara akademik. Terutama dalam sektor ekstraksi dan pengolahan sumberdaya alam, perusahaan-perusahaan pada umumnya sudah mengembangkan atau memfasilitasi pola-pola kemitraan yang terintegrasi dengan kegiatan usahanya, dengan masyarakat setempat yang melakukan juga usaha serupa tetapi dalam skala yang jauh lebih kecil dan teknologi yang lebih sederhana. Pola-pola kemitraan ini, baik yang berupa inisiatif mandiri perusahaan perkebunan maupun pelaksanaan kewajiban hukum harus dipetimbangkan dan dikaji mendalam oleh para perancang peraturan pemerintah tentang tanggung-jawab sosial. Hal perlu karena apabila nanti diberlakukan peraturan pemerintah tentang tanggung-jawab sosial dan lingkungan yang juga berlaku terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan tidak akan menanggung kewajiban yang ganda  Belum lagi jika pelaksanaannya harus diawasi, dan akan dibentuk badan tersendiri yang besar kemungkinannya menimbulkan tumpang-tindih wewenang dan inefisiensi anggaran publik tersebut.

Dengan demikian dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) telah ditentukan setiap perseroan dalam hal ini perusahaan perkebunan yang berbentuk perseroan berkewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Namun, sampai saat ini peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UUPT terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan itu belum juga dikeluarkan sehingga bentuk konkrit dari kewajiban ini belum jelas, terutama mengenai bentuk, batasan jumlah, perlakuan keuangan maupun sanksi hukum kepada perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.

Pada satu sisi ketentuan Pasal 74 ayat (1) UUPT menetapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai kewajiban perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Pasal ini mengakomodir pandangan yang menginginkan agar kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan diregulasi secara pasti dalam perundang-undangan. Namun pada ayat (2) Pasal 74 tersebut dikatakan bahwa pelaksanaan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Oleh karena tidak adanya batasan tentang kepatutan dan kewajaran tersebut, maka ukuran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikembalikan kepada perusahaan. Dengan demikian Pasal 74 ayat (2) UUPT menyerahkan regulasi kepatutan dan kewajaran tersebut kepada kebijakan perusahaan.[18]

Pasal 74 ayat (2) UUPT yang menyatakan anggaran untuk tanggung jawab sosial dan lingkungan diperhitungkan sebagai biaya, mungkin berita yang dianggap bagus oleh banyak kalangan yang tidak ingin tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi tambahan beban perusahaan yang tidak diakui oleh Pemerintah. Dengan pengakuan bahwa dana yang disisihkan untuk kegiatan tanggung jawab sosial adalah anggaran yang diperhitungkan, maka itu dapat menjadi pengurang laba bersih. Konsekuensinya, jumlah pajak yang disetorkan ke pemerintah juga berkurang. Konsekuensi lainnya harga produk mungkin menjadi lebih mahal, dan ini harus ditanggung oleh konsumen.[19]

Ukuran kepatutan dan kewajaran yang tidak ditetapkan secara baku berarti menyerahkan pemenuhan standar patut dan wajar tersebut kepada perusahaan. Dengan demikian, pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan berdasarkan Pasal 74 UUPT tersebut sangat ditentukan oleh komitmen dan pemaknaan perusahaan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan perkebunan tersebut.

Kepatutan dan kewajaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus dipahami tidak sekedar mengenai jumlah dana yang dianggarkan, karena hal ini akan mempersempit ruang pilihan bagi perusahaan untuk melaksanakan komitmen tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Berbagai penelitian membuktikan bahwa dana bukanlah input yang paling penting dalam tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ketika perusahaan benar-benar memikirkan dampaknya terhadap seluruh pemangku kepentingan, perusahaan akan mengupayakan dan mendapatkan inovasi sebagai investasi sekaligus reward dari kesungguhannya menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dan, inovasi tidaklah bisa diregulasi. Sebuah proses yang penting dalam menentukan kesuksesan tanggung jawab sosial dan lingkungan dan perlu diregulasi adalah konsultasi publik mengenai keseluruhan operasi dan dampaknya kepada pemangku kepentingan.[20] Dengan demikian, inovasi-inovasi yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi tuntutan stakeholder dan sekaligus dapat mengurangi dampak yang kurang baik terhadap lingkungan dan masyarakat, harus diperhitungkan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

Tanggung jawab sosial perlu dipahami sebagai komitmen bisnis melakukan kegiatannya secara beretika serta berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, melalui bekerja sama dengan para pemangku kepentingan. Artinya, sebenarnya pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan itu melampaui apa yang diatur undang-undang. Kalau sebatas tanggung jawab lingkungan, misalnya, itu sudah diatur lebih lengkap dalam undang-undang lain. Oleh karena itu, peraturan pemerintah yang akan diterbitkan diharapkan memperjelas pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai amanat UUPT dinilai belum cukup menepis kekhawatiran pelaku usaha.

Pengertian kepatutan dan kewajaran juga harus dilihat dari subjek yang dibebani tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika dimaknai sebagai komitmen perusahaan, maka semestinya setiap perusahaan dikenakan kewajiban yang sama tentang pelaksanaannya. Jadi, tidak hanya perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas. Demikian pula, bahwa perusahaan-perusahaan yang baru berdiri atau dalam keadaan merugi perlu dipertimbangkan tentang kewajibannya untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Apabila terhadap perusahaan yang demikian diwajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan secara mandatory maka dapat berpengaruh terhadap keinginan investor di bidang perkebunan untuk berinvestasi di Indonesia. Dengan kata lain, tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai kewajiban perusahaan perkebunan itu penting tetapi juga harus didukung dengan ketentuan yang tegas, dalam hal ini UUPT harus didukung dengan peraturan pemerintah yang mampu memberikan penjelasan tentang itu.

Tanggung jawab sosial dianggap penting untuk menjembatani dan memperkecil jurang antara lapisan masyarakat kaya dan miskin di berbagai pelosok dunia. Teorinya sederhana, tidak ada perusahaan yang dapat maju apabila berada di tengah masyarakat miskin atau lingkungan yang tidak menunjang eksistensinya. Itu sebabnya model tanggung jawab sosial yang kini dikembangkan lebh luas jangkauannya dari sekadar menunjukkan kepedulian terhadap berbagai problematika sosial. Perusahaan membutuhkan mayarakat yang semakin meningkat kualitas hidupnya, potensi kewirausahaan serta lingkungannya demi menunjang eksistensi usaha di masa depan. Dengan demikian maka pelaku bisnis  yang visioner akan memberikan perhatian besar pada perlunya memberdayakan berbagai potensi masyarakat  sebagai unsur penting yang menunjang survival perusahaan sejak sekarang. Model-model tanggung jawab yang dikembangkan di Indonesia pun perlu mencakup visi demikian, sebab sebetulnya tanggung jawab sosial dan lingkungan bukan sekadar urusan kepedulian sosial, melainkan upaya perusahaan secara sadar untuk meningkatkan potensi masyarakat serta lingkungan tempat ia beroperasi demi menunjang eksistensinya.[21]

D.  Penutup

Pada dasarnya sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Tahun 2007 (UUPT) perusahaan-perusahaan perkebunan telah mengembangkan berbagai program pengadaan plasma yang melibatkan masyarakat pekebun setempat, hal mana dikukuhkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Perusahaan-perusahaan perkebunan berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan pola kemitraan intiplasma, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006. Selanjutnya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan perkebunan yang berbentuk perseroan diatur dalam UUPT yang secara menegaskan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah sebuah kewajiban hukum bagi perusahaan perkebunan yang dianggarkan sebagai beban biaya, tetapi pelaksanaannya berpedoman pada kepatutatan dan kewajaran. Sehingga sering pihak perusahaan perusahaan mengartikan kepatutan dan kewajaran ini sebagai tindakan sukarela tergantung pada kemampuan perusahaan tersebut. Perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar sesuai ketentuan UUPT akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan bentuk pelanggaran lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Daftar Pustaka

Adjie, Habib, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Anggusti, Martono, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Books Terrace & Library, Bandung, 2010.

Balfast, Hamud M., “Sedikit Tentang Disclosure dan Corporate Governance”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Januari – Februari 2003.

Bartends, K., Pengantar ETika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Budi Untung, Hendrik, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

DA, Basu Swasitha, dan Ibnu Sukotjo W, Pengantar Bisnis Modern, (Pengantar Ekonomi Peusahaan Modern), Liberty, Yogyakarta, 1983.

Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis, ”Tuntutan dan Relevansinya”, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Musselman, Vernona dan John H. Jackson, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Edisi Kesembilan, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1988.

Nugroho, Alois, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001.

Pohan, Masitah, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Buruh, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011.

Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

Tjager, I. Nyoman, dkk., Corporate Governance, PT. Prehalindo, Jakarta, 2003.


[1] K. Bartends, Pengantar ETika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 296.

[2] Masitah Pohan, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Buruh, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011, hal. 23-24.

[3] Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 71.

[4] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, ”Tuntutan dan Relevansinya”, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 49.

[5] Ibid., hal. 49.

[6] Matshusita dalam A. Sonny Keraf, op. cit., hal. 51.

[7] A. Sonny Keraf, op.cCit., hal. 122 dan 126.

[8] Alois  Nugroho, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001, hal. 6.

[9] Masitah Pohan, op.cCit., hal. 28.

[10]  Vernona Musselman dan John H. Jackson, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Edisi Kesembilan, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1988, hal. 34.

[11] Basu Swasitha, DA dan Ibnu Sukotjo W, Pengantar Bisnis Modern, (Pengantar Ekonomi Peusahaan Modern), Liberty, Yogyakarta, 1983, hal. 66.

[12] A. Sonny Keraf, op. cit., hal. 97-98.

[13] Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 68.

[14] I. Nyoman Tjager, dkk., Corporate Governance, PT. Prehalindo, Jakarta, 2003, hal. 146.

[15] Hamud M. Balfast, “Sedikit Tentang Disclosure dan Corporate Governance”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Januari – Februari 2003, hal. 100.

[16] I. Nyoman Tjager, op. cit., hal. 148.

[17] Lihat, Penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[18] Martono Anggusti, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Books Terrace & Library, Bandung, 2010, hal. 69.

[19] Ibid., hal. 69.

[20] Stuart Hart dalam  Martono Anggusti, op.cit., hal. 70.

[21] Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 40-41.